KATA PENGANTAR
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ
وَأَشْكُرُهُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ وَأَسْتَغْفِرُهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، دَعَا إِلَى
اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ فَاسْتَجَابَ لِدَعْوَتِهِ الرَّاشِدُوْنَ، فَصَلَوَاتُ
اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى مَنْ تَبِعَهُ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ
الدِّيْنِ
Segala puji dan kemuliaan hanyalah milik Rabb semata, atas segala
rahmat dan ni’matn-Nya yang telah dikaruniakan kepada segenap hamba-Nya.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjunan alam nabi
Muhammad Saw yang menuntun umatnya ke jalan yang paling benar.
Alhamdulillah
berkat rahmat dan hidayah Allah Swt, kami dapat menyusun dan menyelesaikan
sebuah kajian ilmiyah tentang “Objektifikasi Konsep Masyarakat yang Ummatan
wasathan berdasrkan Al
qur’an Q.S. Al baqarah [2]:143”.
Disamping
itu, kami sadari sepenuhnya bahwa kajian makalah yang kami sajikan ini masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karna itu kami selalu berharap atas kritik dan
saranya yang membangun, guna meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan kami di masa
yang akan datang.
Harapan
kami, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembacanya serta menjadi
amal shaleh bagi kami, Amiin.
Bandung, 17 Mei 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................
BAB I: PENDAHULUAN...........................................................................................
a. Latar Belakang Masalah..............................................................................................
b. Rumusan Masalah.......................................................................................................
c. Metode Penelitian.......................................................................................................
BAB II : TINJAUAN TEORITIS.................................................................................
a. Tinjauan Turats (Keilmuan Islam)...............................................................................
1.
Pengertian
masyarakat yang ummatan wasathan.......................................................
2.
Pandangan
al Quran tentang masyarakat masyarakat yang ummatan wasathan.......
b. Tinjauan Teori Antropologi (Clifford Geertz)............................................................
BAB III : HASIL RISET...............................................................................................
a.
Subjek
Kajian (ayat al-Qur’an / al-Hadits yang diteliti)............................................
b.
Tafsir
‘Ulama atas Subjek Kajian...............................................................................
c.
Objektifikasi
dalam Konteks Indonesia Kini.............................................................
BAB
IV: KESIMPULAN.............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
Islam menaruh perhatian terhadap masyarakat seperti perhatiannya terhadap
individu. Masyarakat dan individu adalah satu sama lain saling mempengaruhi.[1][1] Karena baiknya suatu masyarakat disebabkan baiknya individu begitu juga
sebaliknya rusaknya masyarakat karena disebabkan rusaknya individu. Oleh karena
itu Allah mengisyaratkan bahwa jika suatu masyarakat ingin baik, maka langkah
awal yang harus diperbaiki terlebih dahulu adalah dengan memperbaiki
individu-individunya. Untuk membentuk individu-individu yang baik maka perlu
lingkungan atau masyarakat yang baik pula. Hal ini senada dengan apa yang
dikemukakan oleh Al Qardhawy yaitu baiknya individu adalah suatu keharusan bagi
baiknya masyarakat, karena individu adalah bagaikan batu bata dalam suatu
bangunan, maka tidak ada kebaikan pada bangunan jika batu batanya rapuh. Dalam
Al Qur’an banyak digambarkan tentang ciri atau kriteria suatu masyarakat
harapan yang Allah telah jelaskan kepada kita. Salah satu ayat Al Qur’an yang
mengabarkan tentang masyarakat islami yang dimaksudkan oleh Allah yaitu
terdapat dalam Surah Al Baqarah: 143.
Karena terlalu banyaknya gambaran tentang masyarakat ideal yang dijelaskan
oleh Al Qur’an, maka dalam hal ini penulis memfokuskan diri untuk membahas tentang
gambaran masyarakat islami yang termaktub dalam Surah Al Baqarah: 143.
Dan tidaklah
hijrah Nabi SAW ke Madinah kecuali dalam kerangka usaha untuk membangun
masyarakat yang mandiri yang terpancang di dalamnya aqidah Islam, nilai-nilai,
syi'ar-syi'ar dan aturan-aturannya. Masyarakat Islam merupakan masyarakat yang
berbeda dengan masyarakat mana pun, baik keberadaannya maupun karakternya. Ia
merupakan masyarakat yang Rabbani, insani, akhlaqi dan masyarakat yang seimbang
(tawazun). Ummat Islam dituntut untuk mendirikan masyarakat seperti ini,
sehingga mereka bisa memperkuat agama mereka, membentuk kepribadian mereka dan
bisa hidup di bawah naungannya dengan kehidupan Islami yang sempurna. Suatu
kehidupan yang diarahkan oleh aqidah Islamiyah dan dibersihkan dengan ibadah,
dituntun oleh pemahaman yang shahih, digerakkan oleh semangat yang menyala, terikat
dengan moralitas dan adab Islamiyah, serta diwarnai oleh nilai-nilai Islam. Diatur
oleh. hukum Islam dalam perekonomian, seni, politik dan seluruh segi
kehidupannya. Masyarakat Islam bukanlah masyarakat yang hanya menerapkan
syari'at Islam pada bidang hukum saja, terutama di bidang pidana dan perdata
sebagaimana difahami oleh mayoritas ummat. Bahkan mengarah pada berbuat zhalim
terhadap masyarakat, dengan memfokuskan seluruh potensi yang bermacam-macam
dalam menegakkan satu pilar di antara banyak pilar yaitu hukum, dan bahkan
dalam satu bidang saja dari hukum tersebut yaitu pidana atau perdata. Untuk itu
penting sekali bagi kita untuk dapat memberikan gambaran yang terang, tentang komponen-komponen
utama dalam membentuk masyarakat yang kita idamkan. Telah berdiri di sini
berbagai gerakan dan jamaah Islam di berbagai penjuru dunia Arab ataupun dunia
b. Rumusan Masalah
Dengan merujuk
pada uraian singkat dari latar belakang yang telah dikemukakan, kelihatan bahwa
interpretasi tentang Ummatan wasathan sangat
menarik untuk dikaji berdasarkan tinjauan tafsir tematik dengan menggunakan multi
tekni interpretasi. Sekaitan dengan ini, maka permasalahan yang dijadikan obyek
pembahasan adalah :
1. pengertian masyarakat yang Ummatan wasathan ?
2. bagaimana konsep masyarakat Ummatan wasathan dalam perspektif Alquran ?
3. bagaimana objektifikasi dalam Konteks Indonesia terkini sebagai Ummatan wasathan ?
c. Metode Penelitian
Dalam penulisan
makalah ini penulis memakai metode kualitatif yang didasarkan atas kepustakaan yang
menitikberatkan kepada pandangan para ahli dan ulama berdasarkan buku yang
mereka tulis
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
A.
Tinjauan
Turats (Keilmuan Islam)
1. Pengertian masyarakat
yang ummatan wasathan
Kata ummat terambil dari kata amma-yaummu yang berarti menuju menumpu
dan meneladani. Menurut Qurais Shihab ummat diartikan sebagai himpunan pengikut
nabi Muhammad. Dalam hal ini menurutnya lagi kenapa Al Qur’an menggunakan kata
ummat karena didalamnya dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok, betapapun
kecil jumlah mereka, selama masih pada arah yang sama yaitu Allah SWT.[2][10] Dari kata
ummat—dalam pengertian himpunan-- inilah maka kita maka kita mengenal istilah
masyarakat.
Secara umum
masyarakat diartikan sebagai kumpulan orang atau individu. Sedangkan dalam
(Quraish Shihab, 1996) masyarakat diartikan sebagai kumpulan sekian banyak
individu –kecil atua besar—yang terkait oleh satuan adat, situs atau hukum
khas dan hidup bersama. Dalam bahasa Al Qur’an digunakan beberapa kata
diantaranya: qawm, ummah, syu’ub dan
qobail. [3][11] dari arti
yang telah dipaparkan dapat dimengerti bahwa masyarakat adalah kumpulan dari
sekian orang atau individu yang hidup bersama dan memiliki tujaun bersama serta
terikat oleh sebuah aturan yang telah disepakati bersama dan bersama-sama atau
hidup bersma dalam waktu yang lama.
Sedangkan
ideal dalam pengertian ini adalah sesuai dengan yang dicita-citakan. meminjam
istilah Ali Nurdin, maksud dari pengertian masyarakat ideal dalam pembahasan
ini adalah gambaran yang bersifat umum dan normativ mengenai esensi atau
hakikat masyarakat yang dicita-citakan oleh Al Qur’an Surah Al Baqarah: 143.[4][12]
Kata wasathan terdiri dari huruf wau, sin dan tha’ dasar pertengahan atau moderat yang memang merujuk pada
pengertian adil. Ar Raghib seperti yang dikutip Ali Nurdin, mengartikan wasathan sebagai sesuatu yang berada
dipertengahan yang kedua ujungnya pada posisi sama. Ummathan wasathan adalah masyarakat yang berada dipertengahan dalam
arti moderat, posisi pertengahan menjadikan anggota tidak memihak kekiri dan
kekanan, yang dapat mengantar manusia berlaku adil. Posisi itu juga yang
menajdikannya dapat menyaksikan siapapun dan dimanapun. Allah menjadikan umat
Islam pada posisi pertengahan agar menajdi saksi atas perbuatan manusia, yakni
umat yang lain.
Abdullah
Yusuf Ali mengartikan wasathan
sebagai justly balance maksudnya
bahwa esensi ajaran Islam adalah menghilangkan segala bentuk ekstriminitas
dalam berbagai hal. Kata wasathan
juga menunjuk pada letak geografi yaitu letak geografi tanah Arab berada di
pertengahan bumi.[5][13] Dari
beberapa pengertian yang dikemukakan diatas, mengisyaratkan bahwa sebuah
masyarakat ideal terbangun dari sikap para personnya yang berlaku tidak
berlebih-lebihan dari satu urusan kepada urusan yang lain, atau berada pada
posisi tengah diantara dua ekstrim. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Quraish Shihab yang mengemukakan bahwa pada mulanya kata wasath berarti segala sesuatu yang baik sesuai dengan objeknya.
Sesuatu yang baik berada pada posisi dua ekstrim, yang dicontohkan bahwa
keberanian adalah pertengahan antara sikap ceroboh dan takut, kedermawanan
adalah pertengahan antara sikap kikir dan boros, dll, dari situ berkembang
maknanya menjadi tengah.[6][14]
Sementara
itu Muhammad Quthb, mengatakan bahwa ummathan
wasathan jika dihubungkan pada posisi Islam yang berada di tengah sisi
ekstrim,--yaitu kapitalisme dan komunisme-- Jika diperhatikan tiga sistem
kehidupan yang diperjuangkan, yaitu Islam, komunisme dan kapitalisme, maka
dapat dijumpai bahwa dalam sistem ekonominya—Islam—yang berkenaan dengan hak
milik pribadi misalnya ada hubungan yang erat dengan konsep kemasyarakatannya.
Sistem kapitalis didirikan diatas konsep bahwa individu adalah suatu makhluk
suci yang hak-haknya tidak boleh diganggu gugat oleh masyarakat atau tidak
boleh dihalang-halangi kebebasannya. Oleh karena itu, dalam sistem kapitalisme
ini milik pribadi diizinkan tanpa ada pembatasan apapun. Sebaliknya sistem
komunisme mendasarkan konsepnya atas landasan bahwa masyarakat itu adalah pokok
yang terpenting sehingga individu dengan sendirinya dianggap tidak mempunyai
kekuasaan apapun. Oleh karenanya komunisme meletakan seluruh hak milik pribadi
berada di dalam kekuasaan Negara sebagai wakil masyarakat dan hak milik
individu tidak diakuinya.kedua konsep ini berlainan dengan konsep Islam. Dalam
konsep Islam individu serentak mempunyai dua sifat dalam waktu bersamaan, yaitu
memiliki sifat sebagai individu yang bebas dan memiliki sifat sebagai salah
satu anggota masyarakat. Dalam konsep kemasyarakatannya yang didasarkan atas
teori Islam, Al Qur’an tidak memisahkan individu dengan masyarakat dan tidak
pula mempertentangkannya. Kedua watak yang dimiliki oleh individu yakni sebagai
pribadi yang bebas dan sebagai anggota masyarakat, itu telah diatur oleh
syari’at Islam agar memiliki keseimbangan diantara kedua watak tersebut,
kepentingan individu terlindungi dan kepentingan masyarakat terpelihara. jadi
masyarakat ideal adalah masyarakat yang sikapnya dan tindakanya berada pada
posisi dua ekstrim seperti yang tersebut diatas, serta mampu berlaku adil
sehingga dapat dijadikan saksi. suatu masyarakat belum dijadikan sebagai saksi
sebelum mengikuti Rasulullah atau menjadikan Rasulullah sebagai teladan, karena
jika tidak menjadikan Rasulullah sebagai tauladan maka suatu masyarakat tidak
disebut sebagai masyarakat pertengahan tetapi masyarakat yang mengikutii salah
satu dari dua ekstrim. Ketika suatu masyarakat telah menjadikan Rasullulah
sebagai teladanya maka Rasulullah akan menjadi saksi atas masyarakat tersebut.
Jadi sangat tidak mungkin Rasulullah akan menjadi saksi atas masyarakat yang
berlaku tidak adil. Dalam hal ini apakah rasulullah akan menjadi saksi pada
masyarakat yang bersikap dzalim dengan berlaku anarkis?
Tinjauan turats
yang penulis pakai secara keilmuan islam yaitu metode yang dipakai dalam
penafsiran al Qur’an ibnu katsir yaitu : segi
metodologi ia menganut sistem tradisional, yakni sistematika tertib mushaf
dengan merampungkan penafsiran seluruh ayat dari surah fatihah hingga akhir
surah annnas. Dikatakan bahwa dalam operasionalisasinya, Ibnu Katsir menempuh
cara pengelompokkan ayat-ayat berbeda, namun tetap dalam konteks yang sama.
Metode demikian juga ditempuh beberapa mufassir di abad 20-an seperti Rasyid
Ridha, Al-Maraghi, Al-Qasimi.
Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi (al-laun wa ittajah) tafsir bi al-ma’tsur /tafsir bi al-riwayah, karena dalam tafsir ini sangat dominan memakai riwayat/hadis, pendapat sahabat dan tabi’in.
Adapun metode (manhaj) yang ditempuh Ibnu Katsir dalam menafsirkan al-Quran dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode analitis). Kategori ini dikarenakan pengarangnya menafsirkan ayat demi ayat secara analitis menurut urutan mushaf al-Quran. Meski demikian metode penafsiran kitab ini pun dapat dikatakan semi tematik (maudhu’i) karena ketika menafsirkan ayat ia mengelompokan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan ke dalam satu tempat, baik satu atau beberapa ayat kemudian ia menampilkan ayat-ayat lainnya terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan itu.
Metode tersebut, ia aplikasikan dengan metode-metode penafsiran yang dianggapanya paling baik (ahsan turuq al-tafsir). Langkah-langkah dalam penafsirannya secara garis besar ada tiga; Pertama, menyebutkan ayat ditafsirkannya, kemudian menafsirkannya dengana bahasa yang mudah dan ringkas. Jika memungkinkan, ia menjelaskan ayat tersebut dengan ayat yang lain, kemudian memperbandingkannya hingga makna dan maksudnya jelas. Kedua, mengemukakan berbagai hadis atau riwayat yang marfu’ yang berhubungan dengan ayat yang sedang ditafsirkan. Ia pun sering menjelaskan antara hadis atau riwayat yang dapat dijadikan argumentasi (hujah) dan yang tidak, tanpa mengabaikan pendapat para sahabat, tabi’in dan para ulama salaf. Ketiga, mengemukakan berbagai pendapat mufasir atau ulama sebelumnya. Dalam hal ini, ia terkadang menentukan pendapat yang paling kuat dia antara para ulama yang dikutipnya, atau mengemukakan pendapatnya sendiri dan terkadang ia sendiri tidak berpendapat.
Secara lebih rinci tahap-tahap tersebut akan diuraikan dibawah ini:
Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi (al-laun wa ittajah) tafsir bi al-ma’tsur /tafsir bi al-riwayah, karena dalam tafsir ini sangat dominan memakai riwayat/hadis, pendapat sahabat dan tabi’in.
Adapun metode (manhaj) yang ditempuh Ibnu Katsir dalam menafsirkan al-Quran dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode analitis). Kategori ini dikarenakan pengarangnya menafsirkan ayat demi ayat secara analitis menurut urutan mushaf al-Quran. Meski demikian metode penafsiran kitab ini pun dapat dikatakan semi tematik (maudhu’i) karena ketika menafsirkan ayat ia mengelompokan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan ke dalam satu tempat, baik satu atau beberapa ayat kemudian ia menampilkan ayat-ayat lainnya terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan itu.
Metode tersebut, ia aplikasikan dengan metode-metode penafsiran yang dianggapanya paling baik (ahsan turuq al-tafsir). Langkah-langkah dalam penafsirannya secara garis besar ada tiga; Pertama, menyebutkan ayat ditafsirkannya, kemudian menafsirkannya dengana bahasa yang mudah dan ringkas. Jika memungkinkan, ia menjelaskan ayat tersebut dengan ayat yang lain, kemudian memperbandingkannya hingga makna dan maksudnya jelas. Kedua, mengemukakan berbagai hadis atau riwayat yang marfu’ yang berhubungan dengan ayat yang sedang ditafsirkan. Ia pun sering menjelaskan antara hadis atau riwayat yang dapat dijadikan argumentasi (hujah) dan yang tidak, tanpa mengabaikan pendapat para sahabat, tabi’in dan para ulama salaf. Ketiga, mengemukakan berbagai pendapat mufasir atau ulama sebelumnya. Dalam hal ini, ia terkadang menentukan pendapat yang paling kuat dia antara para ulama yang dikutipnya, atau mengemukakan pendapatnya sendiri dan terkadang ia sendiri tidak berpendapat.
Secara lebih rinci tahap-tahap tersebut akan diuraikan dibawah ini:
b. Tinjauan Teori Antropologi (Clifford Geertz)
Tinjauan teori
antropologi yang penulis pakai dalam penulisan makalah ini adalah teori yang di
gagas oleh clifford geertz yang mana Antropologi memandang Agama sebagai Sistem
Budaya, dgn karakteristik sebagai
berikut:
- sistem simbol
- yang berperan membangun suasana hati dan motivasi yang kuat dan tahan lama di dalam diri manusia
- dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan umum
- dan mengemas konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas tertentu
- sehingga suasana hati dan motivasi tampak realistik secara unik”.
(Clifford
Geertz, dlm, Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, 2001:
412-419; lihat juga, Julian Ashari, Dari Bumi untuk Langit, 2014:
122)
BAB
III
HASIL
RISET
- Subjek Kajian (ayat al-Qur’an / al-Hadits yang diteliti)
Allah SWT. Telah berfirman dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah: 143, yang
didalamnya menegaskan bahwa Allah menjadikan umat Islam sebagai ummathan wasathan untuk menjadi saksi
bagi manusia.
y7Ï9ºx‹x.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜy™ur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#y‰pkà ’n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tƒur ãAqß™§9$# öNä3ø‹n=tæ #Y‰‹Îgx© 3 $tBur $oYù=yèy_ s's#ö7É)ø9$# ÓÉL©9$# |MZä. !$pköŽn=tæ žwÎ) zNn=÷èuZÏ9 `tB ßìÎ6®Ktƒ tAqß™§9$# `£JÏB Ü=Î=s)Ztƒ 4’n?tã Ïmø‹t7É)tã 4 bÎ)ur ôMtR%x. ¸ouŽÎ7s3s9 žwÎ) ’n?tã tûïÏ%©!$# “y‰yd ª!$# 3 $tBur tb%x. ª!$# yì‹ÅÒã‹Ï9 öNä3oY»yJƒÎ) 4 žcÎ) ©!$# Ĩ$¨Y9$$Î/ Ô$râäts9 ÒOŠÏm§‘ ÇÊÍÌÈ
143. dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia.
[95] Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka
akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di
dunia maupun di akhirat.
- Tafsir ‘Ulama atas Subjek Kajian
Untuk memahami ayat 143 surah Al Baqarah, para ulama tafsir telah
menafsirkannya diantaranya adalah Sayyid Quthb, beliau mengatakan bahwa umat
Islam adalah umat pertengahan yaitu umat yang adil dan pilihan serta menjadi
saksi atas manusia seluruhnya, maka ketika itu umat Islam menjadi penegak
keadilan dan keseimbangan diantara manusia.[7][3] Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Quraish Shihab yang mengatakan
bahwa Ummathan wasthan yaitu umat
pertengahan moderat dan teladan sehingga dengan demikian keberadaan kaum dalam
posisi pertengahan itu, sesuai dengan posisi ka’bah yang berada dipertengahan
pula. Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak kekiri dan kekanan,
hal mana mengantar manusia berlaku adil. Posisi pertengahan menjadikan
seseorang dapat dilihat oleh siapapun dalam penjuru yang berbeda dan ketika itu
ia dapat mejadi teladan bagi semua pihak. Posisi itu juga menjadikannya dapat
menyaksikan siapapun dan dimanapun. Allah menjadikan umat Islam pada posisi
pertengahan agar umat Islam menjadi saksi atas perbuatan umat yang lain. Tetapi
hal ini tidak dapat dilakukan kecuali jika menjadikan Rasulullah SAW. syahid yakni saksi yang menyaksikan
kebenaran sikap dan perbuatan kalian dan beliaupun kalian saksikan, yakni
kalian jadikan teladan dalam segala tingkah laku.
Ummathan wasathan juga diartikan pertengahan dalam pandangan tentang Tuhan dan dunia. Tidak
mengingkari wujud Tuhan, tetapi tidak juga menganut paham polyteisme (banyak
Tuhan). Pandangan Islam adalah Tuhan Maha Wujud Dia Maha Esa. Pertengahan juga
adalah pandangan umat Islam tentang kehidupan dinia ini. Pandangan Islam
tentang hidup adalah disamping ada dunia juga ada akhirat, keberhasilan di
akhirat ditentukan oleh iman dan amal shalih di dunia. Manusia tidak boleh
tenggelam dalam materialism tidak pula membumbung tinggi dalam spiritualisme.[8][4] Sementara itu Ibnu
Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud Wasathan
berarti pilihan dan yang terbaik, Allah menjadikan umat ini merupakan umat
yang terbaik. Allah SWT. Telah mengkhususkannya dengan syariat-syariat yang
paling sempurna dan tuntunan-tuntunan yang paling lurus serta jalan-jalan yang
paling jelas, seperti dalam Al Qur’an Surat Al Hajj: 78.[9][5] Wasathan menurutnya juga bisa
diartikan sebagai adil, hal ini berdasar atas hadits riwayat Ahmad yang
mengatakan bahwasanya yang akan menjadi saksi para nabi yaitu Nabi Mumammad dan
umatnya.[10][6]
Senada dengan apa yang telah dikemukakan diatas, Al Maraghi menyatakan
bahwa sikap umat Islam tengah-tengah diantara dua ekstrim. Sebelum lahirnya
Islam, umat manusia terbagi menjadi dua kelompok yaitu, pertama, orang-orang
yang selalu cenderuang kepada kepentingan dunai dan kebutuhan jasmaniah,
seperti kaum Yahudi dan musyrikin. Kedua, yaitu orang-orang yang mengekang atau
membelenggu diri dengan adat kebiasaan dan kepentingan rohaniah secara total,
sehingga sama sekali meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawiah termasuk kebutuhan
jasmaniah mereka. Mereka adalah kaum Nasrani, sabi’in dan beberapa pengikut
sekte agama hindu penyembah berhala, yakni kelompok yang popular dengan
olahraga yoga. Kemudia Islam lahir yang berupaya memadu antara dua kebutuhan
rohaniah dan jasmaniah (duniawiah) disamping memberikan hak-hak secara
manusiawi.
Umat Islam dikatakan sebagai umat yang pertengahan jika mengikuti jejak
ajaranya, sebab ajaran-ajaran belaiau adalah undang-undang bagi para
pengikutnya, siapapun yang menyimpang dan menciptkan adat tersendiri yang
menyimpang dari ajaran beliau, maka ketika itu ajaran Rasul merupakan bumerang
bagi mereka sendiri, merekapun bukan termasuk golongan Rasulullah. Jika
seseorang tidak berlaku sebagaimana prilaku yang diteladani Rasul, maka ia
bukan termasuk yang merupakan bersikap pertengahan, tetapi ia telah memihak
kepada salah satu diantara kedua golongan ekstrim.[11][7] Dari uraian yang telah dipaparkan oleh sebagaian mufasir, sekiranya dapat
diambil benang merah bahwasanya ummathan
wasathan merupakan umat pertenganahan yang utama atau terbaik serta adil
sehingga dapat menjadi saksi atas perbuatan manusia. Kenapa umat Islam oleh
Allah dijadikan umat yang terbaik atau umat plihan atau umat yang adil? Untuk
menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu marilah kita simak pemaparan yang
dikemukakan oleh Sayyid Quthb. Beliau mengklasifikasikan umathan wasathan dalam berbagai bentuknya, adalah sebagai berikut:
1. Ummatan wasathan (umat
pertengahan) dengan segala makna wasath
baik yang diambil dari kata wisaathah yang
berarti bagus dan utama, maupun dari kata wasath
yang berarti adil dan seimbang atau dari kata wasath dalam arti material indrawi.
2. Ummathan wasathan dalam tashawur pandangan, pemikiran, dan
keyakinan. Umat Islam bukanlah umat yang semata-mata bergelut dan terhanyut
dengan ruhiyah (rohani) dan juga bukan umat yang semata-mata beraliran materi
(materialisme) akan tetapi umat Islam adalah umat yang pemenuhan nalurinya
seimbang dan bersesuaian dengan pemenuhan jasmani.
3. Ummathan wasathan dalam
pemikiran dan perasaan. Umat Islam bukanlah umat yang beku dan stagnan dengan
apa yang diketahui. Juga bukan umat yang tertutup terhadap eksperimentasi
ilmiah dan pengetahuan-pengetahuan lain. Mereka juga bukan umat yang mudah
mengikuti suara-suara yang didengung-dengungkan orang lain dengan taklid buta
seperti taklidnya kera yang lucu. Akan tetapi umat Islam adalah umat yang
berpegang pada pandangan hidup, manhaj dan prinsipnya.
4. Ummathan wasathan dalam
peraturan dan keserasian hidup. Umat Islam tidak hanya bergelut dalam hidupnya
dengan perasaan dan hati nurani, dan juga tidak terpaku dengan adab dan aturan
manusia. Akan tetapi umat Islam mengangkat nurani manusia dengan aturan dari
Allah SWT. Serta dengan suatu arahan dan pengajaran. Dan menjamin aturan
masyarakat dengan suatu pengaturan yang menyeluruh. Islam tidak membiarkan
aturan kemasyarakatan dibuat oleh penguasa dan juga tidak dilakukan secara
langsung oleh wahyu. Tetapi aturan kemasyarakatan itu adalan percampuran antara
keduanya yakni aturan yang berasal dari wahyu dan dilaksanakan oleh penguasa.
5. Ummathan wasathan dalam ikatan
dan hubungan. Islam tidak membiarka manusia melepaskan dan melampaui batas
dalam individualnya dan juga tidak meniadakan peran individualnya dalam
masyarakat atau Negara. Islam juga tidak membiarkan serakah dan tamak dalam
kehidupan kemasyarakatannya. Aka tetapi Islam memberikan kebebasan yang positif
saja, seperti kebebasan menuju kemajuan dan pertumbuhan.
6. Ummathan wasathan dalam
tempat, yakni suatu tempat dipermukaan bumi dimana umat Islam ada diseluruh
peloksoknya baik di barat, timur, utara maupun selatan dengan posisi ini umat
Islam menjadi saksi atas manusia lainnya.
7. Ummathan wasathan dalam zaman.
Mengakhiri masa anak-anak dengan menyongsong masa kedewasaan berpikir. Tegak
ditengah-tengah dengan mengikis khurafat dan takhayul yang melekat karena
terbawa dari zaman kebodohan dan kekanak-kanakan yang lalu dan memelihara
kemajaun akal yang dikendalikan hawa nafsu syaitan.[12][8]
Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan sekaligus untuk menjawab
pertanyaan diatas, bahwa umat Islam oleh Allah dijadikan sebagai umat terbaik,
pilihan atau adil karena pertama, umat Islam mampu menyeimbangkan pemenuhan
kebutuhan jasmani dan rohani tidak terjebak pada salah satunya. Kedua, dari
cara berpikirnya umat Islam tidak stagnan dalam pemikiran dan perbuatan serta
tidak taqlid buta terhadap suara-suara yang didengungkan dan tidak tertutup
terhadap eksperimen-eksperimen ilmiah dan pengetahuan yang lain dengan
berpegang teguh pada pandangan hidup, manhaj dan prinsipnya. Ketiga, dalam hal
aturan umat Islam tidak menggunakan aturan kecuali sesuai dengan apa yang telah
dituntunkan oleh Allah tetapi juga tidak antipati terhadap aturan yang telah
dibuat Negara selama tidak bertentangan dengan syari’at. Keempat, umat Islam
mampu mengkolaborasikan antara kepentingan individunya dan kepentingan
masyarakat, tidak terjebak pada salah satunya yaitu menjadi individu yang
individualistik atau malah meniadakan sama sekali peran keindividuannya. Dan
lain-lain.
Tidak bisa diingkari bahwa pada zaman sekarang umat Islam sudah tidak
mengambil lagi posisi yang sebenarnya yang telah diberikan Allah SWT.
Kepadanya. Umat sudah kosong dari hukum Allah dalam arti sudah tidak lagi
menggunakan manhaj atau metode yang tealah dipilihkan Allah untuknya. Umat
sudah mengambil beragam macam metode yang bukan dari Islam, sekaligus umat
telah menerapkan celupan yang bukan celupan dari Allah.[13][9]
Pengertian
Dari beberapa penjelasan yang telah dikemukakan oleh beberapa mufasir
mengenai ayat ini (Q.S. Al Baqarah: 143) kemudian penulis akan
memformulasikanya untuk mengidentifikasi masyarakat ideal. Sebelum penulis
menguraikan lebih lanjut mengenai masyarakat ideal terlebih dahulu penulis akan
memaparkan pengertian tentang masyarakat ideal itu sendiri.
Kata ummat terambil dari kata amma-yaummu yang berarti menuju menumpu
dan meneladani. Menurut Qurais Shihab ummat diartikan sebagai himpunan pengikut
nabi Muhammad. Dalam hal ini menurutnya lagi kenapa Al Qur’an menggunakan kata
ummat karena didalamnya dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok, betapapun
kecil jumlah mereka, selama masih pada arah yang sama yaitu Allah SWT.[14][10] Dari kata ummat—dalam
pengertian himpunan-- inilah maka kita maka kita mengenal istilah masyarakat.
Secara umum masyarakat diartikan sebagai kumpulan orang atau individu.
Sedangkan dalam (Quraish Shihab, 1996) masyarakat diartikan sebagai kumpulan
sekian banyak individu –kecil atua besar—yang terkait oleh satuan adat, situs
atau hukum khas dan hidup bersama. Dalam bahasa Al Qur’an digunakan beberapa
kata diantaranya: qawm, ummah, syu’ub dan
qobail. [15][11] dari arti yang telah dipaparkan dapat dimengerti bahwa masyarakat adalah
kumpulan dari sekian orang atau individu yang hidup bersama dan memiliki tujaun
bersama serta terikat oleh sebuah aturan yang telah disepakati bersama dan
bersama-sama atau hidup bersma dalam waktu yang lama.
Sedangkan ideal dalam pengertian ini adalah sesuai dengan yang
dicita-citakan. meminjam istilah Ali Nurdin, maksud dari pengertian masyarakat
ideal dalam pembahasan ini adalah gambaran yang bersifat umum dan normativ
mengenai esensi atau hakikat masyarakat yang dicita-citakan oleh Al Qur’an
Surah Al Baqarah: 143.[16][12]
Kata wasathan terdiri dari huruf wau, sin dan tha’ dasar pertengahan atau moderat yang memang merujuk pada
pengertian adil. Ar Raghib seperti yang dikutip Ali Nurdin, mengartikan wasathan sebagai sesuatu yang berada
dipertengahan yang kedua ujungnya pada posisi sama. Ummathan wasathan adalah masyarakat yang berada dipertengahan dalam
arti moderat, posisi pertengahan menjadikan anggota tidak memihak kekiri dan
kekanan, yang dapat mengantar manusia berlaku adil. Posisi itu juga yang
menajdikannya dapat menyaksikan siapapun dan dimanapun. Allah menjadikan umat
Islam pada posisi pertengahan agar menajdi saksi atas perbuatan manusia, yakni
umat yang lain.
Abdullah Yusuf Ali mengartikan wasathan
sebagai justly balance maksudnya
bahwa esensi ajaran Islam adalah menghilangkan segala bentuk ekstriminitas
dalam berbagai hal. Kata wasathan
juga menunjuk pada letak geografi yaitu letak geografi tanah Arab berada di
pertengahan bumi.[17][13] Dari beberapa pengertian yang dikemukakan diatas, mengisyaratkan bahwa
sebuah masyarakat ideal terbangun dari sikap para personnya yang berlaku tidak
berlebih-lebihan dari satu urusan kepada urusan yang lain, atau berada pada
posisi tengah diantara dua ekstrim. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Quraish Shihab yang mengemukakan bahwa pada mulanya kata wasath berarti segala sesuatu yang baik sesuai dengan objeknya.
Sesuatu yang baik berada pada posisi dua ekstrim, yang dicontohkan bahwa
keberanian adalah pertengahan antara sikap ceroboh dan takut, kedermawanan
adalah pertengahan antara sikap kikir dan boros, dll, dari situ berkembang
maknanya menjadi tengah.[18][14]
Sementara itu Muhammad Quthb, mengatakan bahwa ummathan wasathan jika dihubungkan pada posisi Islam yang berada di
tengah sisi ekstrim,--yaitu kapitalisme dan komunisme-- Jika diperhatikan tiga
sistem kehidupan yang diperjuangkan, yaitu Islam, komunisme dan kapitalisme,
maka dapat dijumpai bahwa dalam sistem ekonominya—Islam—yang berkenaan dengan
hak milik pribadi misalnya ada hubungan yang erat dengan konsep
kemasyarakatannya. Sistem kapitalis didirikan diatas konsep bahwa individu
adalah suatu makhluk suci yang hak-haknya tidak boleh diganggu gugat oleh
masyarakat atau tidak boleh dihalang-halangi kebebasannya. Oleh karena itu,
dalam sistem kapitalisme ini milik pribadi diizinkan tanpa ada pembatasan apapun.
Sebaliknya sistem komunisme mendasarkan konsepnya atas landasan bahwa
masyarakat itu adalah pokok yang terpenting sehingga individu dengan sendirinya
dianggap tidak mempunyai kekuasaan apapun. Oleh karenanya komunisme meletakan
seluruh hak milik pribadi berada di dalam kekuasaan Negara sebagai wakil
masyarakat dan hak milik individu tidak diakuinya.kedua konsep ini berlainan
dengan konsep Islam. Dalam konsep Islam individu serentak mempunyai dua sifat
dalam waktu bersamaan, yaitu memiliki sifat sebagai individu yang bebas dan
memiliki sifat sebagai salah satu anggota masyarakat. Dalam konsep
kemasyarakatannya yang didasarkan atas teori Islam, Al Qur’an tidak memisahkan
individu dengan masyarakat dan tidak pula mempertentangkannya. Kedua watak yang
dimiliki oleh individu yakni sebagai pribadi yang bebas dan sebagai anggota
masyarakat, itu telah diatur oleh syari’at Islam agar memiliki keseimbangan
diantara kedua watak tersebut, kepentingan individu terlindungi dan kepentingan
masyarakat terpelihara. jadi masyarakat ideal adalah masyarakat yang sikapnya
dan tindakanya berada pada posisi dua ekstrim seperti yang tersebut diatas,
serta mampu berlaku adil sehingga dapat dijadikan saksi. suatu masyarakat belum
dijadikan sebagai saksi sebelum mengikuti Rasulullah atau menjadikan Rasulullah
sebagai teladan, karena jika tidak menjadikan Rasulullah sebagai tauladan maka
suatu masyarakat tidak disebut sebagai masyarakat pertengahan tetapi masyarakat
yang mengikutii salah satu dari dua ekstrim. Ketika suatu masyarakat telah
menjadikan Rasullulah sebagai teladanya maka Rasulullah akan menjadi saksi atas
masyarakat tersebut. Jadi sangat tidak mungkin Rasulullah akan menjadi saksi
atas masyarakat yang berlaku tidak adil. Dalam hal ini apakah rasulullah akan
menjadi saksi pada masyarakat yang bersikap dzalim dengan berlaku anarkis?
- Objektifikasi dalam Konteks Indonesia Kini
Supremasi hukum di Indonesia masih harus direformasi untuk
menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem
hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang
terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya
setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Keadaan yang sebaliknya terjadi di
Indonesia. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa
terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan
sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Adilkah ini?
Kasus Nenek Minah asal Banyumas yang
divonis 1,5 bulan kurungan adalah salah satu contoh ketidakadilan hukum di
Indonesia. Kasus ini berawal dari pencurian 3 buah kakao oleh Nenek Minah. Saya
setuju apapun yang namanya tindakan mencuri adalah kesalahan. Namun demikian
jangan lupa hukum juga mempunyai prinsip kemanusiaan. Masak nenek-nenek kayak
begitu yang buta huruf dihukum hanya karena ketidaktahuan dan keawaman Nenek
Minah tentang hukum.
Menitikkan air mata ketika saya
menyaksikan Nenek Minah duduk di depan pengadilan dengan wajah tuanya yang
sudah keriput dan tatapan kosongnya. Untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek
Minah harus meminjam uang Rp.30.000,- untuk biaya transportasi dari rumah ke
pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh. Seorang Nenek Minah saja bisa
menghadiri persidangannya walaupun harus meminjam uang untuk biaya
transportasi. Seorang pejabat yang terkena kasus hukum mungkin banyak yang
mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.
Tidak malukah dia dengan Nenek Minah?. Pantaskah Nenek Minah dihukum hanya
karena mencuri 3 buah kakao yang harganya mungkin tidak lebih dari
Rp.10.000,-?. Dimana prinsip kemanusiaan itu?. Adilkah ini bagi Nenek Minah?.
Bagaimana dengan koruptor kelas
kakap?. Inilah sebenarnya yang menjadi ketidakadilan hukum yang terjadi di Indonesia.
Begitu sulitnya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Apakah karena mereka
punya kekuasaan, punya kekuatan, dan punya banyak uang ?, sehingga bisa
mengalahkan hukum dan hukum tidak berlaku bagi mereka para koruptor.
Sangat mudah menjerat hukum terhadap Nenek Minah, gampang
sekali menghukum seorang yang hanya mencuri satu buah semangka, begitu mudahnya
menjebloskan ke penjara suami-istri yang kedapatan mencuri pisang karena
keadaan kemiskinan. Namun demikian sangat sulit dan sangat berbelit-belit begitu
akan menjerat para koruptor dan pejabat yang tersandung masalah hukum di negeri
ini. Ini sangat diskriminatif dan memalukan sistem hukum dan keadilan di
Indonesia. Apa bedanya seorang koruptor dengan mereka-mereka itu?.
Saya tidak membenarkan tindakan
pencurian oleh Nenek Minah dan mereka-mereka yang mempunyai kasus seperti Nenek
Minah. Saya juga tidak membela perbuatan yang dilakukan oleh Nenek Minah dan
mereka-mereka itu. Tetapi dimana keadilan hukum itu? Dimana prinsip kemanusian
itu?. Seharusnya para penegak hukum mempunyai prinsip kemanusiaan dan bukan
hanya menjalankan hukum secara positifistik.
Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa seperti Nenek Minah dan teman-temannya itu, yang hanya melakukan tindakan pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan bebasnya.
Oleh karena itu perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara komprehensif mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan aspek kemanusiaan.
Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa seperti Nenek Minah dan teman-temannya itu, yang hanya melakukan tindakan pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan bebasnya.
Oleh karena itu perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara komprehensif mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan aspek kemanusiaan.
BAB
IV
KESIMPULAN
Masyarakat
ideal menurut Al Qur’an Surat Al Baqarah: 143 adalah masyarakat harmonis atau
masyarakat berkeseimbangan yang bercirikan bersifat moderat dan berdiri
ditengah-tengah serta adil. Ummathan
wasathan adalah masyarakat moderat yang posisinya berada ditengah agar
dilihat oleh semua pihak dari segenap penjuru dan dijadikan sebagai saksi
sekaligus menjadi teladan dan panutan bagi yang lain dan pada saat yang sama
mereka menjadikan Nabi Muhammad SAW. sebagai patron, teladan dan saksi dan
pembenaran semua aktifitasnya.[19][15]
Referensi
Ahmad
Mustofa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi,
Pent. Ashori Umar Sitanggal dkk., Semarang: CV Toha Putra, 1987.
Al Imam Abul
Fida Ismail Ibnu Kasir Ad Dimasyqi, Tafsir
Ibnu Kasir, pent. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000
Ali Nurdin, Quranic Societi: Menelusuri Konsep
Masyarakat Ideal dalam Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.
M. Quraish Shihab, Wawasasn Al Qur’an, Bandung: Penerbit
Mizan, 1996.
_________, Tafsir Al Misbah, Pesan,
Kesan dan Keserasian Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati,
2000
Sayyid
Quthub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an
(dibawah Naungan Al Qur’an), Penj. As’ad Yasin dkk., Jakarta: Gema Insani,
2000.
Anshari,
Julian. Dari Bumi untuk Langit. Bandung. 2014.
[1][1] Yusuf Al
Qordhawy, Malamih Al Mujtama’ Al Muslim
Alladzi Nansyuduhu (Anatomi Masyarakat Islam), pent. Setiawan Budi Utomo,
Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999, hal.1.
[4][12] Ali Nurdin, Quranic Societi: Menelusuri Konsep
Masyarakat Ideal dalam Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, hal.
10-11.
[7][3] Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an (dibawah Naungan Al Qur’an), Penj. As’ad
Yasin dkk., Jakarta: Gema Insani, 2000, hal. 158.
[8][4] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan
dan Keserasian Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000, hal. 325.
[9][5] Al Imam Abul
Fida Ismail Ibnu Kasir Ad Dimasyqi, Tafsir
Ibnu Kasir, pent. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000,
hal. 10.
[11][7] Ahmad Mustofa
Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, Pent.
Ashori Umar Sitanggal dkk., Semarang: CV Toha Putra, 1987.
[12][8] Sayyid Quthub, Tafsir fi
Zhilalil Qur’an (dibawah Naungan Al Qur’an), Penj. As’ad Yasin dkk.,
Jakarta: Gema Insani, 2000, hal. 158-159.
[16][12] Ali Nurdin, Quranic Societi: Menelusuri Konsep
Masyarakat Ideal dalam Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, hal.
10-11.
[19][15] Ali Nurdin, Quranic Societi: Menelusuri Konsep
Masyarakat Ideal dalam Al Qur’an, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, hal.
108.
0 Response to "Makalah masyarakat Ummatan wasathan dalam perspektif Alquran"
Post a Comment