Makalah Etika Guru

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam, sejak pertumbuhanya hingga sekarang telah berlangsung selama 14 abad, yakni dimulai sejak Rasul Muhammad SAW memancangkan tonggak dakwah islamiyah setelah beliau menerima wahyu dari allah SWT. Beliau sendiri menempatkan dirinya sebagai sumber atau referensi pendidikan islam yang bersumber  pada al-Quran dan al-Hadits berkembang dinamis dari masa kemasa. Berbagai pemikiran pendidikan telah dilontarkan oleh para ahli, baik oleh ahli yang berlatar belakang muslim atau non muslim. Dalam islam yang di sebut pendidikan Islam adalah pendidikan yang senantiasa menjadikan al-Quran dan Hadits sebagai landasanya. Terhadap hal ini telah banyak pakar yang mengemukakan gagasanya di bidang pendidikan islam termasuk mengenai etika guru, diantaranya yaitu Ibn Jama’ah, Al-Ghazali
Guru merupakan faktor terpenting dalam pendidikan. Faktor terpenting bagi seorang guru adalah etika. Itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, atau akan menjadi perusak atau penghacur bagi masa depan anak didiknya, terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Tingkah laku atau moral guru pada umumnya, merupakan penampilan lain dari kepribadiannya. Bagi anak didik yang masih kecil, guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam pertumbuhannya. Guru adalah orang pertama sesudah orang tua, yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Kalaulah tingkah laku atau akhlak guru yang tidak baik, pada umumnya akhlak anak didik akan rusak, karena anak mudah terpengaruh oleh orang yang dikaguminya.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan etika?
2.      Bagaimana etika guru menurut Ibn Jama’ah?
3.      Bagaimana etika guru menurut Al-Ghazali?



C.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini untuk :
a.       Mengetahui pengertian etika
b.      Mengetahui etika guru menurut Ibn Jama’ah
c.       Mengetahui etika guru menurut Al-Ghazali


























BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti karakter watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Etika adalah aturan-aturan yang disepakati bersama oleh ahli-ahli yang mengamalkan kerjanya seperti keguruan, pengobatan dan sebagainya. Guru dalam pendidikan merupakan faktor yang paling penting, seorang guru harus mempunyai etika dan harus memiliki sifat-sifat yang berikut:
1.      Bahwa tujuan, tingkah laku dan pemikirannya mendapat bimbingan Tuhan (Rabbani), seperti disebutkan oleh surat Al-imran, ayat 79, “Tetapi jadilah kamu Rabbani (mendapat bimbingan Tuhan)”.
2.      Bahwa ia mempunyai persiapan ilmiah, vokasional dan budaya menerusi ilmu-ilmu pengkhususannya seperti geografi, ilmu-ilmu keIslaman dan kebudayaan dunia dalam bidang pengkhususannya.
3.      Bahwa ia ikhlas dalam kerja-kerja kependidikan dan risalah Islamnya dengan tujuan mencari keredhaan Allah S.W.T dan mencari kebenaran serta melaksanakannya.
4.       Memiliki kebolehan untuk mendekatkan maklumat-maklumat kepada pemikiran murid-murid dan ia bersabar untuk menghadapi masalah yang timbul.
5.      Bahwa ia benar dalam hal yang didakwahkannya dan tanda kebenaran itu ialah tingkah lakunya sendiri, supaya dapat mempengaruhi jiwa murid-muridnya dan anggota-anggota masyarakat lainnya. Seperti makna sebuah hadith Nabi S.A.W, “Iman itu bukanlah berharap dan berhias tetapi meyakinkan dengan hati dan membuktikan dengan amal”.
6.      Bahwa ia fleksibel dalam mempelbagaikan kaedah-kaedah pengajaran dengan menggunakan kaedah yang sesuai bagi suasana tertentu. Ini memerlukan bahawa guru dipersiapkan dari segi professional dan psikologikal yang baik.
7.      Bahwa ia memiliki sahsiah yang kuat dan sanggup membimbing murid-murid ke arah yang dikehendaki.
8.       Bahwa ia sedar akan pengaruh-pengaruh dan trend-trend global yang dapat mempengaruhi generasi dan segi aqidah dan pemikiran mereka.
9.      Bahawa ia bersifat adil terhadap murid-muridnya, tidak pilih kasih, ia mengutamakan yang benar. Seperti makna firman Allah S.W.T dalam surah al Maidah ayat ke 8,
“Janganlah kamu terpengaruh oleh keadaan suatu kaum sehinga kamu tidak adil. Berbuat adillah, sebab itulah yang lebih dekat kepada taqwa. Bertaqwalah kepada Allah, sebab Allah Maha Mengetahui apa yang kamu buat”.
B.        Etika Guru  Menurut Ibnu Jam’ah
1.    Riwayat Hidup Ibn  Jama’ah
Nama lengkap Ibn Jama’ah adalah Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’ad Allah ibn Jama’ah ibn Hazim ibn Shakhr ibn Abd Allah al-Kinany. Ia lahir di Hamwa, Mesir, pada malam Sabtu, tanggal 4 Rabi’ul Akhir, 639 H./ 1241 M., dan wafat pada pertengahan malam akhir hari Senin, tanggal 21 Jumadil ‘Ula tahun 733 H./1333 M., dan dimakamkan di Qirafah, Mesir. Dengan demikian usianya 64 tahun 1 bulan 1 hari. Pendidikan awal yang diperoleh Ibn Jama’ah berasal dari ayahnya sendiri, yaitu Ibrahim Sa’ad Allah ibn Jama’ah (596-675 H.),seorang ulama besar ahli fiqih dan sufi. Selain kepada ayahnya, Ibn Jama’ah juga berguru kepada sejumlah ulama. Ketika berada di Hammah, ia berguru kepada Syaikh as-Syuyukh ibn Izzun, dan ketika di Damaskus, ia berguru kepada Abi al-Yasr, Ibn Abd Allah, Ibn al-Azraq, Ibn Ilaq ad-Dimasyqi. Selanjutnya ketika ia di Kairo, ia berguru kepada Taqy ad-Din ibn Razim, Jamal ad-Din ibn Malik, Rasyid at-Tahar, Ibn Abi Umar, At-Taj al-Qasthalani, Al-Majd ibn Daqiq al-‘Id, Ibn Abi Musalamah, Makki ibn ‘Illan, Isma’il al-‘Iraqi, Al-Mushthafa, Al-Bazaraiy dan lain-lain.
Berkat didikan dan pengembaraan dalam menuntut ilmu tersebut, Ibn Jama’ah kemudian menjadi seorang ahli hukum, ahli pendidikan, juru dakwah, penyair, ahli tafsir, ahli hadits dan sejumlah keahlian dalam bidang lainnya. Namun demikian Ibn Jama’ah tampak lebih menonjol dan dikenal sebagai ahli hukum, yakni sebagai hakim. Hal ini disebabkan karena dalam sebagian masa hidupnya dihabiskan untuk melaksanakan tugasnya sebagai hakim di Syam dan Mesir. Sedangkan propesinya sebagai pendidik, terjadi ketika ia bertugas mengajar di beberapa lembaga pendidikan seperti di Qimyariyah, sebuah lembaga pendidikan yang di bangun oleh Ibn Thulun di Damasyqus dalam waktu yang cukup lama.
Dilihat dari masa hidupnya, Ibn Jama’ah hidup pada masa Dinasti Ayyubiyah. Dinasti Ayyubiyah dengan pimpinanya Shalahuddin Al-Ayyubi menggantikan Dinasti Fatimiyah pada tahun 1174 M. dinasti Ayyubiyah diketahui telah membawa angin segar bagi pertumbuhan dan perkembangan paham sunni, terutama dalm bidang fiqh Syafi’iyah. Sedangkan pada masa Dinasti Fatimiyah yang dikembangkan adalah paham Syi’ah. Dia mempunyai pengaruh besar tehadap ilmu-ilmu agama dan mempunyai sejumlah pengikut serta murid-murid yang banyak jumlahnya. Sejumlah ulama yang menjadi muridnya Ibnu Jama’ah antara lain Kammal bin Hummam, Ibnu Quzail, Syams al-Din al-Qayati, Muhib al-Din al-Aqsara’I dan Ibnu Hajar. Ibnu Jama’ah banyak bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat, senang bercanda, akan tetapi tidak menyukai bergunjing meskipun bergurau.
Pada masa Ibn Jama’ah telah muncul berbagai lembaga pendidikan. diantaranya adalah:
v  Kuttab, yaitu lembaga pendidikan dasar yang dibangun untuk memberikan kemampuan membaca dan menulis.
v  Pendidikan istana, yaitu lembaga pendidikan yang di khususkan untuk anak-anak pejabat dan keluarga istana. Kurikulum yang di buat tersendiri yang didasarkan pada kemampuan anak didik dan kehendak orang tua anak.
v   Kedai atau toko kitab yang fungsinya sebagai tempat untuk menjual kitab serta tempat berdiskusi diantara pelajar.
v  Rumah para ulama, yaitu tempat yang sengaja disediakan oleh para ulama untuk mendidik para siswa.
v   Rumah sakit yang di kembangkan selain untuk kepentingan medis juga untuk mendidik tenaga-tenaga yang akan bertugas sebagai perawat dan juga sebagai tempat pengobatan.
v  Perpustakaan yang berfungsi selain tempat menyimpan buku-buku diperlukan juga untuk keperluan diskusi dan melakukan penelitian. Diantara perpustakaan yang cukup besar adalah Dar al-Hikmah.
v   Masjid yang berfungsi selain tempat melakukan ibadah shalat, juga sebagai kegiatan pendidikan dan social.
Selain itu, pada masa Ibn Jama’ah juga telah berkembang lembaga pendidikan madrasah. Menurut Michael Stanton, Madrasah yang pertama kali didirikan adalah Madrasah Nizham al-Muluk yang didirikan oleh Wazir Nizhamiyah pada tahun 1064 M. Sementara itu Richaerd Bulliet berpendapat bahwa madrasah yang pertama kali dibangun adalah Madrasah Bayhaqiyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqy pada tahun 400 H./1009 M. bahkan menurut Bullet ada 39 Madrasah yang berkembang di Persia, Iran yang dibangun dua abad sebelum Madrasah Nizham al-Muluk. Dengan demikian, pada masa Ibn Jama’ah lembaga pendidikan telah berkembang pesat dan telah mengambil bentuk yang bermacam-macam. Suasana inilah yang membantu mendorong Ibn Jama’ah menjadi seorang ulama yang menaruh perhatian terhadap pendidikan.
2.      Etika menurut Ibn  Jama’ah
Ibnu Jama’ah mengklasifikasikan etika guru untuk memudahkan pembahasan dan memperjelas aspek-aspek yang berbeda, dengan konsep yang jelas. Beliau membagi etika guru kedalam tiga bagian yaitu etika guru pada dirinya, etika guru pada muridnya dan etika guru dalam mengajar.
 Diantara kewajiban guru menurut Ibn Jama’ah adalah menghiasi diri dengan akhlak yang diharuskan bagi tokoh agama dan bagi seorang mukmin. Secara umum syarat pendidikan guru dan etika yang baik dengan dirinya, murid-muridnya dan pelajarannya.
v  Karakteristik Akhlak
Seorang guru diharuskan memiliki akhlaq yang mulia seperti sopan, khusu, tawadhu, hudu, tunduk pada Allah SWT, dan selalu mendekatkan diri pada-Nya secara diam-diam dan terang-terangan. Guru itu osisinya tinggi karena tidak boleh menghadap penguasa kecuali ada alasan yang jelas, sebagai bentuk pemuliaan pada ilmu. Salah satu bentuk yang dapat membantu guru untuk mencapai akhlaq yang mulia adalah zuhud terhadap dunia dan qona’ah.
Zuhud dunia adalah sifat yang harus ada pada setiap guru. Karena harus bersifat ekonomis dan menentukan skala prioritas dalam materi yang cukup memenuhi kebutuhan diri dan keluarga saja. Ibn jama’ah berwasiat kepada para guru untuk tidak terpengaruh oleh materi, karena guru adalah manusia paling utama. Mereka tidak diperkenankan untuk melakukan usaha-usaha lain diantaranya membekam, menyamak kulit, pekerjaan tukang emas lainnya. Jangan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang subhat, yang dapat menimbulkan prasangka buruk dimasyarakat. Semua itu dilakukan agar tidak menghancurkan kreadibilitas ilmu dan pemiliknya. 
v  Karakteristik Agama
Selain karakteristik akhlaq mulia, ibn jama’ah juga menuntut agar guru memiliki karakteristik keagamaan, karakteristik keagamaan tersebut seperti:
1.      Melaksanakan syiar islam
2.      Melaksanakan amalan sunat baik perkataan maupun perbuatan, seperti membaca al-qur’an dzikir dalam hati ataupun lisan, menjaga wibawa nabi ketika diebut namanya, dia juga wajib bergaul dengan masyarakat dengan akhlaq mulia.
            Ibn jama’ah sangat anyak memberikan bentuk tanggung jawab kepada guru dan mengarahkannya kepada aklaq yang baik. Dalam pandangannya, guru adalah orang besar dan contoh bagi masyarakat dan murid-muridnya,. Karena itu guru bisa bermuka ramah, menahan amarah, bisa member pengaruh, lemah lembut dan memerintah pada yang baik.
v  Karakteristik Keahlian
Menurut ibn jama’ah aspek ideal seorang guru adalah tidak menghilangkan aspek-aspek yang lain yang dapat membantunya untuk melaksanakan kewajiban mengajar. Pokoknya proses mengajar tidak akan terlaksana apabila keahliannya belum sempurna.
Dengan demikian , guru harus berusaha untuk meningkatkan keahliannya. Guur hendaknya tidak menyia-nyiakan  usianya untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan ilmu kecuali untuk hal yang penting.  Terhadap aspek aturan ideal realistis yang mengarah pada guru,ibn jama’ah memberikan tambahan bahwa seorang guru bersama murid-muridnya berusaha untuk sampai kepada hakikat.
Sehubung dengan hal diatas, kewajiban guru secara integral adalah mengarah dan menganalisis. Dalam pandangan ibn jama’ah seorang guru tidak boleh meniggalkan penelitian, tidak memahami tujuan untuk dicapai. Menurutnya juga, guru adalah orang yang aktivitasnya telah dimaklumi bahkan seluruh aspek kehidupannya tertuju kepada ilmu dan penyebarannya serta bermanfaat bagi diri dan murid-muridnya.
Untuk mencapai karakter ideal, seorang guru harus memiliki etika karakter yaitu;
1)        Etika pendidik terhadap dirinya (kepribadian guru)
Ibn Jama’ah membagi kepribadian guru menjadi dua belas macam yaitu:
Pertama, memiliki sifat mudawwamah’konsisten’ secara kontinyu bahwa dirinya ada dibawah pengawasan Allah, baik dalam keadaan sembunyi maupun dalam keadaan terang. Setiap gerak diamnya perkataan adalah  senantiasa didasari oleh perasaan adanya pengawasan yang ketat dari Allah. Ia juga mesti memiliki loyalitas atas pengetahuan dan pemahaman yang dianugerahkan kepadanya.
Kedua, Memelihara kelangsungan ilmu, yakni dengan membagi ilmu sebagai satu kemuliaan, baik secara konsep maupun  secara praktis metodologis. Imam zuhri dalam kaitan ini berpendapat bahwa perginya pengajar dari mereka merupakan suatu kerendhan ilmu.
Ketiga, memiliki sifat zuhud dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak tergantung kepada aspek material. Namun demikian jangan sampai kondisi ini membahayakan lagi bagi dirinya. Artinya, secara manusiawi dan dalam batas-batas kewajaran itu sah-sah saja, bahwa kemudian ia menjadi seorang materialistis itu tidak dibenarkan.
Keempat, tidak menjadikan ilmunya sebagai katalisator bagi pencapaian maksud-maksud duniawi, pangkat, jabatan, golongan, harta, popularitas dan sejenisnya.
Kelima, menjauhi aktivitas yang rendah dan hina, juga hal-hal yang makhurat, baik secara norma cultural maupun secara norma syari’ah. Seorang guru semestinya menghindari sikap yang dapat kredibilitas dan kapabilitas sebagai seorang guru, kalaupun pada wujudnya diperbolehkan.
Keenam, memelihara kelangsungan syiar islam sekaigus hukum syariatnya sekaligus hokum syariatnya. Mekanisme yang dapat dilakukan yaitu melakukan shalat berjamaah di mesjid, menebarkan salam kepada orang-orang yang dekat maupun jauh darinya, mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, sabar dalam penderitaan, menegakkan hak kepada yang kuasa, memperjuangkan dirinya hanya untuk Allah semata serta tidak takut dicerca oleh manusia.
Ketujuh, menjaga ibadah syariat baik secara llisan maupun perbuatan. Mekanismenya dengan memperbanyak membaca al-Quran,dzikir, berdo’a ditengah malam maupun siang hari, menjadikan ibadah sunah seperti saum, shalat, dan yang lainnya.
Kedelapan, membiasakan diri dalam pergaulan dengan akhlak mulia, seperti bermanis muka, menebarkan salam, menjamu dengan makanan, dan menahan diri dari marah.
Kesembilan, biasakan diri dengan akhlak terpuji dan menghindari akhlak tercela.
Kesepuluh, senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pribadi. Caranya dengan melakukan dzikir, banyak membaca, berfikir kritis serta mampu mengambil intisari dari setiap persoalan yang ada. Seorang guru hendaknya bersikap efektif dan efisien dengan dengan berkonsentrasi pada aktivitas ilmu dan amal semata, kecuali untuk hal-hal yang penting. Barangsiapa yang semakin hari tidak bertambah kebaikannya maka ia termasuk kelompok yang merugi. Dalam keadaaan sakit, semaksimal mungkin tidak melepaskan kebiasaan belajar dan bekerja. Hal ini seperti yang dijelaskan bahwa “jika kamu sakit maka obatilah dengan dzikir, atau berhenti sementara sampai sembuh. 
Kesebelas, menantiasa mengambil manfaat atau hikmah dari mana saja  datangnya terhadap apa yang belum dia ketahui. Jangan membedakan pangkat, derajat, nasab, maupun umur. Tidak ada alas an untuk menempatkan sifat egois, yakni tidak mau belajar dari orang lain dengan alas an bahwa orang lain itu lebih rendah atau lebih muda.
Keduabelas, menyibukan diri dengan karya nyata, dengan menjaga kode etik keilmuan. Dengan jalan seperti itu niscaya didapatkan krmuliaan ilmu. Jalan lain adalah melakukan penelitian secara seksama. Dalam buku pengembangan kepribadian guru (Uus Riswandi, Badrudin, 2010) Imam Khatib al-Baghdadi mengatakan bahwa “Kukuhlah hapalan, asahlah hati, galilah kemampuan, perbaiki argument serta adakan memorisasi”. Dengan demikian perlu menghindari adanya pengingkaran terhadap karya-karya lain,artinya perlu adanya kejujuran intelektual.
2)        Etika guru pada murid-muridnya.
Dalam bentuk yang terperinci dan sistematis ibnu jamaah mengungkapkan aturan-aturan yang mengatur hubungan antara guru dan murid dalam belajar. Aturan-aturan tersebut bersifat idealis ilmiah yaitu:
Ø  Bertujuan mengharap ridha allah, menyebarkan ilmu dan menyebarkan syariat
Ø   Tidak kalah pentingnya perlunya niat baik pada murid, maksudnya tidak boleh mengajar siswa karena tidak ikhlas. Kewajiban guru disini adalah berusaha untuk mendidik siswa berniat baik setahap demi setahap
Ø  Memberikan penjelasan tentang kelebihan-kelebihan ilmu dan pemiliknya serta penjelasan tentang materi dunia adalah sarana penting untuk mendapatkan dunia
Ø  Menghargai individu siswa yang lupa atau salah tidak menyelesaikan tugas, karena guru adalah inddividu yang mungkin saja lupa begitupun dengan murid
Ø  Mempermudah murid yang rajin dan perlakuan yang baik terhadap murid yang kurang. Guru jangn memanggil siswa yang kurang dengan panggilan “tidak pandai” karena hal tesebut dapat menyakiti hatinya
Ø  Memahami emosi siswahal ini penting untuk memotivasi siswa dalam perasaanya. Guru hendaknya mengajar dengan pemahaman dan penjelasan yang sederhana tidak berbelit-belit, agar terhidar dari kejenuhan dan pemahaman yang tidak benar.
Ø  Sangsi dan pujian
Ø  Memerintahkan siswa agar berperilaku yang lemah lembut dan tidak kasar
Ø  Mengajari siswa dengan kemampuan emosinya, menambah perkembangan emosinya, sedangkan mengajari diluar kemampuan emosinya akan menurunkan tingkat kreativitasnya
Ø  Tidak menyibukan siswa dengan dua ilmu atau lebih
Ø  Meninggalkan ilmu yang tidakj menyenangkan siswa
Ø  Memperlakukan siswa dengan sama (adil)
Ø  Pemberian sangsi hukuman, hal ini agar menjadi peringatan kepada dirinya dan siswa yang melihatnya.
Ø  Membantu siswa baik materi atau immateri
Ø  Merendahkan hati kepada siswa. Guru hendaknya memanggil mereka dengan panggilan yang menyenangkan hati mereka.
3)        Etika guru dalam mengajar
Mempersiapkan diri sebelum keluar rumah, dan keluar kelas ketika murid telah pergi. Ibn Jama’ah tidak member toleran kepada guru yang belum siap mengajar. Memulai hal-hal yang konkrit dan berakhir dengan hal-hal yang abstrak.
Ø  Persiapan Mengajar
Ø  Aturan Mengajar
C.       Etika  Guru Menurut Al-Gazali
1.   Riwayat Hidup Al-Gazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhamad bin Muhamad Al-Ghazali di lahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasam Persia pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wol yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Al-Ghazali memepunyai seorang sodara, ketika akan meninggal ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu di asuh dan disempurnakan pendidikanya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali kedua anak itu di didik dan di sekolahkan. Setelah harta ayah mereka habis, mereka di nasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya. (Ahmad Tafsir, 2001:177)
Imam al-Ghazali kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pandai dan soleh. Dia juga dikenal sebagai seorang anak pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung pencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara.
 Pada awal studi nya, Al-Ghazali mengalami peristiwa menarik, yang kemudian mendorong kemajuannya dalam pendidikan suatu hari, dalam perjalanan ketempat asalnya, Al-Ghazali dihadang oleh segerombolan perampok. Mereka merampas semua bawaan Al-Ghazali termasuk catatan kuliahnya. Al-Ghazali meminta kepada perampok itu agar mengembalikan catatanya, yang baginya sangat bernilai. Kepala perampok itu malah menertawakan dan mengejeknya, sebagai penghinaan terhadap Al-Ghazali yang ilmunya hanya tergantung kepada beberapa helai kertas saja. Tanggapan Al-Ghazali terhadap peristiwa itu sangat positif. Ejekan itu digunakan untuk mencabuk dirinya dan menjamkan ingatannya dengan menghapal semua catatan kuliahnya (Abidin Ibnu Rusn,1998:10)
Pada masa kecilnya Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh dinegerinya sendiri pada Ahmad bin Muhamad Ar-ridzkani kemudian kepada Abi Nashr Al –Ismail di Jurjani. Setelah mempelajari ilmu di negeri tersebut berangkatlah Al-Ghazali ke naisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu al-juwaini  imam al-haramain. Dari beliau ini dia belajar ilmu kalam, ushul fiqh dan ilmu pengetahuan yang lainnya.
Setelah menamatkan studi di Thus dan jurjan, Al-Ghazali melanjutkan dan meningkatkan pendidikannya di naisabur, dan ia bermukim disana. Tidak beberapa lama mulailah mengaji kepada Al-juainy, salah seorang pemuka agama yang terkenal dengan sebutan imamul Haramain. Kepadanya beliau belajar ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat.
 Tetapi akhirnya peristiwa itu mengharuskannya melangkah lebih jauh, ditinggalah Naisabur menuju Mu’asakar, suatu tempat atau lapangan luas yang disana di dirikan barak-barak militer Nidhamul Muluk perdana mentri saljuk tempat itu juga sering di gunakan untuk berkumpul para ulama ternama.kemudian pada tahun 1091 M/484  H beliau diangkat menjadi dosen pada Universitas Nidhamiyah, Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat pada usia 34 tahun ia diangkat menjadi pemimpin (rektor)Universitas tersebut. Hanya empat  tahun beliau menjadi rektor, setelah itu ia mengalami krisis rohani, krisis keraguan yang meliputi aqidah dan semua jenis ma’rifat. Secara diam-diam beliau meninggalkan Baghdad menuju syam  untuk menjalankan zuhud disana.
Setelah hampir dua tahun, Al-Ghazali menjadi hamba Allah yang betul-betul meampu mengendalikan gejolak hawa nafsunya. Ia menghabiskan waktu untuk berkhalwat, ibadah, dan i’tikaf di sebuah mesjid di Damaskus berdzikir sepanjang hari. Untuk melanjutkan taqarubnya kepada Allah, beliau pindah keBaitul Maqdis, dari sinilah ia bergerak hatinya untuk memnuhi panggilan Allah menjalankan ibadah haji, setelah itu ia menuju hijaz.
Setelah melanglang buana selama sepuluh tahun, atas desakan Pakhrul Muluk, Al-Ghazali kembalai ke Naisabur untuk melanjutkan kegiatannya mengajar di Universitas Nidhamiyah, sekarang ia tamoil sebagai tokoh pendidikan yang betul-betul mewarisi dan mempraktekan ajaran Rasulullah Saw. Fakhrul Muluk merasa gembira atas kembalinya Al-Ghazali mengajar di Universitas di kota itu.
 Tidak diketahui secara pasti berapa lama Al-Ghazali memberikan kuliah di Nidhamiyah, setelah sembuh dari krisis rohani. Tidak lama setelah Fakhrul Muluk mati terbunuh pada tahun 500 H/ 1107 M, Al-Ghazali kembali ketempat asalnya di Thus, Ia menghabiskan umurnya untuk membaca Al-Qur’an dan Hadits serta mengajar. Pada hari senin tanggal 14 Jumadil Tsaniyyah tahun 505 H/18 Desember 1111 M, Al-Ghazali pulang kehadirat Allah dalam usia 55 tahun.
2.  Etika guru menurut al-Gazali
Menurut Al-ghazali bahwa kepribadian dan etika guru adalah seagai berikut:
1.      Kasih Sayang kepada peserta didik dan memperlakukannya sebagai anaknya sendiri.
2.      Meneladani Rasulullah sehingga jangan menuntut upah, imbalan maupun penghargaan
3.      Hendaknya tidak member predikat atau martabat pada peserta didik sebelum ia pantas dn kompeten untuk menyandangnya, dan jangan member ilmu yang samar (al-ilm al-kafy) sebelum tuntas ilmu yang jelas.(al-ilm al-jaly)
4.      Hendaknya  peserta didik dari akhlaq yang jelek(sedapat mungkin) dengan cara sindiran dan tunjuk hidung.
5.       Guru yang memegang bidang studi tertentu sebaiknya tidak menjelek-jelekan atau merendahkan bidang studi yang lain.
6.       Menyajikan pelajaran pada peserta didik sesuai dengan taraf kemampuan mereka.
7.      Dalam menghadapi pesert didik yang kurang mampu, sebaiknya diberi ilmu ilmu global yang tidak perlu menyajikan detailnya.
8.      Guru hendaknya mengamalkan ilmunya, dan jangan sampai ucapannya bertentangan dengan perbuatan.
Al-Ghazali menyatakan sebagaimana yang dikutip Abudin Nata (2000:95) bahwa guru yang diberi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal Ia dapat memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia menjadi contoh dan teladsan bagi para muridnya serta dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar dan mengarahkan anak muridnya dengan baik dan sesuai target yang diharapkan.
Seorang pendidik  harus menghias dirinya dengan akhlak yang diharuskan sebagai orang yang beragama atau sebagai mukmin. Selain itu ia juga harus bersikap zuhud dan Qona’ah. Oleh sebab itu, bagi seorang guru harus memilki etika dan persyaratan yang sesuai dengan tingkatan lapisan orang yang menuntut ilmu tersebut. Dalam hal ini, Al-Ghazali yang merupakan salah satu tokoh pemikir pendidikan islam memberi batasan-batasan tertentu tentang etika guru seperti yang dikutip oleh Abudin Nata (2001:98) sebagai berikut :
a.        Bersikap lembut dan kasih sayang kepada para pelajar
Dalam kaitan ini Al-Ghazali menilai bahwa seorang guru dibandingkan dengan orang tua anak, maka guru lebih utama dari orang tua tersebut. Menurutnya orang tua berperan sebagai penyebab adanya si anak di dunia yang sementara ini, sedangkan guru menjadi penyebab bagi keberadaan kehidupan yang kekal di akhirat. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
“sesungguhnya saya bagimu adalah seperti orang tua kepada anaknya”
(Muahammad Zuhri, 1990:171)
b.     Guru bertugas untuk mengikuti nabi sebagai pemilik syara
Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang guru tidak meminta imbalannya atas tugas mengajarnya.  Hal yang demikian karena mengikuti apa yang dilakukan Allah dan Rasul-Nya yang mengajar manusia tanpa meminta imbalan, tanpa meminta ucapan terima kasih semata-mata karena Allah. Oleh sebab itu, seorang guru harus melaksanakan tugas mengajarnya sebagaimana anugerah dan kasih sayang kepad orang yang membutuhkan atau memintanya, tanpa disertai keinginan tanpa disertai keinginan untuk mendapatkan upah.sebagai mana dikutip dalam buku Said Hawwa “Wahai kaumku aku  tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah. (Q.S Hud; 29)
c.      Jangan meninggalkan nasehat-nasehat guru
Guru diharapkan memperingatkan murid-muridnya bahwa tujuan mencari ilmu adalah mendekatkan diri kepada allah, bukan kepemimpinan, kemegahan dan perlombaan. Ia juga harus sungguh-sungguh tampil sebagai penasihat, pembimbing para pelajar  ketika para pelajar itu membutuhkannya. Untuk itu di upayakan dan diberikan kesadaran kepada seluruh murid agar jangan sampai mereka meninggalkan apa-apa yang pernah diberikan dan di ajarkan oleh guru kepada muridnya.
d.  Menanamkan hal-hal yang halus
Dalam hal ini guru berkewajiban mencegah muridnya dari akhlak yang buruk dengan cara menghindarinya sedapat mungkin. Seorang guru ketika memberikan pengajaran hendaknya memakai cara-cara yang lembut dan halus agar apa-apa yang disampaikannya dapat diserap dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk itu Al-Ghazali menyerukan agar menempuh cara m,engajar yang benar, seperti cara mengulang bukan menjelaskan, kasih sayang bukan merendahkan, karena menjelaskan akan menyebabkan tersumbatnya potensi anak dan menyebabkan timbulnya rasa bosan dan mendorong hapalannya. Dengan demikian mengajar  memerlukan keahlian yang khusus.
e.  Supaya diperhatikan tingkat akal fikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya.
Dalam hal ini Al-Ghazali melihat kebiasaan dari sebagian guru fiqih yang menjelekan guru bahasa dan sebaliknya, sebagian ulama kalam memusuhi ulama fiqih demikian seterusnya sehingga sikap saling menghina dan mencela guru lain di depan anak-anak merupakan bagian yang harus dihindari dan di jauhi oleh seorang guru. Selain itu guru juga dalam melaksanakan proses belajar mengajar hendaknya menyesuaikan dengan perkembangan dan pentahapan psikologi dan jiwanya. Hal ini agar ketika menyampaikan materi pelajaran, anak tidak merasa tidak terlalu berat dan terbebani. Ibnu masud sebagai mana diriwayatkan Muslim dalam bukunya said hawwa “tidaklah seseorang bicara dalam suatu kaum dengan suatu pembicaraan yang tidak mampu dijangkau oleh akal mereka melainkan akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka”.
f.    Jangan ditimbulkan rasa benci pada diri murid
Tugas ini memberikan pemahaman kepada murid agar tidak membenci cabang ilmu yang lain, tetapi seyogyanya dibukakan jalan bagi mereka untuk belajar cabang ilmu tersebut artinya simurid jangan terlalu fanatik. Hal ini juga bisa ditanamkan dan diberikan kesadaran bahwa semua ilmu itu berasal dari allah, dan ketika kita mempelajari satu cabang ilmu apapun itu, berarti kita sudah mempelajari hakikat kebenaran dari Allah.
g.  Guru harus kerja sama dengan murid dalam membahas dan menjelaskan
Dalam menyampaikan suatu ilmu pengetahuan, guru tidah usah menyebutkan dibalik semua ini sesuatu yang detail karena hal itu menghilangkan kesenangannya, mengacaukan hatinya dan menduga guru bersikap kikir. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa belajar sendiri memiliki pemahaman dan kecerdasannya lebih sempurna dan mampu untuk mengungkapkan apa yang disanpaikan atau datang kepadanya. Al-Ghazali mengatakan, bahwa mungkin saja terjadi seorang pelajar diberikan kecerdasan dann kesempurnaan akal oleh allah SWT sehingga ia amat cerdas dan brilian, sehingga keadaanya lebih beruntung.
h.  Guru harus mengamalkan ilmunya
Dalam hal ini guru dilarang mendustakan perkataanya karna ilmu itu diperoleh dengan pandangan hati, sedangkan pengalaman diperoleh dengan pandangan mata. Allah befirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 44 yang artinya “apakah kamu suruh orang berbuat baik dan sedangkan kamu melupakan dirimu” (Depag RI, 992:16)





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Etika adalah aturan-aturan yang disepakati bersama oleh ahli-ahli yang mengamalkan kerjanya seperti keguruan, pengobatan dan sebagainya. Guru dalam pendidikan merupakan faktor yang paling penting, seorang guru harus mempunyai etika dan sifat-sifat, diantaranya tingkah laku dan pemikirannya mendapat bimbingan dari tuhan, memiliki persiapan ilmiah, ikhlas dalam bekerja, memiliki sahsiah yang kuat dan sebagainya.
Sementara itu menurut para ahli agama seperti Ibn Jama’ah etika seorang guru dibagi kedalam tiga bagian pertama, etika guru pada dirinya sendiri seperti sifat mawwadah, zuhud,dan sebagainya. Kedua,  etika guru pada muridnya seperti niat baik pada murid, menghargai individu siswa yang lupa atau salah dan sebagainya. Ketiga,  etika guru dalam mengajar seperti persiapan mengajar dan mengetahui atauran mengajar.
Selain Ibn Jama’ah Etika guru menurut Al-Gazali adalah seperti, kasih saying kepada peserta didik, meneladani Rasulullah, tidak menjelek-jelekan ilmu lain, menyajikan pelajaran sesuai dengan taraf kemampuan murid, mengamalkan ilmunya dan sebagainya. Selain itu seorang guru harus menghias dirinya dengan akhlak yang diharuskan sebagai seorang yang beragama atau sebagai mukmin juga harus memiliki sifat zuhud dan Qanaah.













DAFTAR PUSTAKA

·         Al-Qur’an dan Terjemahnya oleh Depag R.I. 1994. Semarang: Kumudasmoro Grafindo
·         Az-Zamuji, Syaikh. 1995. Terjemah Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Mutiara ilmu.
·         hawwa, Said. 2004.Intisari Ihya Ulumudin Al-Gazali, Mensucikan Jiwa. Jakarta; Rabbani Press.
·         http://deryjamaluddin.page.tl/Etika-Guru-Menurut-Para-Ahli.html
·         Ruswandi, Uus. 2010. Pengembangan Kepribadian Guru. Bandung: CV. Insan Mandiri


0 Response to "Makalah Etika Guru"