BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu
indikator kemajuan suatu bangsa. Pendidikan akan maju apabila ditunjang oleh
guru yang berkualitas, kurikulum yang sesuai dan evaluasi yang cermat. Pada
gilirannya akan menghasilkan peserta didik yang handal sesuai dengan tuntutan
zaman yang semakin progresif dan kompleks.
Berhasil atau tidak suatu pendidikan salah
satunya adalah karena guru. Guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam
perkembangan dan kemajuan anak didiknya, dari sinilah guru dituntut untuk dapat
menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Untuk dapat mencapai tujuan pengajaran
yang diharapkan guru harus pandai memilih
metode yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak didik, supaya anak
didik dapat mengikuti proses pembelajaran secara seksama dan memperoleh
kepahaman terhadap materi yang telah disampaikan oleh gurunya.
Kegiatan pembelajaran terdapat dua kegiatan yang
sinergik yaitu guru mengajar dan siswa
belajar. Guru mengajarkan bagaimana siswa harus belajar, sementara siswa
belajar bagaimana seharusnya belajar melalui berbagai pengalaman belajar
sehingga terjadi perubahan dalam dirinya dari aspek kognitif, psikomotorik dan afektif. Guru yang kompeten akan lebih mampu
menciptakan lingkungan yang efektif dan akan lebih mampu mengelola proses
belajar mengajar, sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat yang
optimal.
Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara
sistematis sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa
fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan
suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi
peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek
pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk
mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara
ilmiah (BSNP 2006 dalam Isriani dan Dewi Puspitasari, 2012: 149-150).
Seorang pendidik
dituntut untuk menguasai metode, karena dapat membantu pendidik untuk
mempermudah tugasnya dalam menyampaikan mata pelajaran. Yang terpenting
metode digunakan agar siswa
mampu berperan aktif dalam proses belajar mengajar. Hal ini sangat
berhubungan dengan kurikulum yang digunakan dalam pembelajaran sekarang yaitu
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pendidik dituntut untuk menerapkan
tiga ranah dalam pendidikan yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, dan
juga guru diharapkan mampu melihat tingkat kemampuan yang dimiliki oleh siswa,
baik itu siswa yang visual, auditorial maupun kinestik.
Salah satu
pembelajarannya adalah dengan menggunakan metode resitasi (penugasan). Menurut
Nana Sudjana (2009: 81), bahwa “Tugas dan resitasi tidak sama dengan pekerjaan
rumah, tetapi jauh lebih luas dari itu. Tugas bisa dilaksanakan di rumah, di
sekolah, di perpustakaan dan di tempat lainnya. Tugas dan resitasi merangsang
anak untuk aktif belajar baik secara individual maupun secara kelompok”. Metode
resitasi bertujuan untuk melatih siswa agar dapat meningkatkan hasil belajar
yang maksimal dalam materi pelajaran rangka manusia. Pembelajaran ini dapat
diterapkan untuk tingkat SD/ MI karena hampir semua materi dan sifatnya yang
ada berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Untuk itu materi pelajaran rangka
manusia cocok untuk mengeksplorasi dan menambah pengetahuan serta keterampilan
yang dapat meningkatkan hasil belajar terhadap siswa kelas IV MIN 1 Kota
Bandung.
Tuntutan kurikulum dan
hasil belajar siswa diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan, keterampilan
dan pengalaman ketika mereka berada di lingkungannya, maka dalam pelaksanaan
pembelajaran diperlukan suatu pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan ruang
lingkup sains di SD/ MI, yaitu bekerja ilmiah dengan tujuan agar siswa dapat
berlatih menguasai materi, pemahaman dan penerapannya sebagai upaya memudahkan
siswa berlatih untuk dapat mengkonstruksi konsep yang sedang dipelajari. Setiap
siswa mempunyai kemampuan untuk melakukan persoalan ilmu pengetahuan yang
diterima dalam kehidupan nyata.
Disaat sekarang ini
sering dijumpai para siswa yang tidak punya kesiapan dalam kegiatan belajar
mengajar, terutama dalam hal materi pelajaran yang akan disampaikan, bahkan
kadang lupa sama sekali, sehingga ketika di dalam kelas siswa tidak tahu materi
apa yang dibahas, apalagi mengenai isinya dan sering dari mereka itu
melupakannya. Selain itu dalam proses belajar mengajar sering kita jumpai
berbagai permasalahan yang salah satunya adalah alokasi waktu yang tidak
mencukupi, sehingga menyebabkan interaksi belajar mengajar menjadi tidak
efektif dan efesien serta tidak sesuai dengan tuntutan yang diharapkan oleh
kurikulum. Permasalahan tersebut juga terjadi di MIN 1 Kota Bandung. Dari hasil
observasi dan wawancara peneliti dengan dewan
guru dan pihak sekolah, dapat diambil kesimpulan
bahwa di MIN 1 Kota Bandung mengalami permasalahan pembelajaran,
khususnya mata pelajaran IPA di kelas IV.
Kondisi tersebut tentu
saja berpengaruh pada hasil belajar siswa
kelas IV MIN 1 Kota Bandung. Hal ini terlihat pada saat diadakan ulangan
harian, banyak diantara siswa yang mendapat nilai di bawah rata-rata dengan KKM
yaitu 60, sehingga guru harus mengulang lagi materi yang telah diajarkan dan
diadakan remedial untuk memberi kesempatan pada siswa memperbaiki nilai mereka.
Efeknya adalah alokasi waktu untuk materi berikutnya menjadi berkurang,
sehingga waktu yang dimiliki oleh guru untuk menyampaikan materi berikutnya
juga berkurang dikarenakan waktu yang telah tersita untuk mengulang materi yang
sebelumnya. Resiko yang muncul kemudian adalah siswa akan kewalahan dalam
menghadapi ujian semester dan ujian kenaikan kelas, karena materi yang diujikan
mencakup seluruh Bab pada semester ganjil.
Berdasarkan hal di atas
untuk mengatasinya diperlukan metode pembelajaran agar pelaksanaan belajar
mengajar dapat terlaksana secara efektif, satu metode yang bisa memaksimalkan
waktu yang tersedia serta mampu memaksa siswa terus belajar walaupun tidak dalam
proses pembelajaran di kelas, salah satunya yaitu menerapkan atau menggunakan
metode resitasi (penugasan), baik
itu tugas individual atau kelompok, rumah/ sekolah. Metode resitasi pada hakekatnya
adalah menyuruh anak didik untuk melakukan kegiatan (pekerjaan) belajar, baik
berguna bagi dirinya sendiri maupun dalam proses memperdalam dan memperluas pengetahuan dan pengertian bidang studi yang
dipelajarinya.
MIN 1 Kota Bandung mempunyai
delapan kelas yaitu masing-masing kelas I-VI mempunyai dua kelas A dan B yang
pembelajarannya untuk kelas I-III bagian pagi dan kelas IV-VI bagian siang,
untuk masing-masingnya terdiri dari 31-38 siswa. MIN 1 Kota Bandung mempunyai banyak
guru IPA disetiap kelasnya. Berdasarkan hasil observasi awal di lapangan dan
wawancara peneliti dengan dewan guru dan pihak sekolah, dapat diambil
kesimpulan bahwa di MIN 1 Kota Bandung mengalami permasalahan pembelajaran,
khususnya mata pelajaran IPA di kelas IV. Dengan kondisi siswa yang masih belum
memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sekolah yaitu 60.
Menurut guru IPA di MIN
1 Kota Bandung, siswa mengalami kesulitan belajar IPA karena guru lebih sering
menjelaskan materi pelajaran dengan menggunakan metode ceramah dan siswa
cenderung hanya mencatat dan menyalin. Untuk mengatasinya, maka metode yang
cocok digunakan dalam penelitian ini adalah metode resitasi agar pelaksanaan
belajar mengajar dapat terlaksana secara efektif, satu metode yang bisa memaksimalkan
waktu yang tersedia serta mampu memaksa siswa terus belajar walaupun tidak
dalam proses pembelajaran di kelas, salah satunya yaitu dengan menerapkan metode
resitasi sebagai langkah alternatif dalam rangka mengefesiensikan proses pembelajaran.
Berdasarkan uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan penelitian ini diberi judul
“PENERAPAN METODE RESITASI SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA
PADA MATA PELAJARAN IPA MATERI RANGKA MANUSIA” (Penelitian Tindakan Kelas Terhadap Siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan
latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat diambil suatu permasalahan
yang memerlukan penjelasan yang lebih akurat dan mendetail. Adapun beberapa
rumusan masalah yang terkait, sebagai berikut:
1. Bagaimana realitas penerapan
metode resitasi sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV MIN 1
Kota Bandung pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia?
2. Bagaimana peningkatan hasil
belajar siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung pada materi rangka manusia melalui
penerapan metode resitasi pada setiap siklus dan antar siklus?
C.
Tujuan Penelitian
Dari uraian di atas,
maka tujuan pokok penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang realitas
penerapan metode resitasi sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa kelas
IV MIN 1 Kota Bandung pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia.
2. Mengetahui peningkatan hasil
belajar siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung pada materi rangka manusia melalui penerapan
metode resitasi pada setiap siklus dan antar siklus.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam penelitian.
Secara lebih rinci manfaat penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Manfaat
Teoritis
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pendidikan, terutama dalam proses belajar
mengajar. Khususnya dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA melalui penerapan metode resitasi.
2. Manfaat
Praktis
a. Bagi siswa, memberikan kesempatan
untuk lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran, memberikan pengalaman belajar
yang lebih nyata agar siswa terbiasa dapat mengkonstruksi pemahaman sendiri
serta meningkatkan hasil belajar terhadap siswa kelas IV pada mata pelajaran
IPA.
b. Bagi guru, menambah informasi
tentang pembelajaran yang cocok untuk mata pelajaran IPA, adanya inovasi
pembelajaran IPA oleh guru yang menitikberatkan pada metode resitasi yang dapat
meningkatkan kualitas belajar mengajar.
c. Bagi sekolah, dapat dijadikan
sumber informasi sejauh mana pemahaman siswa-siswi di sekolah tersebut.
d. Bagi peneliti, menambah
pengetahuan tentang metode-metode pembelajaran beserta penerapannya dalam
proses belajar mengajar dan dapat menjadi masukan untuk mengembangkan
penelitian selanjutnya.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A.
Landasan Teori
1.
Metode Pembelajaran
a.
Pengertian metode pembelajaran
Metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar, metode diperlukan oleh guru dan
penggunaannya bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai setelah
pengajaran berakhir. Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila dia tidak menguasai satu pun
metode mengajar yang dirumuskan dan dikemukakan para ahli psikologi dan
pendidikan (Syaiful Bahri Djamarah, 1991a: 72 dalam Syaiful Bahri Djamarah dan
Aswan Zain, 2010b: 46).
Menurut Isriani Hardini dan Dewi Puspitasari (2012: 13), metode merupakan
cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam proses belajar mengajar, tentunya
terdapat metode pembelajaran. Metode pembelajaran merupakan cara-cara yang
ditempuh guru untuk menciptakan situasi pengajaran yang menyenangkan dan
mendukung bagi kelancaran proses belajar dan tercapainya prestasi belajar anak
yang memuaskan.
Berdasarkan definisi di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam proses pembelajaran, guru harus
memiliki strategi agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan baik.
Strategi berarti rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran
khusus. Salah satu unsur dalam strategi pembelajaran adalah menguasai
teknik-teknik penyajian atau metode mengajar.
Sebagai seorang guru, tentunya mengetahui metode-metode pembelajaran di
sekolah sangatlah penting. Tanpa mengetahui metode-metode pembelajaran, jangan
harap proses belajar mengajar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh
karena itu, untuk mendorong keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar,
guru seharusnya mengerti akan fungsi dan langkah-langkah pelaksanaan metode
mengajar.
b.
Faktor yang mempengaruhi
penggunaan metode
Menurut Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M. Sc. Ed., dalam Syaiful Bahri
Djamarah dan Aswan Zain (2010: 46), mengemukakan lima faktor yang mempengaruhi
penggunaan metode mengajar sebagai berikut:
1)
Tujuan yang berbagai-bagai jenis dan fungsinya.
2)
Anak didik yang berbagai-bagai tingkat kematangannya.
3)
Situasi yang berbagai-bagai keadaannya.
4)
Fasilitas yang berbagai-bagai kualitas dan kuantitasnya.
5)
Pribadi guru serta kemampuan profesionalnya yang
berbeda-beda.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan belajar mengajar, guru tidak
harus terpaku dengan menggunakan satu metode tetapi guru sebaiknya menggunakan
metode yang bervariasi agar jalannya pengajaran tidak membosankan, tetapi
menarik perhatian peserta didik. Tetapi juga penggunaan metode yang bervariasi
tidak akan menguntungkan kegiatan belajar mengajar bila penggunaannya tidak
tepat dan sesuai dengan situasi yang mendukungnya, dan dengan kondisi
psikologis peserta didik.
2.
Metode Resitasi
a.
Pengertian metode resitasi
(penugasan)
Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2010: 85), metode resitasi
(penugasan) adalah metode penyajian bahan dimana guru memberikan tugas tertentu
agar siswa melakukan kegiatan belajar. Masalahnya tugas yang dilaksanakan oleh
siswa dapat dilakukan di dalam kelas, di halaman sekolah, di laboratorium, di
perpustakaan, di bengkel, di rumah siswa atau dimana saja asal tugas itu dapat
dikerjakan.
Menurut Ihat Hatimah (2003: 65), metode resitasi (penugasan) yaitu cara
pemberian tugas yang dilakukan oleh sumber belajar kepada warga belajar yang
pelaksanaannya dapat dilakukan di dalam kelas maupun di luar kelas, serta dapat
dilakukan secara individual maupun kelompok. Tujuan metode resitasi yaitu untuk
melatih warga belajar agar memiliki hasil belajar yang lebih bermakna, karena
warga belajar dituntut untuk mencari dan menemukannya sendiri.
Menurut Isriani Hardini dan Dewi Puspitasari (2012: 26), metode pemberian
tugas atau resitasi adalah cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan
tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar, kemudian harus
dipertanggungjawabkan. Tugas yang diberikan guru dapat merangsang siswa untuk
aktif belajar, baik secara individual maupun kelompok.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa metode resitasi adalah metode yang penyajian bahannya dengan cara guru
memberikan tugas tes tertentu agar siswa melakukan persiapan belajar.
b.
Tujuan penggunaan metode
resitasi
Menurut Roestiyah (2001: 133), teknik pemberian tugas atau resitasi biasanya
digunakan dengan tujuan agar siswa memiliki hasil belajar yang lebih mantap,
karena siswa melaksanakan latihan-latihan selama melakukan tugas sehingga
pengalaman siswa dalam mempelajari sesuatu dapat lebih terintegrasi.
Di samping itu, dapat disimpulkan bahwa metode resitasi juga mempunyai
tujuan untuk memperoleh pengetahuan secara melaksanakan tugas akan memperluas
dan memperkaya pengetahuan serta keterampilan siswa di sekolah melalui
kegiatan-kegiatan di luar sekolah. Dengan kegiatan melaksanakan tugas siswa
aktif belajar dan merasa terangsang untuk meningkatkan belajar yang lebih baik,
memupuk inisiatif dan berani bertanggung jawab sendiri. Banyak tugas yang harus
dikerjakan siswa, hal itu diharapkan mampu menyadarkan siswa untuk selalu
memanfaatkan waktu senggangnya untuk hal-hal yang menunjang belajarnya dengan
mengisi kegaitan-kegiatan yang berguna.
c.
Langkah-langkah menggunakan
metode resitasi (penugasan)
Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2010: 86), ada
langkah-langkah yang harus diikuti dalam penggunaan metode tugas atau resitasi,
yaitu:
1)
Fase pemberian tugas
Tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya mempertimbangkan:
a)
Tujuan yang akan dicapai.
b)
Jenis tugas yang jelas dan tepat sehingga anak mengerti
apa yang ditugaskan tersebut.
c)
Sesuai dengan kemampuan siswa.
d)
Ada petunjuk/ sumber yang dapat membantu pekerjaan siswa.
e)
Sediakan waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas
tersebut.
2)
Langkah pelaksanaan tugas
a)
Diberikan bimbingan/ pengawasan oleh guru.
b)
Diberikan dorongan sehingga anak mau bekerja.
c)
Diusahakan/ dikerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh
orang lain.
d)
Dianjurkan agar siswa mencatat hasil-hasil yang ia
peroleh dengan baik dan sistematik.
3)
Fase mempertanggungjawabkan tugas
Hal yang harus dikerjakan pada fase ini:
a)
Laporan siswa baik lisan/ tertulis dari apa yang telah
dikerjakannya.
b)
Ada tanya jawab/ diskusi kelas.
c)
Penilaian hasil pekerjaan siswa baik dengan tes maupun
nontes atau cara lainnya.
Fase mempertanggungjawabkan tugas inilah yang disebut resitasi.
Menurut Roestiyah (2001: 136), dalam pelaksanaan teknik pemberian tugas dan
resitasi perlu memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Merumuskan tujuan khusus dari tugas yang diberikan.
b.
Pertimbangkan betul-betul apakah pemilihan teknik resitasi itu telah tepat
dapat mencapai tujuan yang telah anda rumuskan.
c.
Anda perlu merumuskan tugas-tugas dengan jelas dan mudah dimengerti. Namun
sebelumnya anda perlu mendalami alasan-alasan anda untuk memberi tugas itu,
perlu tidaknya, bermanfaat atau tidak bagi siswa. Perlu anda pertimbangkan pula
penggunaan teknik resitasi itu, apakah tugas-tugas itu wajar anda berikan,
tidak memberatkan siswa? Juga selama siswa melaksanakan tugas, apakah dapat
berjalan biasa? Serta dapat dilaksanakan pengawasan dengan baik. Apakah ada
kemungkinan-kemungkinan yang menganggu siswa?
d.
Anda perlu menetapkan bentuk resitasi yang akan dilaksanakan, sehingga
siswa pasti mengerjakannya karena bentuknya telah pasti. Untuk hal ini anda
perlu memahami bentuk-bentuk resitasi yang mungkin dapat digunakan, sehingga
anda dapat memilih dengan tepat. Serta meneliti, apakah kemungkinan tindak
lanjut setelah anda menggunakan teknik resitasi.
e.
Anda telah menyiapkan alat evaluasi, sehingga setelah resitasi selesai
dilaporkan di depan kelas atau didiskusikan atau untuk tanya jawab, maka guru
segera bisa mengevaluasi hasil kerja siswa itu.
Menurut Ihat Hatimah (2003: 65), langkah-langkah penggunaan metode
resitasi, antara lain:
1)
Sumber belajar menjelaskan tugas yang harus dikerjakan
oleh warga belajar.
2)
Warga belajar mengerjakan tugas.
3)
Warga belajar melaporkan hasil kerjanya.
4)
Sumber belajar bersama warga belajar membahas tentang
tugas yang sudah dikerjakan dalam rangka penyempurnaan.
Menurut Nana Sudjana (2009: 81-82), langkah-langkah menggunakan metode
tugas/ resitasi terdiri dari 3 fase, yaitu antara lain:
1.
Fase pemberian tugas
a.
Tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya
mempertimbangkan:
b.
Tujuan yang akan dicapai
c.
Jenis tugas yang jelas dan tepat sehingga anak mengerti
apa yang ditugaskan tersebut.
d.
Sesuai dengan kemampuan siswa
e.
Ada petunjuk/ sumber yang dapat membantu pekerjaan siswa
f.
Sediakan waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas
tersebut
2.
Langkah pelaksanaan tugas
a.
Diberikan bimbingan/ pengawasan oleh guru
b.
Diberikan dorongan sehingga anak mau bekerja
c.
Diusahakan/ dikerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh
orang lain.
d.
Dianjurkan agar siswa mencatat hasil-hasil yang ia
peroleh dengan baik dan sistematik.
3.
Fase mempertanggungjawabkan tugas
Hal yang harus dikerjakan pada fase ini:
a.
Laporan siswa baik lisan/ tertulis dari apa yang telah
dikerjakan.
b.
Ada tanya jawab/ diskusi kelas
c.
Penilaian hasil pekerjaan siswa baik dengan tes maupun
non tes atau cara lainnya.
Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
metode resitasi terdapat tiga fase, di sini guru memberikan tugas sebagai
berikut:
1)
Tugas yang diberikan guru harus disesuaikan dengan
kemampuan peserta didik. Dalam pelaksanaan tugas itu kemungkinan peserta didik
akan menjawab dan menyelesaikan suatu bentuk hitungan dan ada pula berbentuk
sesuatu yang harus diselesaikan, ada pula berbentuk suatu yang baik dari
berbagai aspek.
2)
Murid melaksanakan tugas (belajar) cara murid belajar
akan terlaksana dengan baik apabila dia belajar sesuai dengan petunjuk yang
diberikan guru dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
3)
Murid mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya
(resitasi). Resitasi itu juga akan wajar apabila sesuai dengan tujuan pemberian
tugas.
Untuk penyempurnaan penggunaan metode resitasi, maka sumber belajar
sebaiknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a)
Sumber belajar mengetahui dasar kemampuan dari setiap
warga belajar dalam mengerjakan tugas sesuatu.
b)
Tugas yang diberikan kepada warga belajar harus
disesuaikan dengan kemampuannya, sehingga jangan menjadi beban terlalu berat
bagi warga belajar.
c)
Tugas yang diberikan jangan terlalu banyak tetapi harus
disesuaikan dengan kedudukan tugas tersebut dihubungkan dengan kebutuhan materi
pelajaran.
d)
Adanya pembahasan bersama tentang tugas yang sudah
diberikan tersebut supaya lebih bermakna bagi warga belajar.
d. Kelebihan dan
kekurangan metode resitasi
Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2010: 87), metode tugas dan
resitasi mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, antara lain:
1)
Kelebihannya:
a)
Lebih merangsang siswa dalam melakukan aktivitas belajar
individual ataupun kelompok.
b)
Dapat mengembangkan kemandirian siswa di luar pengawasan
guru.
c)
Dapat membina tanggung jawab dan disiplin siswa.
d)
Dapat mengembangkan kreativitas siswa.
2)
Kekurangannya:
a)
Siswa sulit dikontrol, apakah benar ia yang mengerjakan
tugas ataukah orang lain.
b)
Khusus untuk tugas kelompok, tidak jarang yang aktif
mengerjakan dan menyelesaikan adalah anggota tertentu saja. Sedangkan, anggota
lainnya tidak berpartisipasi dengan baik.
c)
Tidak mudah memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan
individu siswa.
d)
Sering memberikan tugas yang monoton (tidak bervariasi)
dapat menimbulkan kebosanan siswa.
Menurut Ihat Hatimah (2003: 67), dalam penggunaan suatu metode pasti ada
kelebihan dan kekurangannya, begitu juga dengan metode ini.
(1)
Kelebihan metode resitasi, antara lain:
(a)
Menambah pengalaman bagi warga belajar sehingga dalam
pemahaman suatu materi lebih terintegrasi.
(b)
Memperluas pengetahuan dan keterampilan warga belajar
dengan adanya usaha sendiri.
(c)
Warga belajar akan lebih aktif belajar.
(d)
Melatih warga belajar untuk bertanggung jawab dan
berusaha mandiri.
(2)
Kelemahan metode resitasi, antara lain:
a)
Apabila tidak ada pengawasan dan sumber belajar,
kemungkinan ada warga belajar hanya meniru tugas temannya.
b)
Bagi warga belajar yang kurang termotivasi dengan adanya
tugas, maka kemungkinan lain tugasnya langsung dikerjakan oleh orang lain atau
mengerjakan tugasnya asal-asalan.
Teknik resitasi ini memiliki kebaikan sebagai teknik
penyajian ialah karena siswa mendalami dan mengalami sendiri pengetahuan yang
dicarinya, maka pengetahuan itu akan tinggal lama di dalam jiwanya. Apalagi
dalam melaksanakan tugas ditunjang dengan minat dan perhatian siswa, serta
kejelasan tujuan mereka bekerja. Pada kesempatan ini, siswa juga dapat
mengembangkan daya berpikirnya sendiri, daya inisiatif, daya kreatif, tanggung
jawab dan melatih berdiri sendiri. Namun, teknik ini juga tidak lepas dari
kelemahan-kelemahannya seperti siswa kemungkinan hanya meniru pekerjaan
temannya, itu kelemahannya bila guru tidak dapat mengawasi langsung pelaksanaan
tugas itu. Jadi siswa tidak menghayati sendiri proses belajar mengajar itu
sendiri. Kemungkinan lain, orang lain yang mengerjakan tugas itu maka perlu
diminta bantuan orang tua dengan memberitahu bahwa anaknya mempunyai tugas yang
harus dikerjakan di rumah, sehingga dapat turut mengawasi pelaksanaan tugas,
dapat menjadi tempat mengecek apakah itu pekerjaan siswa sebenarnya atau bukan
(Roestiyah, 2001:135).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa semua guru
pasti memberi tugas. Jadi kenyataan siswa banyak mempunyai tugas dari beberapa
mata pelajarn itu, akibatnya tugas itu terlalu banyak diberikan kepada siswa
menyebabkan siswa mengalami kesukaran untuk mengerjakan serta dapat mengganggu
pertumbuhan siswa, karena tidak mempunyai waktu lagi untuk melakukan
kegiatan-kegiatan lain yang perlu untuk perkembangan jasmani dan rohaninya.
Kalau guru memperhatikan hal-hal di atas, maka walaupun metode ini baik untuk
digunakan tetapi jangan terlalu sesering mungkin diberikan agar tidak terlalu
menyita waktu siswa dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan siswa secara
wajar.
3. Hasil Belajar
a.
Pengertian belajar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam
Isriani Hardini dan Dewi Puspitasari (2012: 3-4), belajar adalah berusaha memperoleh
kepandaian atau ilmu. Berikut ini adalah beberapa definisi belajar menurut para
ahli:
1)
Menurut Gage, belajar adalah proses di mana suatu
organisme berubah perilakunya akibat dari pengalaman.
2)
Menurut Skinner, belajar adalah suatu proses
adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.
Belajar juga dipahami sebagai suatu perilaku, pada saat orang belajar, maka
responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, jika ia tidak belajar, responnya
menurun. Dengan demikian, belajar diartikan sebagai suatu perubahan dalam
kemungkinan atau peluang terjadinya respon.
3)
Menurut Robert M Gagne, belajar adalah suatu
proses yang kompleks dan hasil belajar berupa kapabilitas, timbulnya
kapabilitas disebabkan stimulasi yang berasal dari lingkungan dan proses
kognitif yang dilakukan oleh pelajar.
Berdasarkan beberapa definisi belajar tersebut
dapat disimpulkan bahwa belajar pada dasarnya berbicara tentang tingkah laku
seseorang berubah sebagai akibat pengalaman yang berasal dari lingkungan.
Menurut Muhibbin Syah (1995: 91), secara umum
belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu
yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan
yang melibatkan proses kognitif.
Menurut Nana Sudjana (2009: 28), belajar bukan
menghafal dan bukan pula mengingat. Belajar adalah suatu proses yang ditandai
dengan adanya perrubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil proses
belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuannya,
pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, keterampilannya, kecakapan dan
kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain aspek yang ada
pada individu. Oleh sebab itu, belajar adalah proses yang aktif, belajar adalah
proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada disekitar individu. Belajar
adalah proses yang diarahkan kepada tujuan, proses berbuat melalui berbagai
pengalaman. Belajar adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu.
Menurut Slameto (1988: 2), belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan
individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya.
Berdasarkan definisi-definisi para ahli bahwa belajar itu membawa perubahan
(dalam arti behavioral changes, aktual maupun potensial), perubahan itu pada
pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru dan perubahan itu terjadi karena
usaha (dengan sengaja) (Sumadi Suryabrata, 1984: 253).
Jadi, dapat disimpulkan dari beberapa pendapat di atas bahwa belajar
merupakan kegiatan fisik dan mental, sehingga perubahan yang ada harus
tergambar pada perkembangan fisik dan mental siswa, keberhasilan belajar siswa
dapat diukur berdasarkan pada besarnya rentang perubahan sebelum dan sesudah
siswa mengikuti kegiatan belajar. Dari proses belajar
mengajar itu diharapkan terjadi perubahan-perubahan yang terjadi dan itulah
yang dinamakan hasil belajar.
b.
Tujuan belajar
Menurut A. M (1986: 28-31) dalam Isriani Hardini
dan Dewi Puspitasari (2012: 5-6), tujuan belajar adalah sebagai berikut:
1)
Untuk mendapatkan pengetahuan. Hal ini ditandai
dengan kemampuan berpikir. Jenis interaksi atau cara yang digunakan untuk
kepentingan itu pada umumnya dengan model kuliah (presentasi), pemberian
tugas-tugas bacaan. Dengan demikian, siswa akan diberikan pengetahuan sehingga
menambah pengetahuannya dan sekaligus akan mencarinya sendiri untuk
mengembangkan cara berpikir dalam rangka memperkaya pengetahuan.
2)
Penanaman konsep dan keterampilan. Penanaman
konsep atau merumuskan konsep juga memerlukan suatu keterampilan, baik yang
bersifat jasmani atau rohani. Keterampilan jasmani adalah
keterampilan-keterampilan yang dapat dilihat, diamati, sehingga akan
menitikberatkan pada keterampilan gerak/ penampilan dari anggota tubuh seseorang
yang sedang belajar. Keterampilan rohani lebih rumit karena tidak selalu
berurusan dengan masalah-masalah keterampilan yang dapat dilihat bagaimana
ujung pangkalnya, tetapi lebih abstrak, menyangkut persoalan-persoalan
penghayatan dan keterampilan berpikir serta kreativitas untuk menyelesaikan dan
merumuskan suatu masalah atau konsep.
3)
Pembentukan sikap. Dalam menumbuhkan sikap
mental, perilaku dan pribadi anak didik, guru harus lebih bijak dan hati-hati
dalam pendekatannya. Untuk itu, dibutuhkan kecakapan.
Berdasarkan tujuan di atas, dapat disimpulkan
bahwa proses belajar terjadi secara internal dan bersifat pribadi dalam diri
siswa agar proses belajar tersebut mengarah pada tercapainya tujuan dalam
kurikulum. Maka guru harus merencanakan dengan seksama dan sistematis berbagai
pengalaman belajar yang memungkinkan perubahan tingkah laku peserta didik
sesuai dengan apa yang diharapkan. Tujuan pendidikan yang ingin dicapai dapat
dikategorikan menjadi tiga bidang yakni bidang kognitif (penguasaan intelektual),
bidang afektif (berhubungan dengan sikap dan nilai) serta bidang psikomotor
(kemampuan/ keterampilan bertindak/ berperilaku). Ketiganya tidak berdiri
sendiri, tapi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, bahkan membentuk
hubungan hirarki.
c.
Tipe hasil belajar
Taksonomi Bloom telah menancapkan akan
pengaruhnya yang kuat dalam perkembangan teknologi pembelajaran di Indonesia
selama lebih dari 25 tahun. Teori yang dipakai untuk memetakan tujuan
pembelajaran itu terdiri atas kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam
perkembangannya, pada tahun 2001 Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl
menulis “A Taxonomy for Learning,
Teaching and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational
Objectives)” yang diterbitkan oleh Longman di New York. Keduanya melakukan
revisi mendasar atas klasifikasi kognitif yang pernah dikembangkan Bloom. Jika
sebelumnya, Bloom mengklasifikasikan tujuan kognitif dalam enam level yaitu
pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi (apply), analisis (analysis), sintesis (synthesis)
dan evaluasi (evaluation) dalam satu
dimensi, maka Anderson dan Krathwohl merevisinya menjadi dua dimensi.
Menurut Anderson dan Krathwohl (2010: 6) dua
dimensi pada taksonomi revisi adalah dimensi kognitif (proses) dan dimensi
pengetahuan (isi/ jenis). Pada dimensi proses kognitif, terdiri atas mengingat
(remember), memahami (understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze), menilai (evaluate) dan berkreasi (create).
Sedangkan pada dimensi isinya terdiri atas pengetahuan faktual (factual knowledge), pengetahuan
konseptual (conceptual knowledge),
pengetahuan prosedural (procedural
knowledge) dan pengetahuan metakognisi (metacognitive
knowledge).
1)
Dimensi proses kognitif
Menurut Anderson dan Krathwohl (2010: 94-139),
ada enam tingkatan dalam dimensi proses kognitif yaitu:
a)
Mengingat, menumbuhkan kemampuan untuk meretensi
materi pelajaran sama seperti materi yang diajarkan. Terdiri dari:
(1)
Mengenali yaitu mengambil pengetahuan yang
dibutuhkan dari memori jangka panjang untuk membandingkannya dengan informasi
yang baru saja diterima.
(2)
Mengingat kembali yaitu mengambil pengetahuan
yang dibutuhkan dari memori jangka panjang ketika soalnya menghendaki demikian.
b)
Memahami, dapat mengkontruksi makna dari
pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat lisan, tulisan maupun grafis yang
disampaikan melalui pengajaran, buku atau layar komputer. Terdiri dari:
(1)
Menafsirkan, mengubah informasi dari bentuk yang
satu ke bentuk lain.
(2)
Mencontohkan, memberi contoh tentang konsep atau
prinsip umum.
(3)
Mengklasifikasikan, mengetahui bahwa sesuatu
termasuk dalam kategori tertentu.
(4)
Merangkum, mengemukakan satu kalimat yang
merepresentasikan informasi yang diterima atau mengabstraksikan sebuah tema.
(5)
Menyimpulkan, mengabstraksikan sebuah konsep atau
prinsip yang menerangkan contoh-contoh dengan mencermati ciri-ciri setiap
contohnya dengan menarik hubungan di antara ciri-ciri tersebut.
(6)
Membandingkan, melibatkan proses mendeteksi
persamaan dan perbedaan antara dua atau lebih objek, peristiwa, ide, masalah
atau situasi.
(7)
Menjelaskan, membuat dan menggunakan model
sebab-akibat dalam sebuah sistem.
c)
Mengaplikasikan, melibatkan penggunaan
prosedur-prosedur tertentu untuk mengerjakan soal latihan atau menyelesaikan
masalah. Terdiri dari:
(1)
Mengeksekusi, menerapkan prosedur ketika
menghadapi tugas yang sudah bersifat familier.
(2)
Mengimplementasikan, memilih dan menggunakan
sebuah prosedur untuk menyelesaikan tugas yang tidak familier.
d)
Menganalisis, melibatkan proses memecah-mecah
materi jadi bagian-bagian kecil dan menentukan bagaimana hubungan antar bagian
dan antara setiap bagian dan struktur keseluruhannya.
(1)
Membedakan, memilah-milah bagian yang relevan
atau penting dari sebuah struktur.
(2)
Mengorganisasi, mengidentifikasi elemen-elemen
komunikasi atau situasi dan proses mengenali bagaimana elemen ini membentuk
sebuah struktur yang koheren.
(3)
Mengatribusikan, menentukan sudut pandang,
pendapat, nilai atau tujuan di balik komunikasi.
e)
Mengevaluasi, membuat keputusan berdasarkan
kriteria dan standar.
(1)
Memeriksa, menguji inkonsistensi atau kesalahan
internal dalam suatu operasi atau produk.
(2)
Mengkritik, penilaian suatu produk atau proses
berdasarkan kriteria dan standar eksternal.
f)
Mencipta, menyusun elemen-elemen jadi sebuah
keseluruhan yang koheren dan fungsional.
(1)
Merumuskan, menggambarkan masalah dan membuat
pilihan atau hipotesis yang memenuhi kriteria-kriteria tertentu.
(2)
Merencanakan, proses merencanakan metode
penyelesaian masalah yang sesuai dengan kriteria-kriteria masalahnya.
(3)
Memproduksi, melaksanakan rencana untuk menyelesaikan
masalah yang memenuhi spesifikasi-spesifikasi tertentu.
2)
Dimensi pengetahuan
Menurut Anderson dan Krathwohl (2010: 67-82), ada
empat kategori dalam dimensi pengetahuan yaitu:
a)
Pengetahuan faktual, meliputi elemen-elemen dasar
yang digunakan oleh para pakar dalam menjelaskan, memahami dan secara
sistematis menyusun disiplin ilmu mereka.
b)
Pengetahuan konseptual, mencakup pengetahuan
tentang kategori, klasifikasi dan hubungan antara dua atau lebih kategori atau
klasifikasi pengetahuan yang lebih kompleks dan tertata.
c)
Pengetahuan prosedural, pengetahuan tentang cara
melakukan sesuatu.
d)
Pengetahuan metakognitif, pengetahuan tentang
kognisi secara umum dan kesadaran akan, serta pengetahuan tentang kognisi diri
sendiri.
3)
Aspek afektif
Menurut Krathwohl, Bloom dan Mansia dalam Sagala
(2009: 159), ada lima kategori dalam domain afektif yaitu:
a)
Penerimaan (recceiving), aspek ini mengacu pada
kepekaan dan kesediaan menerima dan menaruh perhatian terhadap nilai tertentu,
seperti kesediaan menerima norma-norma disiplin yang berlaku di sekolah.
b)
Pemberian respon (responding), aspek ini mengacu
pada keccenderungan memperlihatkan reaksi terhadap norma tertentu.
c)
Penghargaan/ penilaian (valuing), aspek ini
mengacu pada kecenderungan menerima suatu norma tertentu, menghargai suatu
norma, memberikan penilaian terhadap sesuatu dengan memposisikan diri sesuai
dengan penilaian itu dan mengikat diri pada suatu norma.
d)
Pengorganisasian (organization), aspek ini
mengacu pada proses pembentuk konsep tentang suatu nilai serta menyusun suatu
sistem nilai-nilai dalam dirinya.
e)
Karakterisasi (characterization), aspek ini
mengacu pada proses mewujudkan nilai-nilai dalam pribadi sehingga merupakan
watak, dimana norma itu tercermin dalam pribadinya.
4)
Aspek psikomotor
Menurut Bloom dan Krathwohl dalam Budiningsih
(2005: 75), aspek psikomotor terdiri atas lima tingkatan yaitu:
a)
Peniruan (menirukan
gerak)
b)
Penggunaan (menggunakan
konsep untuk melakukan gerak)
c)
Ketepatan (melakukan
gerak dengan benar)
d)
Perangkaian (melakukan
beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
e)
Naturalisasi (melakukan
gerak secara wajar)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan
bahwa hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil belajar IPA
berupa penilaian kelas yang diperoleh dalam bentuk skor setelah diberi tes
akhir.
d.
Prinsip-prinsip belajar
Menurut Slameto (1988: 29), prinsip-prinsip belajar ialah prinsip belajar
yang dapat dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang berbeda dan oleh setiap
siswa secara individual. Maka, prinsip-prinsip belajar itu sebagai berikut:
1)
Dalam belajar setiap siswa harus diusahakan partisispasi aktif,
meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan instruksional.
2)
Belajar bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki struktur,
penyajian yang sederhana, sehingga siswa mudah menangkap pengertiannya.
3)
Belajar harus dapat menimbulkan reinforcement
dan motivasi yang kuat pada siswa untuk mencapai tujuan instruksional.
4)
Belajar itu proses kotinyu, maka harus tahap demi tahap menurut
perkembangannya.
5)
Belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi dan discovery.
6)
Belajar harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu sesuai dengan tujuan
instruksional yang harus dicapainya.
7)
Belajar memerlukan sarana yang cukup, sehingga siswa dapat belajar dengan tenang.
8)
Belajar perlu lingkungan yang menantang dimana anak dapat mengembangkan
kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan efektif.
9)
Belajar perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya.
10)
Belajar adalah proses kontiguitas (hubungan antara pengertian yang satu
dengan pengertian yang lain) sehingga mendapatkan pengertian yang diharapkan.
Stimulus yang diberikan menimbulkan respon yang diharapkan.
11)
Repetisi dalam proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar pengertian/
keterampilan/ sikap itu mendalam pada siswa.
Pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa dalam keseluruhan proses pendidikan
di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti
bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan, banyak tergantung kepada
bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik.
e.
Teori-teori hasil belajar
Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana
terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran siswa
itu. Berdasarkan suatu teori belajar, diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih
meningkatkan perolehan siswa sebagai hasil belajar.
1)
Teori Belajar Konstruktivisme
Teori konstruktivisme ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai.
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam
psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan
pengetahuan kepada siswa.
Berdasarkan teori ini dapat dicontohkan terkait dengan materi rangka
manusia dengan penerapan metode resitasi (penugasan) bahwa dalam proses
pembelajaran konstruktivisme siswa dituntut untuk bisa berpikir aktif dalam
belajar dengan penugasan yang telah diberikan oleh guru, agar siswa memahami
materi yang telah disampaikan, kemudian dalam pembelajaran rangka manusia ini
siswa juga dapat membentuk kelompok belajar (group) seperti diskusi, agar siswa bisa berinteraksi dengan siswa
lainnya dan proses pembelajarannya pun terjadi lebih kepada ide-ide dari siswa
itu sendiri, agar siswa mampu mengembangkan kemampuan berpikirnya.
2)
Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi
aktif anak dengan lingkungan. Teori perkembangan Piaget mewakili
konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di
mana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui
pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka.
Proses pembelajaran yang terkait dengan materi rangka manusia dapat
dicontohkan bahwa dari teori perkembangan kognitif ini, bukan sebagai perolehan
informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan
sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya. Kegiatan
belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan
pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa pemberian makna terhadap objek dan
pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh
siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang
terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar
kelas. Oleh sebab itu, pengelolaan
pembelajaran pada materi rangka
manusia dengan penerapan metode resitasi harus diutamakan pada
pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada
pengelolaan dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi
belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai,
ijazah dan sebagainya.
Tabel 1. 2
Tahap-Tahap
Perkembangan Kognitif Piaget
Tahap
|
Perkiraan Usia
|
Kemampuan-Kemampuan Utama
|
Sensorimotor
|
Lahir sampai
2 tahun
|
Terbentuknya
konsep “kepermanenan obyek” dan kemajuan gradual dari perilaku refleksif
keperilaku yang mengarah kepada tujuan.
|
Praoperasional
|
2 sampai 7
tahun
|
Perkembangan
kemampuan menggunakan simbol-simbol untuk menyatakan obyek-obyek dunia.
Pemikiran masih egosentris dan sentrasi.
|
Operasi Kongkrit
|
7 sampai 11
tahun
|
Perbaikan
dalam kemampuan untuk berfikir secara logis. Kemampuan-kemampuan baru
termasuk penggunaan operasi-operasi yang dapat balik. Pemikiran tidak lagi
sentrasi tetapi desentrasi dan pemecahan masalah tidak begitu dibatasi oleh
keegosentrisan.
|
Operasi Formal
|
11 tahun
sampai dewasa
|
Pemikiran
abstrak dan murni simbolis mungkin dilakukan. Masalah-masalah dapat
dipecahkan melalui penggunaan eksperimentasi sistematis.
|
(Nur, 1998: 11 dalam Trianto, 2007: 15)
Berikut ini adalah implikasi penting dalam model pembelajaran dari teori
Piaget:
1.
Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar
pada hasilnya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses
yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut. (Bandingkan dengan
teori belajar perilaku yang hanya memusatkan perhatian kepada hasilnya,
kebenaran jawaban atau perilaku siswa yang dapat diamati). Pengamatan belajar
yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap kognitif siswa yang
mutakhir dan jika guru penuh perhatian tehadap metode yang digunakan siswa
untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada
dalam posisi memberikan pengalaman sesuai dengan yang dimaksud.
2.
Memperhatikan peranan pelik dari inisiatif anak sendiri, keterlibatan aktif
dalam kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas Piaget, penyajian pengetahuan jadi
(ready-made) tidak mendapat
penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu (discovery maupun inquiry) melaui interaksi spontan dengan lingkungannya. Sebab itu
guru dituntut mempersiapkan berbagai kegiatan yang memungkinkan anak melakukan
kegiatan secara langsung dengan dunia fisik. Menerapkan teori Piaget berarti
dalam pembelajaran fisika banyak menggunakan penyelidikan.
3.
Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan.
Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan
perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang
berbeda. Sebab itu guru mampu melakukan upaya untuk mengatur kegiatan kelas
dalam bentuk kelompok kecil dari pada bentuk kelas yang utuh.
Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah saat guru memperkenalkan
informasi yang melibatkan siswa menggunakan konsep-konsep, memberikan waktu
yang cukup untuk menemukan ide-ide dengan menggunakan pola-pola berpikir formal.
3)
Metode Pengajaran John Dewey
Menurut John Dewey, metode reflektif di dalam memecahkan masalah yaitu
suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah
kesimpulan yang definitif melalui lima langkah yaitu sebagai berikut:
a)
Siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar
diri siswa itu sendiri.
b)
Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisa
kesulitannya dan menentukan masalah yang dihadapinya.
c)
Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya
itu atau satu sama lain dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan
masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
d)
Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis
dengan akibatnya masing-masing.
e)
Selanjutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu
kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik. Hasilnya akan membuktikan
betul tidaknya pemecahan masalah itu. Bilamana pemecahan masalah itu salah atau
kurang tepat, maka akan dicobanya kemungkinan yang lain sampai ditemukan
pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan masalah itulah yang benar yaitu yang
berguna untuk hidup.
Namun langkah-langkah ini tidak dipandang secara kaku dan mekanistis,
artinya tidak mutlak harus mengikuti urutan seperti itu. Siswa bisa bergerak
bolak balik antara masalah dan hipotesis ke arah pembuktian, ke arah kesimpulan
dalam batas-batas aturan yang bervariasi. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa pendekatan instruksional ini mirip dengan suatu penelitian ilmiah di mana
suatu hipotesis dapat diuji dan dirumuskan. Selanjutnya, Dewey menganjurkan
agar bentuk isi pelajaran hendaknya dimulai dari pengalaman siswa dan berakhir
pada pola struktur mata pelajaran. Dengan demikian jelas betapa pentingnya
makna bekerja, karena bekerja memberikan pengalaman dan pengalaman memimpin
orang berpikir sehingga dapat bertindak bijaksana dan benar. Pengalaman itu
mempengaruhi budi pekerti. Ada pengalaman positif dan ada pengalaman negatif.
Pengalaman yang positif adalah pengalaman yang benar, sebab faedahnya dapat
diterapkan di dalam kehidupan. Sebaliknya, pengalaman negatif adalah pengalaman
yang salah, merugikan atau menghambat kehidupan dan tak perlu dipakai lagi.
4)
Teori Pemrosesan Informasi
Teori ini menjelaskan pemrosesan, penyimpanan dan pemanggil kembali
pengetahuan dari otak. Peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai
transformasi-transformasi informasi dari input (stimulus) ke output (respon).
Model pemrosesan informasi dapat digambarkan sebagai kumpulan kotak-kotak yang
dihubungkan dengan garis-garis. Kotak itu menggambarkan fungsi-fungsi atau
keadaan sistem dan garis-garis menggambarkan informasi yang terjadi dari satu
keadaan ke keadaan yang lain (Dahar, 1988: 40 dalam Trianto, 2007: 19).
a)
Pentingnya pengetahuan awal
Sering seorang pembelajar (siswa, mahasiswa) mengalami kesulitan dalam
memahami suatu pengetahuan tertentu, yang salah satu penyebabnya karena
pengetahuan baru yang diterima tidak terjadi hubungan dengan pengetahuan
sebelumnya atau mungkin pengetahuan awal sebelumnya belum dimiliki. Dalam hal
ini, maka pengetahuan awal menjadi syarat utama dan menjadi sangat penting bagi
pembelajar untuk dimilikinya.
Pengetahuan awal (prior knowledge)
adalah sekumpulan pengetahuan dan pengalaman individu yang diperoleh sepanjang
perjalanan hidup mereka, dan apa yang ia bawa kepada suatu pengalaman belajar
baru (Nur, 2000: 1 dalam Trianto, 2007: 21).
Menurut Mosenthal et al, (1985), menggambarkan keberartian pengetahuan awal
dalam suatu studi menarik yang secara khusus menghubungkan kemampuan siswa
memproduksi teks naratif (Nur, 2000: 12 dalam Trianto, 2007: 21).
b)
Register penginderaan
Register penginderaan menerima sejumlah besar informasi dari indera
(penglihatan, pendengaran, peraba, pembau dan pengecap). Register penginderaan
disimpan dalam waktu yang sangat singkat (tidak lebih dari dua detik). Bila
tidak terjadi proses terhadap informasi yang disimpan dalam register
penginderaan itu, maka dengan cepat informasi itu akan hilang.
Keberadaan register penginderaan mempunyai dua implikasi yang penting dalam
pendidikan. Pertama, orang harus menaruh perhatian pada suatu informasi bila
informasi itu harus diingat. Kedua, seseorang memerlukan waktu untuk membawa
semua informasi yang dilihat dalam waktu singkat masuk ke dalam kesadaran.
c)
Memori jangka pendek
Sistem penyimpanan memori jangka pendek dalam jumlah yang terbatas dan
dalam waktu yang terbatas (bebeapa detik). Menurut Miller seperti yang dikutip
dalam Nur (1998: 9), memori jangka pendek mempunyai kapasitas 5-9 bits informasi.
Proses mempertahankan suatu butir informasi dalam memori jangka pendek
dengan cara mengulang-ngulang, menghafal (Rehearshal).
Menghafal sangat penting dalam belajar karena semakin besar kesempatan butir
itu akan ditransfer ke memori jangka panjang.
d)
Memori jangka panjang
Menurut Arends (1997: 251) dalam Trianto (2007: 23), memori jangka panjang
adalah tempat di mana pengetahuan disimpan secara permanen untuk dipanggil lagi
kemudian apabila ingin digunakan. Memori ini mempunyai kapasitas yang sangat besar
untuk menyimpan sejumlah informasi. Memori jangka panjang merupakan bagian dari
sistem memori otak sebagai tempat menyimpan informasi untuk periode waktu yang
panjang.
5)
Teori Belajar Bermakna David Ausubel
Menurut Dahar (1988: 137) dalam Trianto (2007: 25), inti dari teori Ausubel
tentang belajar adalah belajar bermakna. Belajar bermakna merupakan suatu
proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat
dalam struktur kognitif seseorang. Dengan demikian agar terjadi belajar bermakna,
konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah
ada dalam struktur kognitif siswa. Berdasarkan teori Ausubel, dalam membantu
siswa menanamkan pengetahuan baru dari suatu materi, sangat diperlukan
konsep-konsep awal yang sudah dimiliki siswa yang berkaitan dengan konsep yang
akan dipelajari. Sehingga jika dikaitkan dengan model pembelajaran masalah, di
mana siswa mampu mengerjakan permasalahan yang autentik sangat memerlukan
konsep awal yang sudah dimiliki siswa sebelumnya untuk suatu penyelesaian nyata
dari permasalahan yang nyata.
6)
Teori Penemuan Jerome Bruner
Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model
dari Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (Discovery Leraning). Bruner menganggap bahwa belajar penemuan
sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan
sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari
pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan
yang benar-benar bermakna (Dahar, 1998: 125 dalam Trianto, 2007: 26).
Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi
secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka dianjurkan
untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang
mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
7)
Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky
Vygotsky berpendapat seperti Piaget bahwa siswa membentuk pengetahuan
sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vygotsky
berkeyakinan bahwa perkembangan tergantung baik pada faktor biologis menentukan
fungsi-fungsi elementer memori, atensi, persepsi dan stimulus-respon. Faktor
sosial sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi
untuk perkembangan konsep, penalaran logis dan pengambilan keputusan (Trianto,
2007: 13-27).
Berdasarkan beberapa teori belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai terjadinya belajar
atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran siswa itu. Berdasarkan suatu
teori belajar, diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih meningkatkan perolehan
siswa sebagai hasil belajar.
f. Faktor yang
mempengaruhi hasil belajar
Menurut Slameto (1988: 56-74), faktor-faktor yang mempengaruhi belajar
banyak jenisnya, tetapi dapat digolongkan
menjadi dua golongan saja yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor
intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar,
sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar individu.
1)
Faktor Intern
Faktor intern dibagi menjadi tiga faktor, yaitu faktor jasmaniah, faktor
psikologis dan faktor kelelahan.
a)
Faktor jasmaniah
(1)
Faktor kesehatan
Proses belajar seseorang akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu,
selain itu juga ia akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, ngantuk
jika badannya lemah, kurang darah ataupun ada gangguan-gangguan/
kelainan-kelainan fungsi alat inderanya serta tubuhnya. Agar seseorang dapat
belajar dengan baik haruslah mengusahakan kesehatan badannya tetap terjamin
dengan cara selalu mengindahkan ketentuan-ketentuan tentang bekerja, tidur,
makan, olahraga dan rekreasi.
(2)
Cacat tubuh
Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi belajar. Siswa yang cacat, belajarnya
juga terganggu. Jika hal ini terjadi, hendaknya ia belajar pada lembaga
pendidikan khusus atau diusahakan alat bantu agar dapat menghindari atau
mengurangi pengaruh kecacatannya itu.
b)
Faktor psikologis
Sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang tergolong ke dalam faktor
psikologis yang mempengaruhi belajar. Faktor-faktor itu adalah inteligensi,
perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan kelelahan.
(1)
Inteligensi
Inteligensi adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis, yaitu kecakapan
untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat dan
efektif, mengetahui/ menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif,
mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat.
(2)
Perhatian
Menurut Gazali, perhatian adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itu
pun semata-mata tertuju kepada suatu obyek (benda/ hal) atau sekumpulan obyek.
Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai
perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya. Jika bahan pelajaran tidak menjadi
perhatian siswa, maka timbullah kebosanan sehingga ia tidak lagi suka belajar.
Agar siswa dapat belajar dengan baik, usahakanlah bahan pelajaran selalu
menarik perhatian dengan cara mengusahakan pelajaran itu sesuai dengan hobi
atau bakatnya.
(3)
Minat
Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang
beberapa kegiatan. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan
pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan
belajar dengan sebaik-baiknya karena tidak ada daya tarik baginya. Ia
segan-segan untuk belajar, ia tidak memperoleh kepuasan dari pelajaran itu.
Bahan pelajaran yang menarik minat siswa lebih mudah dihapalkan dan disimpan
karena minat menambah kegiatan belajar.
(4)
Bakat
Bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru akan
terealisasikan menjadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih.
Bakat itu mempengaruhi belajar. Jika bahan pelajaran yang dipelajari siswa
sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya lebih baik karena ia senang
belajar dan pastilah selanjutnya ia lebih giat lagi dalam belajar itu.
(5)
Motif
Motif erat sekali hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai. Di dalam
menentukan tujuan itu dapat disadari atau tidak, akan tetapi untuk mencapai
tujuan itu perlu berbuat. Sedangkan yang menjadi penyebab berbuat adalah motif
itu sendiri sebagai daya penggerak atau pendorongnya.
(6)
Kematangan
Kematangan adalah suatu tingkat/ fase dalam pertumbuhan seseorang, di mana
alat-lat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru.
(7)
Kesiapan
Kesediaan untuk memberi respon atau bereaksi. Kesediaan itu timbul dari
dalam diri seseorang dan juga berhubungan dengan kematangan, karena kematangan
berarti kesiapan untuk melaksanakan kecakapan. Kesiapan ini perlu diperhatikan
dalam proses belajar karena jika siswa belajar dan padanya sudah ada kesiapan,
maka hasil belajarnya akan lebih baik.
c) Faktor kelelahan
Kelelahan pada seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani
(bersifat psikis).
Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul
kecenderungan untuk membaringkan tubuh. Kelelahan jasmani terjadi karena
terjadi kekacauan substansi sisa pembakaran di dalam tubuh, sehingga darah
tidak/ kurang lancar pada bagian-bagian tertentu. Sedangkan, kelelahan rohani
dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan
untuk menghasilkan sesuatu hilang. Kelelahan ini sangat terasa pada bagian
kepala dengan pusing-pusing sehingga sulit untuk berkonsentrasi, seolah-olah
otak kehabisan daya untuk bekerja. Kelelahan rohani dapat terjadi terus menerus
memikirkan masalah yang dianggap berat tanpa istirahat, menghadapi hal-hal yang
selalu sama/ konstan tanpa ada variasi dan mengerjakan sesuatu karena terpaksa
dan tidak sesuai dengan bakat, minat dan perhatiannya.
2) Faktor Ekstern
a)
Faktor keluarga
Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang
tua mendidik, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan
ekonomi keluarga.
(1)
Cara orang tua mendidik
Cara orang tua mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap belajar anaknya.
Hal ini jelas dan dipertegas oleh Drs. Sutjipto Wirowidjojo dengan
pernyataannya yang menyatakan bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan yang
pertama dan utama. Keluarga yang sehat besar artinya untuk pendidikan dalam
ukuran kecil, tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar
yaitu pendidikan bangsa, negara dan dunia.
(2)
Relasi antaranggota keluarga
Relasi antaranggota keluarga yang terpenting adalah relasi orang tua dengan
anaknya. Selain itu relasi anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga
yang lainpun turut mempengaruhi belajar anak. Wujud relasi itu misalnya apakah
hubunga itu penuh dengan kasih sayang dan pengertian, ataukah diliputi oleh
kebencian, sikap yang terlalu keras, ataukah sikap yang acuh tak acuh dan
sebagainya.
(3)
Suasana rumah
Suasana rumah dimaksudkan sebagai situasi atau kejadian-kejadian yang
sering terjadi di dalam keluarga di mana anak berada dan belajar. Suasana rumah
juga merupakan faktor yang penting dan tidak termasuk faktor yang disengaja.
Suasana rumah yang gaduh/ ramai dan semrawut tidak akan memberi ketenangan
kepada anak yang belajar. Suasana yang tegang, ribut dan sering terjadi cekcok,
pertengkaran antaranggota keluarga atau dengan keluarga lain menyebabkan anak
menjadi bosan di rumah, suka keluar rumah (ngluyur), akibatnya belajarnya
kacau. Selanjutnya, agar anak dapat belajar dengan baik perlulah diciptakan
suasana rumah yang tegang dan tentram. Di dalam suasana rumah yang tenang dan
tentram, selain anak kerasan/ betah tinggal di rumah, anak juga dapat belajar
dengan baik.
(4)
Keadaan ekonomi keluarga
Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar anak. Anak yang
sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya makan,
pakaian, perlindungan kesehatan dan lain-lain. Dan juga membutuhkan fasilitas
belajar seperti ruang belajar, meja, kursi, penerangan, alat tulis menulis,
buku-buku dan lain-lain.
(5)
Pengertian orang tua
Anak belajar perlu dorongan dan pengertian orang tua. Bila anak sedang
belajar jangan diganggu dengan tugas-tugas di rumah. Kadang-kadang anak
mengalami lemah semangat, orang tua wajib memberi pengertian dan mendorongnya,
membantu sedapat mungkin kesulitan yang dialami anak di sekolah. Kalau perlu
menghubungi gurunya untuk mengetahui perkembangannya.
(6)
Latar belakang kebudayaan
Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga mempengaruhi sikap anak
dalam belajar. Perlu kepada anak ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik agar
mendorong semangat anak untuk belajar.
b)
Faktor sekolah
Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode mengajar,
kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin
sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode
belajar dan tugas rumah.
(1)
Metode mengajar
Metode mengajar adalah suatu cara/ jalan yang harus dilalui di dalam
mengajar. Mengajar itu sendiri menurut Drs. Ign. S. Ulih Bukit Karo Karo adalah
menyajikan bahan pelajaran oleh orang kepada orang lain agar orang lain itu
menerima, menguasai dan mengembangkannya.
Metode mengajar guru yang kurang baik akan mempengaruhi belajar siswa yang
tidak baik pula. Metode mengajar yang kurang baik itu dapat terjadi misalnya
karena guru kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran sehingga guru
tersebut menerangkannya tidak jelas atau sikap guru terhadap siswa, dan atau
terhadap mata pelajaran itu sendiri tidak baik sehingga siswa kurang senang
terhadap pelajaran atau gurunya, akibatnya siswa malas untuk belajar.
(2)
Kurikulum
Kurikulum diartikan sebagai sejumlah kegiatan yang diberikan kepada siswa.
Kegiatan itu sebagian besar adalah menyajikan bahan pelajaran agar siswa
menerima, menguasai ddan mengembangkan bahan pelajaran itu. Jelaslah bahan
pelajaran itu mempengaruhi belajar siswa. Kurikulum yang kurang baik
berpengaruh tidak baik terhadap belajar.
(3)
Relasi guru dengan siswa
Proses belajar mengajar terjadi antara guru dengan siswa. Proses tersebut
juga dipengaruhi oleh relasi yang ada dalam proses itu sendiri. Jadi cara
belajar siswa juga dipengaruhi oleh relasinya dengan gurunya. Di dalam relasi
(guru dengan siswa) yang baik, siswa akan menyukai gurunya, juga akan menyukai
mata pelajaran yang diberikannya sehingga siswa berusaha mempelajari
sebaik-baiknya. Hal tersebut juga terjadi sebaliknya, jika siswa membenci
gurunya. Ia segan mempelajari mata pelajaran yang diberikannya, akibatnya
pelajarannya tidak maju.
Guru yang kurang berinteraksi dengan siswa secara akrab menyebabkan proses
belajar mengajar itu kurang lancar, juga merasa jauh dari guru maka segan
berpartisipasi secara aktif dalam belajar.
(4)
Relasi siswa dengan siswa
Guru yang kurang mendekati siswa dan kurang bijaksana, tidak akan melihat
bahwa di dalam kelas ada grup yang saling bersaing secara tidak sehat. Jiwa
kelas tidak terbina, bahkan hubungan masing-masing individu tidak tampak.
Menciptakan relasi yang baik antarsiswa adalah perlu, agar dapat memberikan
pengaruh yang positif terhadap belajar siswa.
(5)
Disiplin sekolah
Kedisiplinan sekolah erat hubungannya dengan kerajinan siswa dalam sekolah
dan juga dalam belajar. Kedisiplinan sekolah mencakup kedisiplinan guru dalam
mengajar dengan melaksanakan tata tertib, kedisiplinan pegawai/ karyawan dalam pekerjaan
administrasi dan kebersihan/ keteraturan kelas, gedung sekolah, halaman dan
lain-lain, kedisiplinan kepala sekolah dalam mengelola seluruh staf beserta
siswa-siswanya dan kedisiplinan team BP dalam pelayanannya kepada siswa. Dengan
demikian, agar siswa belajar lebih maju, siswa harus disiplin di dalam belajar,
baik di sekolah, di rumah dan diperpustakaan. Agar siswa disiplin haruslah guru
beserta staf yang lain disiplin pula.
(6)
Alat pelajaran
Alat pelajaran erat hubungannya dengan cara belajar siswa, karena alat
pelajaran yang dipakai oleh guru pada waktu mengajar dipakai pula oleh siswa
untuk menerima bahan yang diajarkan itu. Alat pelajaran yang lengkap dan tepat
akan memperlancar penerimaan bahan pelajaran yang diberikan kepada siswa. Jika
siswa mudah menerima pelajaran dan menguasainya, maka belajarnya akan menjadi
lebih giat dan lebih maju.
(7)
Waktu sekolah
Waktu sekolah ialah waktu terjadinya proses belajar mengajar di sekolah,
waktu itu dapat pagi hari, siang, sore/ malam hari. Waktu sekolah juga mempengaruhi
belajar siswa. Akibat meledaknya jumlah anak yang masuk sekolah dan penambahan
gedung sekolah belum seimbang dengan jumlah siswa, banyak siswa yang terpaksa
masuk sekolah di sore hari. Hal yang sebenarnya kurang dapat
dipertanggungjawabkan, dimana siswa harus beristirahat, tetapi terpaksa masuk
sekolah hingga mereka mendengarkan pelajaran sambil mengantuk dan sebagainya.
Sebaliknya, bagi siswa yang belajar di pagi hari pikiran masih segar, jasmani
dalam kondisi yang baik. Jika siswa bersekolah pada waktu kondisi badannya
sudah lelah/ lemah, misalnya pada siang hari akan mengalami kesulitan di dalam
menerima pelajaran. Kesulitan itu disebabkan karena siswa sukar berkonsentrasi
dan berpikir pada kondisi badan yang lemah tadi. Jadi memilih waktu sekolah
yang tepat akan memberi pengaruh yang positif terhadap belajar.
(8)
Standar pelajaran di atas ukuran
Guru berpendirian untuk mempertahankan wibawanya, perlu memberi pelajaran
di atas ukuran standar. Akibatnya siswa merasa kurang mampu dan takut kepada guru.
Bila banyak siswa yang tidak berhasil dalam mempelajari mata pelajarannya, guru
semacam itu merasa senang. Tetapi berdasarkan teori belajar yang mengingat
perkembangan psikis dan kepribadian siswa yang berbeda-beda, hal tersebut tidak
boleh terjadi. Guru dalam menuntut penguasaan materi harus sesuai dengan
kemampuan siswa masing-masing, yang penting tujuan telah dirumuskan dapat
tercapai.
(9)
Keadaan gedung
Jumlah siswa yang luar biasa jumlahnya, keadaan gedung dewasa ini terpaksa
kurang. Mereka duduk berjejal-jejal di dalam setiap kelas. Bagaimana mungkin
mereka dapat belajar dengan enak, kalau kelas itu terpaksa berisi 50 orang
siswa.
(10)
Metode belajar
Banyak siswa melaksanakan cara belajar yang salah, dalam hal ini perlu
pembinaan dari guru. Dengan cara belajar yang tepat akan efektif pula hasil
belajar siswa itu, juga dalam pembagian waktu untuk belajar. Kadang-kadang
siswa belajar tidak teratur atau terus menerus karena besok akan ujian. Dengan
belajar demikian, siswa akan kurang beristirahat bahkan mungkin dapat jatuh
sakit. Maka perlu belajar secara teratur setiap hari dengan pembagian waktu
yang baik, memilih cara belajar yang tepat dan cukup istirahat akan
meningkatkan hasil belajar.
(11)
Tugas rumah
Waktu belajar adalah di sekolah, waktu di rumah biarlah digunakan untuk
kegiatan-kegiatan lain. Maka diharapkan guru jangan terlalu banyak memberi
tugas yang harus dikerjakan di rumah sehingga anak tidak mempunyai waktu lagi
untuk kegiatan yang lain.
c)
Faktor masyarakat
Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh terhadap belajar
siswa. Pengaruh itu terjadi karena keberadaannya siswa dalam masyarakat.
(1)
Kegiatan siswa dalam masyarakat
Kegiatan siswa dalam masyarakat dapat menguntungkan terhadap perkembangan
pribadinya, tetapi jika siswa ambil bagian dalam kegiatan masyarakat yang
terlalu banyak misalnya berorganisasi, kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan
lain-lain. Belajarnya akan terganggu, lebih-lebih jika tidak bijaksana dalam
mengatur waktunya.
Perlulah kiranya membatasi kegiatan siswa dalam masyarakat supaya jangan
menganggu belajarnya. Jika mungkin memilih kegiatan yang mendukung belajar,
kegiatan itu misalnya kursus bahasa Inggris, PKK remaja, kelompok diskusi dan
lain sebagainya.
(2)
Mass media
Mass media adalah bioskop, radio, TV, surat kabar, buku-buku, komik-komik
ddan lain-lain. Mass media yang baik memberi pengaruh yang baik terhadap siswa
dan juga terhadap belajarnya. Sebaliknya, mass media yang jelek juga
berpengaruh terhadap siswa. Maka perlulah kiranya siswa mendapatkan bimbingan
dan kontrol yang cukup bijaksana dari pihak orang tua dan pendidik, baik di
dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
(3)
Teman bergaul
Pengaruh-pengaruh dari teman bergaul siswa lebih cepat masuk dalam jiwanya
dari pada yang kita duga. Teman bergaul yang baik akan berpengaruh baik
terhadap diri siswa, begitu juga sebaliknya teman bergaul yang jelek pasti
mempengaruhi yang bersifat buruk juga. Agar siswa dapat belajar dengan baik,
maka perlulah diusahakan agar siswa memiliki teman bergaul yang baik-baik dan
pembinaan pergaulan yang baik serta pengawasan dari orang tua dan pendidik
harus cukup bijaksana (jangan terlalu ketat tetapi juga jangan lengah).
(4)
Bentuk kehidupan masyarakat
Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga mempengaruhi terhadap belajar
siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar, penjudi,
suka mencuri dan mempunyai kebiasaan yang tidak baik akan berpengaruh jelek
kepada anak (siswa) yang berada disitu. Anak/ siswa tertarik untuk ikut berbuat
seperti yang dilakukan orang-orang di sekitarnya. Akibatnya belajarnya
terganggu dan bahkan anak/ siswa kehilangan semangat belajar karena
perhatiannya semula terpusat kepada pelajaran berpindah keperbuatan-perbuatan
yang selalu dilakukan orang-orang di sekitarnya yang tidak baik tadi. Sebaliknya,
jika lingkungan anak adalah orang-orang yang terpelajar yang baik-baik, mereka
mendidik dan menyekolahkan anak-anaknya, antusias dengan cita-cita yang luhur
akan masa depan anaknya, anak/ siswa terpengaruh juga kehal-hal yang dilakukan
oleh orang-orang lingkungannya sehingga akan berbuat seperti orang-orang yang
ada di lingkungannya. Pengaruh itu dapat mendorong semangat anak/ siswa untuk
belajar lebih giat lagi.
Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh
dua faktor utama yakni faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor yang datang
dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Faktor yang datang dari diri siswa
terutama kemampaun yang dimilikinya. Faktor kemampuan siswa besar sekali
pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Seperti dikemukakan oleh Clark
bahwa hasil belajar siswa di sekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan
30% dipengaruhi oleh lingkungan. Di samping faktor kemampuan yang dimiliki
siswa, juga ada faktor lain seperti motivasi belajar, minat dan perhatian,
sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis
(Nana Sudjana, 2009: 39).
Berdasarkan beberapa faktor di atas dapat
disimpulkan bahwa untuk menghasilkan lingkungan yang baik agar dapat memberi
pengaruh yang positif terhadap anak/ siswa sehingga dapat belajar dengan
sebaik-baiknya.
g. Indikator hasil
belajar
Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2010: 105-106), yang menjadi
petunjuk bahwa suatu proses belajar mengajar dianggap berhasil adalah daya
serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik
secara individual maupun kelompok. Namun demikian, indikator yang banyak
dipakai sebagai tolak ukur keberhasilan adalah daya serap.
Gagne (1985) dalam Sobri Sutikno (2008: 6-7),
menyebutkan ada lima macam hasil belajar berikut ini:
a)
Keterampilan intelektual
atau keterampilan prosedural yang mencakup belajar diskriminasi, konsep,
prinsip dan pemecahan masalah yang kesemuanya diperoleh melalui materi yang
disajikan oleh guru di sekolah.
b)
Strategi kognitif, yaitu
kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah baru dengan jalan mengatur proses
internal masing-masing individu dalam memperhatikan , belajar, mengingat dan
berpikir.
c)
Informasi verbal, yaitu
kemampuan untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan jalan mengatur
informasi-informasi yang relevan.
d)
Keterampilan motorik,
yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang
berhubungan dengan otot.
e)
Sikap, yaitu suatu
kemampuan internal yang mempengaruhi tingkah laku seseorang didasari oleh
emosi, kepercayaan-kepercayaan, serta faktor intelektual.
Berdasarkan indikator di atas dapat disimpulkan
bahwa suatu proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil, setiap guru
memiliki pandangan masing-masing sejalan dengan filsafatnya. Namun, untuk
menyamakan persepsi sebaiknya kita berpedoman pada kurikulum yang berlaku saat
ini telah disempurnakan antara lain bahwa suatu proses belajar mengajar tentang
suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila tujuan pembelajaran dan
karakternya dapat tercapai.
4.
Tinjauan Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA)
a.
Pengertian IPA
Pengembangan
kurikulum
2013 merupakan bagian dari strategi meningkatkan capaian pendidikan. Pengembangan
kurikulum 2013 adalah dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif,
kreatif, inovatif dan efektif melalui penguatan empat pilar pendidikan yang terpadu yaitu
antara learning to know, learning to do, learning to
be, dan learning to live together. Hal tersebut sejalan dengan
amanat UU No. 20 Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal 35: “Kompetensi
lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah
disepakati”.
Berdasarkan kurikulum 2013, bidang
kajian IPA adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang alam sekitar beserta
isinya. Perkembangannya terus berlangsung sejalan dengan penelitian yang
dilakukan di bidang IPA. Sebagai ilmu dasar IPA diajarkan sejak jenjang
pendidikan dasar, menengah dan juga di perguruan tinggi. Kurikulum
yang dicanangkan pemerintah di tahun 2013 dan pembelajarannya yang
sesuai kontek kurikulum
2013, serta pendidikan karakter (http://ipa.unnes.ac.id/?p=1111).
Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara
sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa
fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan
suatu proses penemuan. Pendidikan ilmu pengetahuan alam (IPA) diharapkan dapat menjadi wahana bagi
peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek
pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di
dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada
pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi
dan memahami alam sekitar secara ilmiah. IPA
diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam tentang alam sekitar.
Kementrian pendidikan dan kebudayaan selaku badan tertinggi
pendidikan di tanah air secara resmi akan segera menerapkan kurikulum 2013 yang
baru untuk diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dengan tujuan untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional serta menciptakan generasi yang berbudi pekerti luhur,
diharapkan perubahan kurikulum yang akan diterapkan pada tahun 2013 ini bisa
meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air.
Struktur kurikulum menggambarkan konseptualisasi konten kurikulum dalam bentuk
mata pelajaran, posisi konten/ mata pelajaran dalam kurikulum, distribusi konten/
mata pelajaran dalam semester atau tahun, beban belajar untuk mata pelajaran
dan beban belajar perminggu untuk setiap siswa. Struktur
kurikulum adalah juga merupakan aplikasi konsep pengorganisasian konten
dalam sistem belajar dan pengorganisasian beban belajar dalam sistem
pembelajaran.
Gambar
1. 2 Struktur Kurikulum SD/ MI Tahun 2013
Kurikulum yang akan
diterapkan di SD/ MI. Perubahan yang terjadi pada kurikulum 2013 di SD/ MI ini yang paling menonjol adalah
pemangkasan jumlah mata pelajaran yang akan diselenggarakan. Kelompok A adalah mata pelajaran yang memberikan
orientasi kompetensi lebih kepada aspek kognitif dan afektif, sedangkan kelompok
B lebih menekankan pada aspek afektif dan psikomotor (http://kawancerdas.blogspot.com/2013/03/kompetensi-dasar-kurikulum-2013-sdmi.html).
Integrasi kompetensi dasar IPA dan IPS didasarkan pada keterdekatan makna
dari konten kompetensi dasar IPA dan IPS dengan konten Pendidikan Agama
dan Budi Pekerti, PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, serta Pendidikan
Jasmani, Olahraga dan Kesehatan yang berlaku untuk kelas I, II dan III. Sedangkan
untuk kelas IV, V dan VI,
kompetensi
dasar IPA dan IPS berdiri sendiri dan
kemudian diintegrasikan ke dalam tema-tema yang ada untuk kelas IV, V dan
VI.
Beban
belajar dinyatakan dalam jam belajar setiap minggu untuk masa
belajar selama satu semester. Beban belajar di SD/ MI kelas I, II dan III masing-masing 30, 32, 34 jam setiap minggu, sedangkan untuk kelas IV,
V dan VI masing-masing 36 jam
setiap minggu. Jam belajar SD/ MI
adalah 35 menit (http://abdima.blogspot.com/2013/02/struktur-kurikulum-sdmi-pada-kurikulum.html).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya
tambahan jam belajar ini dan pengurangan jumlah kompetensi dasar, guru memiliki
keleluasaan waktu untuk mengembangkan proses pembelajaran yang berorientasi
siswa aktif. Proses pembelajaran siswa aktif memerlukan waktu
yang lebih panjang dari proses pembelajaran penyampaian informasi karena
peserta didik perlu latihan untuk mengamati, menanya, mengasosiasi dan berkomunikasi. Proses pembelajaran
yang dikembangkan menghendaki kesabaran guru dalam mendidik peserta didik
sehingga mereka menjadi tahu, mampu dan mau belajar, dan menerapkan apa yang sudah mereka
pelajari di lingkungan sekolah dan masyarakat sekitarnya. Selain itu, bertambahnya jam belajar memungkinkan
guru melakukan penilaian proses dan hasil belajar.
b. Proses pembelajaran
IPA materi rangka manusia di kelas IV
1)
Pembelajaran IPA
Prinsip proses pembelajaran adalah belajar, sedangkan belajar adalah suatu
proses perubahan perilaku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari
pengalaman. Oleh karena itu, pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan yang
kondusif sehingga proses belajar dapat tumbuh dan berkembang. Karena
pembelajaran bersifat rekayasa perilaku, maka proses pembelajaran terikat
dengan tujuan. Dari sudut pandang sosiologis, proses pembelajaran adalah proses
penyiapan peserta didik untuk dapat menjalankan kehidupannya di masyarakat.
Sekolah adalah suatu sistem sosial yang merupakan miniatur masyarakat luas.
Oleh karena itu, proses pembelajaran tidak akan terlepas dari proses
sosialisasi dan apa yang dipelajari di sekolah seharusnya merupakan cerminan
keadaan nyata di sekitar peserta didik yang dimanfaatkan atau diimplementasikan
dalam masyarakat.
Permasalahan dalam proses pembelajaran pada umumnya dewasa ini adalah
kecenderungan bahwa para murid hanya terbiasa menggunakan sebagian kecil saja
dari potensinya atau kemampuan berpikirnya. Dikhawatirkan mereka menjadi malas
untuk berpikir dan terbiasa malas berpikir mandiri. Kecenderungan ini sama saja
dengan proses pemandulan dan sama sekali bukan proses pencerdasan. Para murid
dan juga gurunya masih terbiasa belajar dengan domain kognitif rendah. Oleh
karena itu, metode berpikir dalam kegiatan mereka belajar pun belum menyentuh
domain afektif dan konatif yang diperlukan. Aspek lain berkenaan dengan konsep
diri dan proses mengembangkan kemandirian dalam berpikir, bersikap dan
berperilaku.
Kecenderungan dalam pembelajaran IPA pada masa kini adalah peserta
didik hanya mempelajari IPA sebagai produk, menghafalkan konsep, teori
dan hukum. Keadaan ini diperparah oleh pembelajaran yang berorientasi pada tes/
ujian, akibatnya IPA sebagai proses, sikap dan aplikasi tidak tersentuh
dalam pembelajaran. Pengalaman belajar yang diperoleh di
kelas tidak utuh dan tidak berorientasi tercapainya standar kompetensi dan
kompetensi dasar. Pembelajaran lebih bersifat teacher centered,
guru hanya menyampaikan IPA sebagai produk dan peserta didik menghafal
informasi faktual. Peserta didik hanya mempelajari IPA pada domain
kognitif yang terendah, peserta
didik tidak dibiasakan untuk mengembangkan potensi berpikirnya. Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa banyak peserta didik yang cenderung menjadi malas
berpikir secara mandiri. Cara berpikir yang dikembangkan dalam kegiatan belajar
belum menyentuh domain afektif dan psikomotor. Alasan yang sering
dikemukakan oleh para guru adalah keterbatasan waktu, sarana, lingkungan
belajar dan jumlah peserta didik perkelas yang terlalu
banyak.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas riil di lapangan, kegiatan
pembelajaran di sekolah pada umumnya cenderung monoton dan tidak menarik
sehingga beberapa pelajaran ditakuti dan selalu dianggap sulit oleh murid.
Misalnya matematika dan sains. Temuan Slimming (1998) yang meneliti perilaku
mengajar para guru di Indonesia, juga menunjukkan bahwa umumnya para guru
cenderung mengembangkan pembelajaran pasif dengan menggunakan metode ceramah di
sebagian besar aktivitas proses pembelajarannya di kelas (Wahidin, 2006:
22-24).
Permasalahan di atas semestinya menjadi perhatian
serius dengan upaya mencari terobosan baru dalam memecahkannya, baik melalui
pengembangan materi pembelajaran baru maupun melalui model, metode atau
pendekatan yang sudah ada. Di samping penunjang faktor di luar akademik antara
lain penyediaan buku pelajaran yang bermutu, baik dan dapat mengembangkan
pembelajaran dengan paradigma baru tersebut.
Prosedur metode resitasi yang perlu diperhatikan
dalam melakukan pembelajaran IPA antara lain:
a.
Memperdalam pemahaman
siswa terhadap mata pelajaran IPA yang telah diterima.
b.
Melatih siswa kearah
belajar mandiri.
c.
Dapat membagi waktu
secara teratur, memanfaatkan waktu luang.
d.
Melatih untuk menemukan
sendiri cara-cara yang tepat untuk menyelesaikan tugas dan memperkaya
pengalaman di sekolah melalui kegiatan di luar atau di dalam kelas.
2)
Materi rangka manusia
Rangka manusia terdiri
atas susunan tulang-tulang yang saling berhubungan satu sama lain sehingga
membentuk tubuh. Secara
garis besar rangka manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu rangka kepala,
rangka badan, dan rangka anggota gerak.
Gambar 2. 2 Struktur Tubuh Rangka
Manusia
Gambar 3. 2 Rangka Kepala Gambar 4. 2 Tulang Rusuk dan Tulang Dada
Gambar 5. 2 Ruas-ruas T. Belakang Gambar 6. 2 Tulang Anggota Gerak Atas
Gambar 7. 2 Tulang Anggota Gerak Bawah
Rangka
manusia berguna untuk menguatkan tubuh, menegakkan tubuh, dan melindungi organ-organ
penting tubuh, seperti otak, jantung, dan paru-paru. Selain itu, rangka juga
menjadi tempat melekatnya otot.
Tulang-tulang
yang berguna sebagai pelindung dan bagian tubuh yang dilindunginya adalah
sebagai berikut:
a)
Tulang
tengkorak melindungi otak
Otak
merupakan organ atau bagian tubuh yang terpenting. Tanpa otak kita tidak dapat melihat,
mendengar, merasa, mencium, atau meraba karena otaklah yang mengendalikan
pekerjaan semua bagian tubuh kita. Bentuk otak sangat lunak sehingga perlu
dilindungi. Otak terletak di dalam rongga otak yang terdapat di dalam
tengkorak. Tengkorak tersusun dari tulang-tulang pipih yang saling berkaitan
membentuk tempurung kepala yang kokoh.
b)
Rangka
badan melindungi jantung dan paru-paru
Jantung
dan paru-paru termasuk organ penting manusia. Tanpa jantung mungkin darah tidak
ada di seluruh tubuh kita karena jantunglah yang memompakan darah ke seluruh
tubuh. Tanpa paru-paru kita juga tidak dapat bernafas karena paru-parulah yang
menyerap oksigen yang kita hirup dari udara. Karena bentuknya yang sangat
lunak, jantung dan paru-paru perlu dilindungi. Rangka badan seperti tulang
rusuk, tulang belakang, dan tulang dada yang membentuk rongga dada melindungi
jantung, paru-paru, dan sebagian alat pencernaan.
Organ
tubuh lainnya yang terlindungi oleh rangka tubuh adalah sebagai berikut:
(1)
Ruas-ruas
tulang leher melindungi tenggorokan dan kerongkongan.
(2) Tulang pinggul melindungi alat pencernaan makanan dan
alat kelamin.
(3)
Tulang
belakang melindungi sumsum tulang belakang dan juga memberikan kekuatan tubuh.
Rangka anggota gerak berbentuk pipa dan beruas-ruas. Rangka anggota gerak
berfungsi untuk bergerak. Rangka anggota gerak terdiri dari atas tulang anggota
gerak atas (tangan) dan tulang anggota gerak bawah (kaki).
c. Tujuan IPA
Berdasarkan KTSP, rangka manusia merupakan materi
yang disajikan pada siswa kelas IV SD/ MI semester ganjil tahun ajaran 2013/
2014. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan dua siklus. Dengan standar
kompetensi yaitu memahami hubungan antara struktur organ tubuh manusia dengan fungsinya, serta pemeliharaannya. Dan siklus
I dengan kompetensi dasar yaitu mendeskripsikan hubungan antara struktur kerangka tubuh manusia dengan
fungsinya. Sedangkan siklus II, kompetensi dasar yaitu (1) mendeskripsikan
hubungan antara struktur kerangka tubuh manusia dengan fungsinya dan (2) menerapkan
cara memelihara kesehatan kerangka tubuh. Untuk siklus I indikator
pembelajarannya yaitu (1) mendeskripsikan rangka manusia seperti rangka kepala,
rangka badan, rangka anggota gerak dan sendi, (2) mendeskripsikan kegunaan
rangka manusia, (3) memahami hubungan antara struktur kerangka tubuh manusia
dengan fungsinya, dan (4) mendeskripsikan hubungan antara struktur kerangka
tubuh manusia dengan fungsinya. Sedangkan, untuk siklus II dengan indikator pembelajarannya
yaitu (1) menjelaskan rangka manusia dan fungsinya, (2) menjelaskan cara
pemeliharaan rangka manusia, dan (3) mencari informasi tentang penyakit dan
kelainan yang umumnya terjadi pada rangka manusia.
Tujuan belajar IPA yang terkait dengan materi rangka manusia dalam
kurikulum peserta didik menekankan pada pengalaman langsung untuk mengembangkan
kompetensi agar peserta didik mampu memahami alam sekitar melalui proses
“mencari tahu” dan “berbuat”, hal ini akan membantu peserta didik untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Keterampilan
dalam mencari tahu atau berbuat tersebut dinamakan dengan keterampilan proses
penyelidikan atau “inquiry
skills” yang meliputi mengamati, mengukur, menggolongkan,
mengajukan pertanyaan, menyusun hipotesis, merencanakan eksperimen untuk
menjawab pertanyaan, mengklasifikasikan, mengolah dan menganalisis data, menerapkan ide
pada situasi baru, menggunakan peralatan sederhana serta mengkomunikasikan
informasi dalam berbagai cara yaitu
dengan gambar, lisan, tulisan dan
sebagainya. Melalui keterampilan proses dikembangkan sikap dan nilai yang
meliputi rasa ingin tahu, jujur, sabar, terbuka, tidak percaya tahayul, kritis, tekun, ulet, cermat,
disiplin, peduli terhadap lingkungan, memperhatikan keselamatan kerja dan bekerja sama dengan orang lain.
Berdasarkan tujuan di
atas dapat disimpulkan bahwa mata pelajaran IPA materi rangka manusia bertujuan
agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
a. Meningkatkan keyakinan terhadap
kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan
alam ciptaannya.
b. Mengembangkan pemahaman tentang
berbagai macam gejala alam, konsep dan prinsip IPA yang bermanfaat dan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Mengembangkan rasa ingin tahu,
sikap positif dan kesadaran terhadap adanya hubungan yang saling memengaruhi
antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.
d. Melakukan inkuiri ilmiah untuk
menumbuhkan kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak ilmiah serta
berkomunikasi.
e. Meningkatkan kesadaran untuk
berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan serta
sumber daya alam.
f. Meningkatkan kesadaran untuk
menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
g. Meningkatkan pengetahuan,
konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang selanjutnya.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian
yang relevan dengan penelitian ini adalah yang dilakukan Wildan Irwahyudi pada
tahun 2010 tentang “Penerapan Metode Resitasi sebagai upaya Meningkatkan
Prestasi Belajar Siswa kelas IV pada Mata Pelajaran IPA Di SDN Pulerejo 02
Bakung Blitar”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa setelah diterapkannya metode
resitasi, prestasi belajar siswa pada mata pelajaran IPA meningkat.
Penelitian
lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh
Rudi Yanto pada tahun 2011 tentang “Penerapan Metode resitasi sebagai upaya
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPA kelas IV Di MI
Al-Khoiriyah Tirtomoyo Pakis Malang”. Hasil penelitian tersebut, setelah
diterapkannya metode resitasi menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar
siswa yang baik.
C. Kerangka Berpikir
Berdasarkan KTSP, rangka manusia merupakan materi
yang disajikan pada siswa kelas IV SD/ MI semester ganjil tahun ajaran 2013/
2014. Kurikulum pembelajaran KTSP mempunyai ciri utama bahwa pembelajaran
berpusat pada siswa, maka siswa harus berperan aktif dalam keterampilan
berpikirnya. Salah satu strategi pembelajaran yang dapat diterapkan dalam metode
resitasi adalah latihan untuk menyelesaikan tugas tersebut yang cocok digunakan
pada mata pelajaran IPA. Oleh karena itu, dalam pembelajaran rangka manusia,
siswa diharapkan untuk mengembangkan keterampilan serta meningkatkan hasil
belajar materi rangka manusia terhadap siswa melalui metode resitasi.
Ilmu pengetahuan alam merupakan mata pelajaran
wajib pada tingkat SD/ MI. IPA diberikan pada siswa SD/ MI sebagai landasan
bagi pemahaman mata pelajaran tersebut di tingkat sekolah yang lebih tinggi.
Metode penyampaian yang kurang tepat dapat menyebabkan siswa SD/ MI menjadi
apriori terhadap mata pelajaran ini, apalagi IPA dikenal sebagai mata pelajaran
eksak yang penuh dengan rumus dan hafalan teori yang menjadikan IPA sebagai
salah satu pelajaran yang tidak menarik.
Proses pembelajaran IPA yang dilakukan oleh pendidik saat
ini cenderung pada pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan pada
penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat kondisi awal dari kegiatan
pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru (teacher
centered). Dalam penyampaian materi, biasanya guru
menggunakan metode ceramah, di mana
aktivitas siswa hanya duduk, mencatat dan
mendengarkan apa yang disampaikannya, dan
sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya. Dengan demikian, suasana
pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga siswa menjadi pasif karena metode pembelajaran yang dipakai belum merangsang
siswa untuk aktif dalam meningkatkan hasil belajarnya.
Seperti halnya di MIN 1 Kota Bandung, siswa melakukan
aktivitas belajar dengan baik ketika pembelajaran dengan menggunakan metode resitasi. Hal ini dapat dilihat
dalam proses pembelajaran siswa lebih berperan aktif dibandingkan guru,
sehingga terciptalah situasi belajar aktif ketika mengikuti pembelajaran.
Tetapi di sisi lain berdasarkan penelitian
bahwa mata
pelajaran IPA di kelas IV,
khususnya untuk materi rangka
manusia,
diperoleh informasi bahwa kondisi
hasil
belajar siswa pada mata
pelajaran IPA masih rendah. Fenomena tersebut
menunjukkan di MIN 1 Kota Bandung telah terjadi kesenjangan, di satu sisi mereka (siswa) melakukan aktivitas dengan baik dalam
mengikuti pembelajaran dengan menggunakan metode resitasi, di sisi lain hasil belajar mereka pada mata
pelajaran IPA materi rangka manusia masih rendah.
Berdasarkan kondisi awal yang telah diuraikan di atas, maka untuk melakukan
tindakan dalam pembelajaran IPA materi rangka manusia dengan menerapkan metode
resitasi terjadi peningkatan hasil belajar siswa yang dilihat dari aktivitas dan
melakukan tes selama kegiatan belajar mengajar di kelas. Dengan demikian,
kondisi akhir yang diinginkan yaitu hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA
materi rangka manusia meningkat, dilihat dari tugas-tugas yang diberikan oleh
guru.
Hasil belajar merupakan perubahan perilaku siswa akibat belajar. Perubahan
itu diupayakan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan.
Perubahan perilaku individu akibat proses belajar tidaklah tunggal, terjadi
setiap proses belajar mempengaruhi perubahan perilaku pada domain tertentu pada
diri siswa, tergantung perubahan yang diinginkan terjadi sesuai dengan tujuan
pendidikan. Hasil belajar perlu dievaluasi, evaluasi dimaksudkan sebagai cermin
untuk melihat kembali apakah tujuan yang diterapkan selalu tercapai dan apakah
proses belajar mengajar telah berlangsung efektif untuk memperoleh hasil
belajar.
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat
digambarkan skema penerapan metode resitasi sebagai upaya meningkatkan hasil
belajar siswa pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia, secara skematik
kerangka berpikir di atas digambarkan sebagai berikut:
Kondisi Awal
|
Tindakan
|
Kondisi Akhir
|
Metode pembelajaran yang dipakai belum merangsang
siswa untuk aktif dalam meningkatkan
hasil belajar.
|
Menerapkan metode resitasi (penugasan).
|
Hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA materi
rangka manusia meningkat.
|
Kondisi hasil
belajar siswa pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia rendah.
|
Siklus I:
Peningkatan keaktifan siswa dilihat dari aktivitas selama kegiatan belajar
mengajar.
|
Siklus II:
Peningkatan hasil belajar siswa dilihat dari tugas-tugas yang diberikan
oleh guru.
|
Gambar 8. 2 Skema Kerangka Pemikiran Penelitian Tindakan
Kelas
D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka
hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah:
Pembelajaran dengan menggunakan metode resitasi
tujuannya untuk melatih siswa agar dapat meningkatkan hasil belajar dan
merangsang siswa untuk aktif, khususnya dalam mata pelajaran IPA.
Hipotesis tindakannya adalah melalui penerapan
metode resitasi maka akan terjadi peningkatan hasil belajar siswa kelas IV MIN
1 Kota Bandung pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Setting Penelitian
1. Waktu penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada bulan september semester
ganjil tahun ajaran 2013/ 2014 di MIN 1 Kota Bandung, objek penelitian ini
adalah siswa kelas IV dengan penerapan metode resitasi sebagai upaya
meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung pada mata
pelajaran IPA materi rangka manusia.
2.
Tempat penelitian
Penelitian ini akan
dilakukan di kelas IV MIN 1 Kota Bandung yang beralamat di Jalan Sindang Sari No.12
Kelurahan Cipadung Kulon Kecamatan Panyileukan Kota Bandung Propinsi Jawa Barat, pada materi rangka manusia semester ganjil
tahun ajaran 2013/ 2014. Dengan pertimbangan metode resitasi yang belum
dilaksanakan di sekolah tersebut dengan sarana dan prasarana yang cukup baik
untuk penelitian ini.
3. Metode penelitian
Penelitian ini
menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas. Penelitian terdiri dari dua
siklus, tergantung permasalahan atau hambatan yang ditemukan selama penelitian,
masing-masing pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi.
Menurut Rochiati Wiriaatmadja (2005: 13), secara
ringkas penelitian tindakan kelas adalah bagaimana sekelompok guru dapat
mengorganisasikan kondisi praktek pembelajaran mereka dan belajar dari
pengalaman mereka.
Menurut Suharsimi Arikunto et al, (2009: 3),
penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar
berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas
secara bersama.
Metode penelitian tindakan kelas merupakan salah
satu cara yang digunakan untuk meneliti permasalahan di kelas dengan tujuan
utama yaitu menyempurnakan atau meningkatkan proses belajar mengajar. Tujuan
dilaksanakannya penelitian tindakan kelas yaitu untuk meningkatkan kualitas
pendidikan atau pengajaran yang diselenggarakan oleh guru peneliti itu sendiri
yang akan berdampak pada permasalahan dalam proses pembelajaran di dalam kelas.
B. Subjek Penelitian
Populasi dalam
penelitian ini adalah siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung yang berjumlah 31
orang, terdiri dari 17 siswa laki-laki dan 14 siswa perempuan yang terletak di Jalan Sindang Sari No.12
Kelurahan Cipadung Kulon Kecamatan Panyileukan Kota Bandung.
C. Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini berupa data
kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari:
1.
Data yang
tidak berupa angka, data kualitatif
dalam penelitian ini berupa data tentang keterlaksanaan guru dan siswa dalam melaksanakan tahapan penerapan
metode resitasi (penugasan) yang diperoleh dari format
observasi.
2.
Wawancara untuk
mendapatkan data tentang keadaan sekolah terhadap kepala sekolah, serta data
tentang pembelajaran terhadap guru dan siswa.
3.
Dokumen digunakan sebagai
data aktivitas belajar di kelas. Salah satunya dengan pemotretan untuk
mengetahui situasi dan kondisi guru maupun siswa ketika melaksanakan
penelitian.
Sedangkan, data
kuantitatif dalam penelitian ini berupa
data hasil belajar siswa dengan penerapan metode resitasi pada mata
pelajaran IPA materi rangka manusia yang
diperoleh dari hasil tes.
D. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Instrumen penelitian
adalah seperangkat alat untuk mengumpulkan data yang akan digunakan untuk
menjawab dan menguji hipotesa.
1.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian
tindakan kelas ini dilakukan dengan cara:
a. Observasi
Observasi
ini dilakukan untuk mengetahui secara langsung situasi lingkungan dan tempat
penelitian. Dalam menggunakan observasi ini, cara yang paling efektif adalah
melengkapi dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrumen, dari hasil
observasi ini akan mencatat berbagai petunjuk yang diperoleh di lapangan. Observasi
penelitian ini penulis gunakan untuk
memperoleh data tentang gambaran umum proses pembelajaran IPA menggunakan metode resitasi (penugasan) di MIN
1 Kota Bandung yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasinya.
b. Tes
Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes yang dapat meningkatkan
hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia agar siswa
mampu memahami dan mengasah kemampuannya untuk berpikir kritis. Tes yang
digunakan dalam penelitian ini adalah berbentuk tes uraian (tulisan). Tes yang
dimaksud untuk dijadikan penentuan awal poin
perkembangan individu siswa, hasil tes ini akan digunakan untuk
mengetahui tingkat prestasi, hasil
belajar dan keaktifan siswa terhadap materi pelajaran IPA melalui metode
resitasi. Tujuan diberikannya tes tiap siklus adalah untuk mengetahui tingkat
penguasaan siswa (ketuntasan siswa dalam pembelajaran) terhadap materi
pelajaran yang diberikan setiap siklusnya. Tes
tiap siklus diberikan setiap akhir tindakan.
Pengukuran
tes hasil belajar ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan
hasil belajar siswa dengan melihat nilai yang diperoleh oleh siswa. Tes tersebut juga
sebagai salah satu rangkaian kegiatan dalam penerapan metode resitasi dalam
upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
c. Wawancara
Wawancara adalah cara menghimpun bahan-bahan
keterangan yang dilaksanakan dengan melakukan tanya jawab lisan secara sepihak,
berhadapan muka dan dengan arah serta tujuan yang telah ditentukan (Anas
Sudijono, 2011: 82). Wawancara ini untuk
memperoleh data tentang perkembangan hasil penelitian yang dilakukan seperti pencapaian atau
kemajuan serta kendala dari penelitian yang dilakukan dan untuk mendapatkan
data tentang keadaan sekolah terhadap kepala sekolah. Pedoman wawancara hanya
memuat garis besar yang akan ditanyakan. Oleh karena itu, penulis harus mampu
mengarahkan responden terhadap pembicaraan tentang data yang diharapkan.
2. Alat pengumpulan data dalam penelitian tindakan kelas ini
berupa:
a.
Format lembar observasi
Lembar observasi siswa dan guru, lembar observasi ini
berbentuk pilihan jawaban YA atau TIDAK, observer hanya memberi tanda cheklist
(V) pada kolom yang sesuai. Aspek-aspek yang diobservasi yaitu langkah-langkah
kegiatan, mulai dari kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir.
Lembar observasi digunakan untuk mengetahui gambaran langsung
mengenai aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran melalui penerapan metode resitasi pada mata pelajaran IPA materi rangka
manusia. Data yang
diperoleh melalui pengamatan observer selama kegiatan pembelajaran berlangsung
dengan menggunakan lembar observasi. Observasi dilakukan oleh guru mata
pelajaran IPA.
b.
Perangkat satu jenis
Perangkat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tes yang berbentuk soal tulisan (essai/
uraian) sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV pada mata
pelajaran IPA materi rangka manusia.
c.
Pedoman wawancara
Pedoman wawancara guru dan siswa untuk mengetahui
tanggapan mereka tentang proses pembelajaran yang selama ini mereka lakukan
apakah telah mencapai hasil belajar yang meningkat serta tanggapan tentang sebelum
menggunakan metode resitasi dan sesudah menggunakan metode resitasi dalam
pembelajaran IPA, serta keaktifan siswa dan apakah siswa menyukai pelajaran
IPA, dan lain sebagainya yang terkait dalam proses pembelajaran ini.
E.
Validasi Data
Data mempunyai kedudukan yang paling penting dalam penelitian. Benar atau
tidaknya data tergantung dari baik tidaknya hasil penelitian. Validitas adalah
suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesatuan suatu
instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang
diinginkan atau dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat,
agar
diperoleh data hasil
belajar siswa yang absah (valid) diperlukan adanya instrumen tes yang valid, yang memuat sejumlah butir soal yang
tepat mengukur penguasaan siswa tentang rangka manusia. Validitas
data proses pembelajaran dilakukan dengan menggunakan metode resitasi yang menitikberatkan pada peningkatan hasil belajar siswa.
1.
Proses Pembelajaran
Data proses pembelajaran validasi datanya diperoleh melalui:
a.
Triangulasi sumber yaitu data diperoleh melalui observasi
kepihak sekolah untuk mengetahui keadaan sekolah dan wawancara kepada guru dan
siswa mengenai sumber belajar dan metode pembelajarn yang digunakan dalam
pembelajaran tersebut apakah hanya menggunakan buku paket dengan metode yang
umum, obserasi dan wawancara tersebut digunakan untuk melengkapi data yang
sudah ada sebelumnya.
b.
Triangulasi sumber yaitu diperoleh melalui observasi
kepihak sekolah dan wawancara kepada guru dan siswa mengenai apakah metode
resitasi pernah diterapkan dalam pembelajaran IPA sebelumnya, wawancara
tersebut digunakan untuk melengkapi data yang sudah ada sebelumnya.
2.
Hasil Belajar
Pengukuran tes hasil belajar ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
peningkatan hasil belajar siswa, kemudian dianalisis dengan menentukan valid
tidaknya yaitu melalui analisis kualitatif dan analisis kuantitatif sebagai
berikut:
a.
Analisis kualitatif
Penelitian ini dipergunakan untuk mencari suatu strategi pembelajaran yang
tepat untuk meningkatkan penguasaan materi rangka manusia
secara efektif dan efisien, sehingga arah penelitian ini yaitu mengaktifkan dan
memberi kepahaman pada siswa dalam penguasaan materi rangka manusia
dengan efektif, dan untuk pengukuran masalah tersebut peneliti
menggunakan alat pengumpul data yang berupa tes tertulis yang berupa soal dan
dilengkapi dengan kisi-kisi soal secara lengkap. Berdasarkan butir soal dalam bentuk essai/ uraian (tes
tulis). Aspek yang harus diperhatikan dan ditelaah yaitu dari segi materi,
bahasa, penskorannya, kisi-kisi, buku sumber, RPP dan kurikulum yang digunakan.
b.
Analisis kuantitatif
Pada penelitian tindakan kelas ini proses validasi data dilakukan dengan
meminta penilaian terhadap para ahli dan praktisi berkenaan dengan isi dan kisi-kisi dari tes
tertulis yang digunakan sebagai alat pengumpul data, sehingga alat yang
digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam penelitian ini kevalidannya benar-benar
dapat dipertanggungjawabkan.
Setelah data hasil uji
coba dalam penelitian terkumpul, kemudian dihitung analisis validitas, analisis
reliabilitas, analisis daya pembeda dan tingkat kesukaran, analisis ketuntasan
belajar dan angket skala sikap.
1) Analisis validitas
Menurut modul evaluasi
pendidikan Tuti Hayati (2012: 1), validitas merupakan salah satu ciri yang
menandai tes yang baik. Valid artinya tepat dan invalid artinya tidak tepat. Menurut Anas Sudijono
(2011: 181), untuk menguji tingkat
validitas soal digunakan rumus korelasi product
moment dengan angka kasar sebagai berikut:
Keterangan:
rxy = validitas item soal
X = skor tiap soal
Y = skor yang diperoleh
N = banyaknya sampel
Tabel 2. 3
Interpretasi Validitas
Indeks Validitas
|
Interpretasi
|
rxy ≥ rt
rxy ≤ rt
|
Valid
Tidak valid
|
2)
Analisis reliabilitas
Menurut modul evaluasi pendidikan Tuti Hayati
(2012: 8), reliabel berasal dari bahasa Inggris “reliable” artinya ajeg atau
dapat dipercaya. Suatu tes dapat dikatakan memiliki taraf kepercayaan atau daya
keajegan yang tinggi apabila tes tersebut kapan pun diujikan dapat memberikan
hasil yang sama kepada siswa yang sama. Menurut Anas Sudijono (2011: 208),
untuk menguji reliabilitas ini dapat menggunakan rumus alpha sebagai berikut:
Keterangan:
r11 = koefisien reliabilitas tes
n = banyaknya butir item
1 = angka konstan
∑s2i = jumlah varian dari tiap-tiap item
s2t = varian
total
Tabel 3. 3
Interpretasi Reliabilitas
Indeks Reliabilitas
|
Interpretasi
|
r11 ≥ 0,70
r11 ≤ 0,70
|
Reliabel
Un-reliable (tidak reliabel)
|
3)
Daya Pembeda dan Tingkat
Kesukaran
Menurut modul evaluasi
pendidikan Tuti Hayati (2012: 13-18), analisis daya pembeda dan tingkat
kesukaran yaitu sebagai berikut:
a)
Daya pembeda adalah
kemampuan suatu butir soal untuk membedakan antara siswa yang memiliki
kemampuan tinggi (pandai) dengan siswa yang memiliki kemampuan rendah (bodoh).
Menurut Wiana Mulya dan Asep Wahyu (1993: 71), daya pembeda soal adalah sejauh
mana butir soal itu memiliki daya pembeda antara responden (siswa yang dites)
yang tergolong kelompok rendah (biasanya disebut lower group) dengan kelompok
tinggi (biasa disebut higher group).
Rumus:
Keterangan:
DP = daya pembeda
BA/ SA = jumlah skor
yang dicapai kelompok atas
BB/ SB = jumlah skor
yang dicapai kelompok bawah
n =
jumlah kelompok atas dan kelompok bawah
maks = skor
maksimal soal yang bersangkutan bila dijawab
sempurna
½ =
angka konstan
Tabel 4. 3
Interpretasi Daya Pembeda
Indeks Daya Pembeda
|
Interpretasi
|
0,40 - ke atas
0,21 - 0,39
0,20 - ke bawah
|
Baik
Kurang
Jelek
|
b)
Tingkat kesukaran adalah
suatu pernyataan tentang butir soal apakah termasuk kategori soal mudah, sedang
atau sukar. Besarnya indeks kesukaran adalah 0,00-1,00. Butir soal dengan
indeks kesukaran 0,00 berarti bahwa soal itu terlalu sukar, dan sebaliknya
indeks kesukaran 1,00 menunjukkan bahwa soal itu terlalu mudah. Rumus:
Keterangan:
TK = tingkat kesukaran
BA/ SA = jumlah skor
yang dicapai kelompok atas
BB/ SB = jumlah skor
yang dicapai kelompok bawah
n =
jumlah kelompok atas dan kelompok bawah
maks = skor
maksimal soal yang bersangkutan bila dijawab
sempurna
Tabel 5. 3
Interpretasi Tingkat
Kesukaran
Indeks Kesukaran
|
Interpretasi
|
0,29 - ke bawah
0,30 - 0,69
0,70 - ke atas
|
Sukar
Sedang
Mudah
|
4)
Analisis ketuntasan
belajar
Menurut modul evaluasi
pendidikan Tuti hayati (2012: 19-20), analisis ketuntasan belajar dimaksudkan
untuk mengetahui (1) sejauh mana setiap siswa menyerap materi yang diberikan
guru berdasarkan satuan pelajaran atau rencana pembelajaran, (2) materi mana
yang telah terserap secara baik dan materi mana yang belum, (3) keberhasilan
suatu program yang dituangkan dalam rencana pembelajaran. Rumus:
F.
Analisis Data
Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini terdiri dari data hasil
observasi dan data hasil tes siswa.
1.
Analisis hasil observasi
Analisis
pada lembar observasi guru dan siswa berdasarkan penilaian YA atau TIDAK
melaksanakan poin-poin yang sesuai pada lembar observasi tersebut digunakan
untuk mengetahui proses pembelajaran IPA dalam penerapan metode resitasi.
Sedangkan, untuk menghitung aktivitas siswa secara individu dilakukan dengan
rumus:
2.
Analisis hasil tes
Hasil tes dianalisis dengan analisis komparatif yaitu membandingkan nilai
tes antar siklus, dengan langkah-langkah analisisnya sebagai berikut:
a.
Menentukan Mean variabel X1
b.
Menentukan Mean variabel X2
c.
Menentukan Standar Deviasi variabel X1
d.
Menentukan Standar Deviasi variabel X2
e.
Menentukan Standar Kesesatan Mean Variabel X1, dengan rumus:
f.
Menentukan Standar Kesesatan Mean Variabel X2, dengan rumus:
g.
Menentukan Standar Kesesatan Perbedaan Mean Variabel X1 dan Mean
Variabel X2, dengan rumus:
h.
Menentukan t hitung, dengan rumus:
th
i.
Menginterpretasikan dengan cara membandingkan harga t hitung dengan harga t
tabel, dengan terlebih dahulu menentukan:
1)
Merumuskan H0 dan Ha:
H0: Tidak ada perbedaan
Ha: Ada perbedaan
2)
Menentukan derajat kebebasan, dengan rumus:
3)
Menentukan harga t tabel pada taraf signifikan tertentu.
4)
Interpretasi, dengan ketentuan:
a)
Jika t hitung ≥ t tabel, maka H0 ditolak dan Ha
diterima.
b)
Jika t hitung < t tabel, maka H0 diterima dan Ha
ditolak.
(Tuti Hayati, 2011: 1-2)
G.
Indikator Kinerja
Penelitian ini dianggap
berhasil jika telah memenuhi indikator kinerja berikut:
1.
Sekurang-kurangnya
75% siswa menunjukkan peran aktif dalam kegiatan pembelajaran IPA di kelas.
2.
Sekurang-kurangnya
75% siswa mendapat nilai ulangan di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang
telah ditentukan yaitu 60.
3.
Sekurang-kurangnya
75% siswa memahami materi yang
diberikan oleh guru.
Bagi siswa, proses pembelajaran dengan
menggunakan metode resitasi pada materi rangka manusia dapat
meningkatkan hasil belajar siswa, belajar lebih bergairah, menyenangkan dan
tidak mudah jenuh sehingga tercipta suasana yang kondusif dan kolaboratif dalam
pembelajaran. Sedangkan bagi guru,
guru lebih dapat meningkatkan kualitas mengajarnya dengan berbagai macam metode
mengajar yang dapat membuat prestasi belajar siswa lebih tinggi dan memperoleh
ilmu pengetahuan yang kompeten dibidangnya.
H.
Prosedur Penelitian
Pada penelitian tindakan kelas ini
dilakukan dalam dua siklus, namun
bila dari dari dua siklus yang direncanakan masih terdapat masalah yang harus
dipecahkan maka dapat dilanjutkan dengan siklus berikutnya. Setiap siklus, setelah melakukan pembelajaran pada
tindakan pertama dilakukan refleksi untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan
pembelajaran tersebut. Kemudian disusun perbaikan dan perangkat pembelajaran
yang sesuai dengan hasil refleksi untuk digunakan pada penelitian tindakan
selanjutnya. Ada beberapa ahli yang mengemukakan model penelitian tindakan
dengan bagan yang berbeda. Namun menurut Suharsimi Arikunto et al, (2009: 16),
secara garis besar terdapat empat tahapan yang lazim dilalui yaitu (1)
perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Adapun model
dan penjelasan untuk masing-masing tahap adalah sebagai berikut:
Pelaksanaan Tindakan dan Observasi
|
Analisis dan Refleksi I
|
Perencanaan Tindakan I
|
SIKLUS I
|
Revisi
Perencanaan Tindakan
|
Pelaksanaan Tindakan II dan
Observasi
|
Analisis dan Refleksi II
|
SIKLUS
II
|
Perencanaan Tindakan II
|
Kesimpulan
|
Gambar 9. 3 Model Penelitian Tindakan Kelas
Model Penelitian Tindakan Kelas Kurt Lewin
Penelitian ini difokuskan dalam upaya
meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia
terhadap siswa kelas IV MIN 1 Kota Bandung. Dengan adanya metode resitasi siswa
memiliki kecenderungan untuk belajar hal yang baru dan menantang, di sini
peneliti/ guru sebagai fasilitator, jadi yang aktif dalam pembelajaran ini
adalah siswa.
1.
Identifikasi masalah:
a.
Bagaimana mengefektifkan
metode resitasi sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV pada
mata pelajaran IPA materi rangka manusia?
b.
Bagaimana meningkatkan
hasil belajar siswa kelas IV pada mata pelajaran IPA materi rangka manusia?
2.
Perencanaan atau
persiapan penelitian tindakan kelas:
a.
Menentukan kelas yang
akan dijadikan tempat penelitian.
b.
Memberitahukan kepada
pihak sekolah bahwa akan diadakannya penelitian tindakan kelas.
c.
Membuat rencana
pembelajaran.
d.
Membuat bahan ajar yang
akan disampaikan.
e.
Membuat lembar kerja
siswa (LKS).
f.
Membuat pedoman lembar
observasi guru dan siswa.
3.
Pelaksanaan penelitian
tindakan kelas:
a.
Melaksanakan pembelajaran
dengan metode resitasi sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada mata
pelajaran IPA materi rangka manusia.
b.
Mengobservasi aktivitas
guru dan siswa selama proses pembelajaran.
c.
Meminta pendapat guru
tentang penerapan pembelajaran tersebut.
d.
Melaksanakan tes.
e.
Melaksanakan post test
dan pre test, sebelum dan sesudah pembelajaran.
4.
Pengamatan
Pengamatan atau observasi
yang dilakukan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah dengan menggunakan
format pengamatan yang telah disediakan. Aspek-aspek yang diamati antara lain
meliputi:
a.
Situasi kegiatan belajar
mengajar yang terdiri dari tiga komponen yaitu siswa senang belajar, siswa
berani mengeluarkan pendapat dan siswa antusias dalam proses pembelajaran.
b.
Keaktifan siswa yang
terdiri dari tiga komponen yaitu siswa berani bertanya, siswa berani menjawab
pertanyaan dan siswa berani menanggapi pertanyaan dan jawaban dari siswa lain.
c.
Kemampuan siswa.
d.
Hasil tes.
5.
Refleksi
Data yang diperoleh dari tindakan kelas yang telah dilaksanakan, akan dianalisis
untuk memastikan bahwa dengan penerapan metode resitasi sebagai upaya meningkatkan hasil
belajar siswa pada
mata pelajaran IPA materi rangka
manusia. Dalam menganalisis data akan
digunakan prosedur dan teknik-teknik yang sesuai dengan tujuan yang ada atau
yang akan dicapai, yakni memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan
baru dalam pembelajaran IPA, sehingga siswa merasa pengetahuan yang baru
didapatnya lebih berharga karena itu
merupakan hasil temuan
sendiri yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Pelaksanaan prosedur penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sebagai
berikut:
1)
Siklus I
a)
Tahap perencanaan tindakan
Dalam tahap perencanaan tindakan pada siklus ini, kegiatan yang dilakukan
adalah:
(1)
Peneliti menyusun silabus dan RPP yang
berkaitan dengan materi rangka
manusia.
(2)
Peneliti mempersiapkan lembar observasi guru dan siswa.
(3)
Peneliti mempersiapkan alat peraga/ media pembelajaran.
(4)
Peneliti merancang skenario pembelajaran yang dapat
mengaktifkan siswa di dalam
kelas.
(5)
Merancang alat pengumpul data yang berupa tes dan digunakan
untuk mengetahui pemahaman kemampuan siswa yang berkaitan dengan materi rangka manusia.
b)
Tahap pelaksanaan tindakan:
(1)
Pada siswa diberikan penjelasan umum tentang tujuan
penelitian tindakan kelas sesuai dengan rancangan yang telah direncanakan, baik
mengenai pengumpulan data maupun kegiatan-kegiatan yang lain.
(2)
Kegiatan dalam penelitian tindakan kelas ini meliputi:
(a)
Memberikan penjelasan secara umum tentang pokok bahasan
yang diajarkan dengan menggunakan strategi pembelajaran aktif dengan rasa ingin tahu
siswa.
(b)
Mendorong siswa yang belum aktif untuk aktif dalam
mengikuti pembelajaran.
(c)
Mengembangkan kemandirian siswa dalam mengerjakan tugas
berupa latihan atau LKS
(d)
Mengembangkan kreativitas siswa dalam melakukan proses
pembelajaran
(e)
Membina tanggung jawab dan disiplin siswa dalam
mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh guru
(f)
Mengamati dan mencatat siswa yang berpartisipasi aktif
dalam pembelajaran.
(g)
Memberikan tes kepada siswa yang berbentuk LKS untuk
mengetahui sejauh mana pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap materi rangka
manusia.
(h)
Mengumpulkan hasil pengujian yang diperoleh siswa dalam
mengerjakan LKS.
(i)
Menganalisa hasil tes yang telah dikerjakan siswa.
(j)
Memberikan penugasan pada akhir pembelajaran yang relevan
dengan materi rangka manusia kepada siswa sebagai tambahan untuk siswa terus
belajar, berpikir aktif dan memiliki pengetahuan yang luas agar mampu
meningkatkan hasil belajar pada mata pelajaran IPA.
(3)
Peneliti mengajar sesuai dengan skenario pembelajaran yang
telah dirancang dan mencatat kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa selama pembelajaran dengan menggunakan
lembar observasi siswa.
(4)
Peneliti memberikan evaluasi pada siswa untuk mengetahui
pemahaman siswa berkaitan dengan materi rangka manusia.
c)
Tahap observasi tindakan
Peneliti mengamati dan mencatat semua kejadian yang terjadi pada saat siswa
mengikuti pengajaran dan menanyakan pada siswa yang kurang aktif dalam
pembelajaran tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
d)
Tahap refleksi
Peneliti menganalisa hasil pekerjaan siswa dan hasil observasi
oleh observer secara kolaboratif langkah berikutnya. Peneliti memberikan tugas yang didasarkan pada hasil yang didapatkan siswa pada evaluasi
yang dilakukan.
2)
Siklus II
a)
Tahap perencanaan tindakan:
(1)
Mempersiapkan fasilitas dan sarana yang sesuai dengan materi
awal yaitu materi yang telah disampaikan pada siklus I.
(2)
Membuat bahan ajar yang akan disampaikan.
(3)
Mempersiapkan angket.
b)
Tahap pelaksanaan tindakan:
(1)
Peneliti memberikan penjelasan tentang pokok bahasan yang
akan dipelajari sesuai dengan
materi yang telah disampaikan pada siklus I, serta menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan
berkaitan dengan pengajaran.
(2)
Memberikan evaluasi pada siswa untuk mengetahui kemampuan
siswa dalam menguasai materi rangka
manusia.
(3)
Peneliti memberikan LKS kepada siswa, bahan ajar yang diberikan berisi tugas tindak lanjut dari
siklus I.
(4)
Pada akhir pembelajaran, peneliti memberikan angket
kepada siswa untuk mengetahui bagaimana tanggapan siswa terhadap pembelajaran
tersebut.
c)
Tahap observasi tindakan
Peneliti mencatat hasil-hasil yang diperoleh anak didik serta mencatat
kesalahan-kesalahan yang dilakukan anak didik dalam mengerjakan LKS yang
berkaitan dengan bahan ajar yang diberikan.
d)
Tahap refleksi
Peneliti mengevaluasi
bahan ajar yang telah diberikan, mendata
siswa yang telah mampu menyelesaikan soal dan mampu mendapatkan nilai di atas standar
ketuntasan belajar. Untuk selanjutnya membuat
kesimpulan yaitu menganalisis dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada
mata pelajaran IPA materi rangka manusia dengan menggunakan metode resitasi,
yang berdasarkan pada hasil tes dalam penelitian tersebut.
0 Response to "Skripsi Bab I sampai III"
Post a Comment