BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan
Islam, sejak pertumbuhanya hingga sekarang telah berlangsung selama 14 abad,
yakni dimulai sejak Rasul Muhammad SAW memancangkan tonggak dakwah islamiyah
setelah beliau menerima wahyu dari allah SWT. Beliau sendiri menempatkan
dirinya sebagai sumber atau referensi pendidikan islam yang bersumber
pada al-Quran dan al-Hadits berkembang dinamis dari masa kemasa. Berbagai
pemikiran pendidikan telah dilontarkan oleh para ahli, baik oleh ahli yang berlatar
belakang muslim atau non muslim. Dalam islam yang di sebut pendidikan Islam
adalah pendidikan yang senantiasa menjadikan al-Quran dan Hadits sebagai
landasanya. Terhadap hal ini telah banyak pakar yang mengemukakan gagasanya di
bidang pendidikan islam termasuk mengenai etika guru, diantaranya yaitu Ibn
Jama’ah, Al-Ghazali
Guru
merupakan faktor terpenting dalam pendidikan. Faktor terpenting bagi seorang
guru adalah etika. Itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan
pembina yang baik bagi anak didiknya, atau akan menjadi perusak atau penghacur
bagi masa depan anak didiknya, terutama bagi anak didik yang masih kecil
(tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa
(tingkat menengah).
Tingkah
laku atau moral guru pada umumnya, merupakan penampilan lain dari
kepribadiannya. Bagi anak didik yang masih kecil, guru adalah contoh teladan
yang sangat penting dalam pertumbuhannya. Guru adalah orang pertama sesudah
orang tua, yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Kalaulah tingkah
laku atau akhlak guru yang tidak baik, pada umumnya akhlak anak didik akan
rusak, karena anak mudah terpengaruh oleh orang yang dikaguminya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan etika?
2. Bagaimana etika guru menurut Ibn Jama’ah?
3. Bagaimana etika guru menurut Al-Ghazali?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini untuk :
a. Mengetahui pengertian etika
b. Mengetahui etika guru menurut Ibn Jama’ah
c. Mengetahui etika guru menurut Al-Ghazali
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos
yang berarti karakter watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Etika adalah
aturan-aturan yang disepakati bersama oleh ahli-ahli yang mengamalkan kerjanya
seperti keguruan, pengobatan dan sebagainya. Guru dalam pendidikan merupakan
faktor yang paling penting, seorang guru harus mempunyai etika dan harus
memiliki sifat-sifat yang berikut:
1. Bahwa tujuan, tingkah laku dan pemikirannya
mendapat bimbingan Tuhan (Rabbani), seperti disebutkan oleh surat Al-imran,
ayat 79, “Tetapi jadilah kamu Rabbani (mendapat bimbingan Tuhan)”.
2. Bahwa ia mempunyai persiapan ilmiah, vokasional
dan budaya menerusi ilmu-ilmu pengkhususannya seperti geografi, ilmu-ilmu
keIslaman dan kebudayaan dunia dalam bidang pengkhususannya.
3. Bahwa ia ikhlas dalam kerja-kerja kependidikan
dan risalah Islamnya dengan tujuan mencari keredhaan Allah S.W.T dan mencari
kebenaran serta melaksanakannya.
4. Memiliki
kebolehan untuk mendekatkan maklumat-maklumat kepada pemikiran murid-murid dan
ia bersabar untuk menghadapi masalah yang timbul.
5. Bahwa ia benar dalam hal yang didakwahkannya
dan tanda kebenaran itu ialah tingkah lakunya sendiri, supaya dapat
mempengaruhi jiwa murid-muridnya dan anggota-anggota masyarakat lainnya. Seperti
makna sebuah hadith Nabi S.A.W, “Iman itu bukanlah berharap dan berhias
tetapi meyakinkan dengan hati dan membuktikan dengan amal”.
6. Bahwa ia fleksibel dalam mempelbagaikan
kaedah-kaedah pengajaran dengan menggunakan kaedah yang sesuai bagi suasana
tertentu. Ini memerlukan bahawa guru dipersiapkan dari segi professional dan
psikologikal yang baik.
7. Bahwa ia memiliki sahsiah yang kuat dan sanggup
membimbing murid-murid ke arah yang dikehendaki.
8. Bahwa ia
sedar akan pengaruh-pengaruh dan trend-trend global yang dapat mempengaruhi
generasi dan segi aqidah dan pemikiran mereka.
9. Bahawa ia bersifat adil terhadap
murid-muridnya, tidak pilih kasih, ia mengutamakan yang benar. Seperti makna
firman Allah S.W.T dalam surah al Maidah ayat ke 8,
“Janganlah
kamu terpengaruh oleh keadaan suatu kaum sehinga kamu tidak adil. Berbuat
adillah, sebab itulah yang lebih dekat kepada taqwa. Bertaqwalah kepada Allah,
sebab Allah Maha Mengetahui apa yang kamu buat”.
B. Etika
Guru Menurut Ibnu Jam’ah
1. Riwayat Hidup Ibn Jama’ah
Nama lengkap Ibn Jama’ah adalah Badruddin Muhammad ibn
Ibrahim ibn Sa’ad Allah ibn Jama’ah ibn Hazim ibn Shakhr ibn Abd Allah
al-Kinany. Ia lahir di Hamwa, Mesir, pada malam Sabtu, tanggal 4 Rabi’ul Akhir,
639 H./ 1241 M., dan wafat pada pertengahan malam akhir hari Senin, tanggal 21
Jumadil ‘Ula tahun 733 H./1333 M., dan dimakamkan di Qirafah, Mesir. Dengan
demikian usianya 64 tahun 1 bulan 1 hari. Pendidikan awal yang diperoleh Ibn
Jama’ah berasal dari ayahnya sendiri, yaitu Ibrahim Sa’ad Allah ibn Jama’ah (596-675
H.),seorang ulama besar ahli fiqih dan sufi. Selain kepada ayahnya, Ibn Jama’ah
juga berguru kepada sejumlah ulama. Ketika berada di Hammah, ia berguru kepada
Syaikh as-Syuyukh ibn Izzun, dan ketika di Damaskus, ia berguru kepada Abi
al-Yasr, Ibn Abd Allah, Ibn al-Azraq, Ibn Ilaq ad-Dimasyqi. Selanjutnya ketika
ia di Kairo, ia berguru kepada Taqy ad-Din ibn Razim, Jamal ad-Din ibn Malik,
Rasyid at-Tahar, Ibn Abi Umar, At-Taj al-Qasthalani, Al-Majd ibn Daqiq al-‘Id,
Ibn Abi Musalamah, Makki ibn ‘Illan, Isma’il al-‘Iraqi, Al-Mushthafa,
Al-Bazaraiy dan lain-lain.
Berkat didikan dan pengembaraan dalam menuntut ilmu
tersebut, Ibn Jama’ah kemudian menjadi seorang ahli hukum, ahli pendidikan,
juru dakwah, penyair, ahli tafsir, ahli hadits dan sejumlah keahlian dalam
bidang lainnya. Namun demikian Ibn Jama’ah tampak lebih menonjol dan dikenal
sebagai ahli hukum, yakni sebagai hakim. Hal ini disebabkan karena dalam
sebagian masa hidupnya dihabiskan untuk melaksanakan tugasnya sebagai hakim di
Syam dan Mesir. Sedangkan propesinya sebagai pendidik, terjadi ketika ia
bertugas mengajar di beberapa lembaga pendidikan seperti di Qimyariyah, sebuah
lembaga pendidikan yang di bangun oleh Ibn Thulun di Damasyqus dalam waktu yang
cukup lama.
Dilihat dari masa hidupnya, Ibn Jama’ah hidup pada masa
Dinasti Ayyubiyah. Dinasti Ayyubiyah dengan pimpinanya Shalahuddin Al-Ayyubi
menggantikan Dinasti Fatimiyah pada tahun 1174 M. dinasti Ayyubiyah diketahui
telah membawa angin segar bagi pertumbuhan dan perkembangan paham sunni, terutama
dalm bidang fiqh Syafi’iyah. Sedangkan pada masa Dinasti Fatimiyah yang
dikembangkan adalah paham Syi’ah. Dia mempunyai pengaruh besar tehadap
ilmu-ilmu agama dan mempunyai sejumlah pengikut serta murid-murid yang banyak
jumlahnya. Sejumlah ulama yang menjadi muridnya Ibnu Jama’ah antara lain Kammal
bin Hummam, Ibnu Quzail, Syams al-Din al-Qayati, Muhib al-Din al-Aqsara’I dan
Ibnu Hajar. Ibnu Jama’ah banyak bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat,
senang bercanda, akan tetapi tidak menyukai bergunjing meskipun bergurau.
Pada masa Ibn Jama’ah telah muncul berbagai lembaga
pendidikan. diantaranya adalah:
v Kuttab, yaitu lembaga pendidikan dasar yang
dibangun untuk memberikan kemampuan membaca dan menulis.
v Pendidikan
istana,
yaitu lembaga pendidikan yang di khususkan untuk anak-anak pejabat dan keluarga
istana. Kurikulum yang di buat tersendiri yang didasarkan pada kemampuan anak
didik dan kehendak orang tua anak.
v Kedai atau toko kitab yang fungsinya
sebagai tempat untuk menjual kitab serta tempat berdiskusi diantara pelajar.
v Rumah
para ulama,
yaitu tempat yang sengaja disediakan oleh para ulama untuk mendidik para siswa.
v Rumah sakit yang di kembangkan selain
untuk kepentingan medis juga untuk mendidik tenaga-tenaga yang akan bertugas
sebagai perawat dan juga sebagai tempat pengobatan.
v Perpustakaan yang berfungsi selain tempat menyimpan
buku-buku diperlukan juga untuk keperluan diskusi dan melakukan penelitian.
Diantara perpustakaan yang cukup besar adalah Dar al-Hikmah.
v Masjid yang berfungsi selain tempat
melakukan ibadah shalat, juga sebagai kegiatan pendidikan dan social.
Selain itu, pada masa Ibn Jama’ah juga telah berkembang
lembaga pendidikan madrasah. Menurut Michael Stanton, Madrasah yang pertama
kali didirikan adalah Madrasah Nizham al-Muluk yang didirikan oleh Wazir
Nizhamiyah pada tahun 1064 M. Sementara itu Richaerd Bulliet berpendapat bahwa
madrasah yang pertama kali dibangun adalah Madrasah Bayhaqiyah yang didirikan
oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqy pada tahun 400 H./1009 M. bahkan menurut Bullet
ada 39 Madrasah yang berkembang di Persia, Iran yang dibangun dua abad sebelum
Madrasah Nizham al-Muluk. Dengan demikian, pada masa Ibn Jama’ah lembaga
pendidikan telah berkembang pesat dan telah mengambil bentuk yang
bermacam-macam. Suasana inilah yang membantu mendorong Ibn Jama’ah menjadi
seorang ulama yang menaruh perhatian terhadap pendidikan.
2. Etika menurut Ibn Jama’ah
Ibnu Jama’ah mengklasifikasikan etika guru untuk memudahkan
pembahasan dan memperjelas aspek-aspek yang berbeda, dengan konsep yang jelas.
Beliau membagi etika guru kedalam tiga bagian yaitu etika guru pada dirinya,
etika guru pada muridnya dan etika guru dalam mengajar.
Diantara kewajiban
guru menurut Ibn Jama’ah adalah menghiasi diri dengan akhlak yang diharuskan
bagi tokoh agama dan bagi seorang mukmin. Secara umum syarat pendidikan guru
dan etika yang baik dengan dirinya, murid-muridnya dan pelajarannya.
v Karakteristik
Akhlak
Seorang guru diharuskan memiliki akhlaq yang mulia seperti
sopan, khusu, tawadhu, hudu, tunduk pada Allah SWT, dan selalu mendekatkan diri
pada-Nya secara diam-diam dan terang-terangan. Guru itu osisinya tinggi karena
tidak boleh menghadap penguasa kecuali ada alasan yang jelas, sebagai bentuk
pemuliaan pada ilmu. Salah satu bentuk yang dapat membantu guru untuk mencapai
akhlaq yang mulia adalah zuhud terhadap dunia dan qona’ah.
Zuhud dunia adalah sifat yang harus ada pada setiap guru.
Karena harus bersifat ekonomis dan menentukan skala prioritas dalam materi yang
cukup memenuhi kebutuhan diri dan keluarga saja. Ibn jama’ah berwasiat kepada
para guru untuk tidak terpengaruh oleh materi, karena guru adalah manusia
paling utama. Mereka tidak diperkenankan untuk melakukan usaha-usaha lain
diantaranya membekam, menyamak kulit, pekerjaan tukang emas lainnya. Jangan melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang subhat, yang dapat menimbulkan prasangka buruk
dimasyarakat. Semua itu dilakukan agar tidak menghancurkan kreadibilitas ilmu
dan pemiliknya.
v Karakteristik
Agama
Selain karakteristik akhlaq mulia, ibn jama’ah juga menuntut
agar guru memiliki karakteristik keagamaan, karakteristik keagamaan tersebut seperti:
1.
Melaksanakan syiar islam
2.
Melaksanakan amalan sunat baik perkataan maupun perbuatan,
seperti membaca al-qur’an dzikir dalam hati ataupun lisan, menjaga wibawa nabi
ketika diebut namanya, dia juga wajib bergaul dengan masyarakat dengan akhlaq
mulia.
Ibn jama’ah sangat anyak memberikan bentuk tanggung jawab
kepada guru dan mengarahkannya kepada aklaq yang baik. Dalam pandangannya, guru
adalah orang besar dan contoh bagi masyarakat dan murid-muridnya,. Karena itu
guru bisa bermuka ramah, menahan amarah, bisa member pengaruh, lemah lembut dan
memerintah pada yang baik.
v Karakteristik
Keahlian
Menurut ibn jama’ah aspek ideal seorang guru adalah tidak
menghilangkan aspek-aspek yang lain yang dapat membantunya untuk melaksanakan
kewajiban mengajar. Pokoknya proses mengajar tidak akan terlaksana apabila
keahliannya belum sempurna.
Dengan demikian , guru harus berusaha untuk meningkatkan
keahliannya. Guur hendaknya tidak menyia-nyiakan usianya untuk kegiatan
yang tidak berhubungan dengan ilmu kecuali untuk hal yang penting.
Terhadap aspek aturan ideal realistis yang mengarah pada guru,ibn jama’ah
memberikan tambahan bahwa seorang guru bersama murid-muridnya berusaha untuk
sampai kepada hakikat.
Sehubung dengan hal diatas, kewajiban guru secara integral
adalah mengarah dan menganalisis. Dalam pandangan ibn jama’ah seorang guru
tidak boleh meniggalkan penelitian, tidak memahami tujuan untuk dicapai.
Menurutnya juga, guru adalah orang yang aktivitasnya telah dimaklumi bahkan
seluruh aspek kehidupannya tertuju kepada ilmu dan penyebarannya serta
bermanfaat bagi diri dan murid-muridnya.
Untuk mencapai karakter ideal, seorang guru harus memiliki
etika karakter yaitu;
1)
Etika pendidik terhadap dirinya (kepribadian guru)
Ibn
Jama’ah membagi kepribadian guru menjadi dua belas macam yaitu:
Pertama, memiliki sifat mudawwamah’konsisten’ secara kontinyu bahwa
dirinya ada dibawah pengawasan Allah, baik dalam keadaan sembunyi maupun dalam
keadaan terang. Setiap gerak diamnya perkataan adalah senantiasa didasari
oleh perasaan adanya pengawasan yang ketat dari Allah. Ia juga mesti memiliki
loyalitas atas pengetahuan dan pemahaman yang dianugerahkan kepadanya.
Kedua, Memelihara kelangsungan ilmu, yakni dengan membagi ilmu
sebagai satu kemuliaan, baik secara konsep maupun secara praktis
metodologis. Imam zuhri dalam kaitan ini berpendapat bahwa perginya pengajar
dari mereka merupakan suatu kerendhan ilmu.
Ketiga, memiliki sifat zuhud dan berusaha semaksimal mungkin untuk
tidak tergantung kepada aspek material. Namun demikian jangan sampai kondisi
ini membahayakan lagi bagi dirinya. Artinya, secara manusiawi dan dalam
batas-batas kewajaran itu sah-sah saja, bahwa kemudian ia menjadi seorang
materialistis itu tidak dibenarkan.
Keempat, tidak menjadikan ilmunya sebagai katalisator bagi
pencapaian maksud-maksud duniawi, pangkat, jabatan, golongan, harta,
popularitas dan sejenisnya.
Kelima, menjauhi aktivitas yang rendah dan hina, juga hal-hal yang
makhurat, baik secara norma cultural maupun secara norma syari’ah. Seorang guru
semestinya menghindari sikap yang dapat kredibilitas dan kapabilitas sebagai
seorang guru, kalaupun pada wujudnya diperbolehkan.
Keenam, memelihara kelangsungan syiar islam sekaigus hukum
syariatnya sekaligus hokum syariatnya. Mekanisme yang dapat dilakukan yaitu
melakukan shalat berjamaah di mesjid, menebarkan salam kepada orang-orang yang
dekat maupun jauh darinya, mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah yang
munkar, sabar dalam penderitaan, menegakkan hak kepada yang kuasa,
memperjuangkan dirinya hanya untuk Allah semata serta tidak takut dicerca oleh
manusia.
Ketujuh, menjaga ibadah syariat baik secara llisan maupun perbuatan.
Mekanismenya dengan memperbanyak membaca al-Quran,dzikir, berdo’a ditengah
malam maupun siang hari, menjadikan ibadah sunah seperti saum, shalat, dan yang
lainnya.
Kedelapan, membiasakan diri dalam pergaulan dengan akhlak mulia,
seperti bermanis muka, menebarkan salam, menjamu dengan makanan, dan menahan
diri dari marah.
Kesembilan, biasakan diri dengan akhlak terpuji dan menghindari akhlak
tercela.
Kesepuluh, senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pribadi. Caranya
dengan melakukan dzikir, banyak membaca, berfikir kritis serta mampu mengambil
intisari dari setiap persoalan yang ada. Seorang guru hendaknya bersikap
efektif dan efisien dengan dengan berkonsentrasi pada aktivitas ilmu dan amal
semata, kecuali untuk hal-hal yang penting. Barangsiapa yang semakin hari tidak
bertambah kebaikannya maka ia termasuk kelompok yang merugi. Dalam keadaaan
sakit, semaksimal mungkin tidak melepaskan kebiasaan belajar dan bekerja. Hal
ini seperti yang dijelaskan bahwa “jika kamu sakit maka obatilah dengan dzikir,
atau berhenti sementara sampai sembuh.
Kesebelas, menantiasa mengambil manfaat atau hikmah dari mana
saja datangnya terhadap apa yang belum dia ketahui. Jangan membedakan
pangkat, derajat, nasab, maupun umur. Tidak ada alas an untuk menempatkan sifat
egois, yakni tidak mau belajar dari orang lain dengan alas an bahwa orang lain
itu lebih rendah atau lebih muda.
Keduabelas, menyibukan diri dengan karya nyata, dengan menjaga kode
etik keilmuan. Dengan jalan seperti itu niscaya didapatkan krmuliaan ilmu.
Jalan lain adalah melakukan penelitian secara seksama. Dalam buku pengembangan
kepribadian guru (Uus Riswandi, Badrudin, 2010) Imam Khatib al-Baghdadi
mengatakan bahwa “Kukuhlah hapalan, asahlah hati, galilah kemampuan, perbaiki
argument serta adakan memorisasi”. Dengan demikian perlu menghindari adanya
pengingkaran terhadap karya-karya lain,artinya perlu adanya kejujuran
intelektual.
2)
Etika guru pada murid-muridnya.
Dalam bentuk yang terperinci dan sistematis ibnu jamaah
mengungkapkan aturan-aturan yang mengatur hubungan antara guru dan murid dalam
belajar. Aturan-aturan tersebut bersifat idealis ilmiah yaitu:
Ø Bertujuan
mengharap ridha allah, menyebarkan ilmu dan menyebarkan syariat
Ø Tidak kalah pentingnya perlunya niat baik pada
murid, maksudnya tidak boleh mengajar siswa karena tidak ikhlas. Kewajiban guru
disini adalah berusaha untuk mendidik siswa berniat baik setahap demi setahap
Ø Memberikan
penjelasan tentang kelebihan-kelebihan ilmu dan pemiliknya serta penjelasan
tentang materi dunia adalah sarana penting untuk mendapatkan dunia
Ø Menghargai
individu siswa yang lupa atau salah tidak menyelesaikan tugas, karena guru
adalah inddividu yang mungkin saja lupa begitupun dengan murid
Ø Mempermudah
murid yang rajin dan perlakuan yang baik terhadap murid yang kurang. Guru jangn
memanggil siswa yang kurang dengan panggilan “tidak pandai” karena hal tesebut
dapat menyakiti hatinya
Ø Memahami
emosi siswahal ini penting untuk memotivasi siswa dalam perasaanya. Guru
hendaknya mengajar dengan pemahaman dan penjelasan yang sederhana tidak
berbelit-belit, agar terhidar dari kejenuhan dan pemahaman yang tidak benar.
Ø Sangsi
dan pujian
Ø Memerintahkan
siswa agar berperilaku yang lemah lembut dan tidak kasar
Ø Mengajari
siswa dengan kemampuan emosinya, menambah perkembangan emosinya, sedangkan
mengajari diluar kemampuan emosinya akan menurunkan tingkat kreativitasnya
Ø Tidak
menyibukan siswa dengan dua ilmu atau lebih
Ø Meninggalkan
ilmu yang tidakj menyenangkan siswa
Ø Memperlakukan
siswa dengan sama (adil)
Ø Pemberian
sangsi hukuman, hal ini agar menjadi peringatan kepada dirinya dan siswa yang
melihatnya.
Ø Membantu
siswa baik materi atau immateri
Ø Merendahkan
hati kepada siswa. Guru hendaknya memanggil mereka dengan panggilan yang
menyenangkan hati mereka.
3)
Etika guru dalam mengajar
Mempersiapkan diri sebelum keluar rumah, dan keluar kelas
ketika murid telah pergi. Ibn Jama’ah tidak member toleran kepada guru yang
belum siap mengajar. Memulai hal-hal yang konkrit dan berakhir dengan hal-hal
yang abstrak.
Ø Persiapan
Mengajar
Ø Aturan
Mengajar
C. Etika Guru Menurut Al-Gazali
1. Riwayat
Hidup Al-Gazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhamad bin Muhamad
Al-Ghazali di lahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasam Persia pada tahun 450 H
atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wol yang selalu memintal dan menjualnya
sendiri di kota itu. Al-Ghazali memepunyai seorang sodara, ketika akan
meninggal ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu di
asuh dan disempurnakan pendidikanya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera
melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali kedua anak itu di didik dan di sekolahkan.
Setelah harta ayah mereka habis, mereka di nasehati agar meneruskan mencari
ilmu semampunya. (Ahmad Tafsir, 2001:177)
Imam al-Ghazali kecil dikenal sebagai anak yang cerdas,
pandai dan soleh. Dia juga dikenal sebagai seorang anak pecinta ilmu
pengetahuan dan penggandrung pencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa
duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara.
Pada awal studi nya,
Al-Ghazali mengalami peristiwa menarik, yang kemudian mendorong kemajuannya
dalam pendidikan suatu hari, dalam perjalanan ketempat asalnya, Al-Ghazali
dihadang oleh segerombolan perampok. Mereka merampas semua bawaan Al-Ghazali
termasuk catatan kuliahnya. Al-Ghazali meminta kepada perampok itu agar
mengembalikan catatanya, yang baginya sangat bernilai. Kepala perampok itu
malah menertawakan dan mengejeknya, sebagai penghinaan terhadap Al-Ghazali yang
ilmunya hanya tergantung kepada beberapa helai kertas saja. Tanggapan
Al-Ghazali terhadap peristiwa itu sangat positif. Ejekan itu digunakan untuk
mencabuk dirinya dan menjamkan ingatannya dengan menghapal semua catatan
kuliahnya (Abidin Ibnu Rusn,1998:10)
Pada masa kecilnya Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh
dinegerinya sendiri pada Ahmad bin Muhamad Ar-ridzkani kemudian kepada Abi
Nashr Al –Ismail di Jurjani. Setelah mempelajari ilmu di negeri tersebut
berangkatlah Al-Ghazali ke naisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama
kenamaan di masanya, yaitu al-juwaini imam al-haramain. Dari beliau ini
dia belajar ilmu kalam, ushul fiqh dan ilmu pengetahuan yang lainnya.
Setelah menamatkan studi di Thus dan jurjan, Al-Ghazali
melanjutkan dan meningkatkan pendidikannya di naisabur, dan ia bermukim disana.
Tidak beberapa lama mulailah mengaji kepada Al-juainy, salah seorang pemuka
agama yang terkenal dengan sebutan imamul Haramain. Kepadanya beliau belajar
ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat.
Tetapi akhirnya peristiwa itu mengharuskannya
melangkah lebih jauh, ditinggalah Naisabur menuju Mu’asakar, suatu tempat atau
lapangan luas yang disana di dirikan barak-barak militer Nidhamul Muluk perdana
mentri saljuk tempat itu juga sering di gunakan untuk berkumpul para ulama
ternama.kemudian pada tahun 1091 M/484 H beliau diangkat menjadi dosen
pada Universitas Nidhamiyah, Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat pada
usia 34 tahun ia diangkat menjadi pemimpin (rektor)Universitas tersebut. Hanya
empat tahun beliau menjadi rektor, setelah itu ia mengalami krisis
rohani, krisis keraguan yang meliputi aqidah dan semua jenis ma’rifat. Secara
diam-diam beliau meninggalkan Baghdad menuju syam untuk menjalankan zuhud
disana.
Setelah hampir dua tahun, Al-Ghazali menjadi hamba Allah
yang betul-betul meampu mengendalikan gejolak hawa nafsunya. Ia menghabiskan
waktu untuk berkhalwat, ibadah, dan i’tikaf di sebuah mesjid di Damaskus
berdzikir sepanjang hari. Untuk melanjutkan taqarubnya kepada Allah,
beliau pindah keBaitul Maqdis, dari sinilah ia bergerak hatinya untuk memnuhi
panggilan Allah menjalankan ibadah haji, setelah itu ia menuju hijaz.
Setelah melanglang buana selama sepuluh tahun, atas desakan
Pakhrul Muluk, Al-Ghazali kembalai ke Naisabur untuk melanjutkan kegiatannya
mengajar di Universitas Nidhamiyah, sekarang ia tamoil sebagai tokoh pendidikan
yang betul-betul mewarisi dan mempraktekan ajaran Rasulullah Saw. Fakhrul Muluk
merasa gembira atas kembalinya Al-Ghazali mengajar di Universitas di kota itu.
Tidak diketahui
secara pasti berapa lama Al-Ghazali memberikan kuliah di Nidhamiyah, setelah
sembuh dari krisis rohani. Tidak lama setelah Fakhrul Muluk mati terbunuh pada
tahun 500 H/ 1107 M, Al-Ghazali kembali ketempat asalnya di Thus, Ia
menghabiskan umurnya untuk membaca Al-Qur’an dan Hadits serta mengajar. Pada
hari senin tanggal 14 Jumadil Tsaniyyah tahun 505 H/18 Desember 1111 M,
Al-Ghazali pulang kehadirat Allah dalam usia 55 tahun.
2. Etika guru menurut al-Gazali
Menurut Al-ghazali bahwa
kepribadian dan etika guru adalah seagai berikut:
1. Kasih
Sayang kepada peserta didik dan memperlakukannya sebagai anaknya sendiri.
2. Meneladani
Rasulullah sehingga jangan menuntut upah, imbalan maupun penghargaan
3. Hendaknya
tidak member predikat atau martabat pada peserta didik sebelum ia pantas dn
kompeten untuk menyandangnya, dan jangan member ilmu yang samar (al-ilm
al-kafy) sebelum tuntas ilmu yang jelas.(al-ilm al-jaly)
4. Hendaknya
peserta didik dari akhlaq yang jelek(sedapat mungkin) dengan cara sindiran dan
tunjuk hidung.
5. Guru yang memegang bidang studi tertentu
sebaiknya tidak menjelek-jelekan atau merendahkan bidang studi yang lain.
6. Menyajikan pelajaran pada peserta didik sesuai
dengan taraf kemampuan mereka.
7. Dalam
menghadapi pesert didik yang kurang mampu, sebaiknya diberi ilmu ilmu global
yang tidak perlu menyajikan detailnya.
8. Guru
hendaknya mengamalkan ilmunya, dan jangan sampai ucapannya bertentangan dengan perbuatan.
Al-Ghazali menyatakan sebagaimana yang dikutip Abudin Nata
(2000:95) bahwa guru yang diberi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas
dan sempurna akalnya, juga yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan
kesempurnaan akal Ia dapat memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam, dan
dengan akhlaknya yang baik ia menjadi contoh dan teladsan bagi para muridnya
serta dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar dan mengarahkan
anak muridnya dengan baik dan sesuai target yang diharapkan.
Seorang pendidik harus menghias dirinya dengan akhlak
yang diharuskan sebagai orang yang beragama atau sebagai mukmin. Selain itu ia
juga harus bersikap zuhud dan Qona’ah. Oleh sebab itu, bagi seorang guru harus
memilki etika dan persyaratan yang sesuai dengan tingkatan lapisan orang yang
menuntut ilmu tersebut. Dalam hal ini, Al-Ghazali yang merupakan salah satu
tokoh pemikir pendidikan islam memberi batasan-batasan tertentu tentang etika
guru seperti yang dikutip oleh Abudin Nata (2001:98) sebagai berikut :
a.
Bersikap lembut dan
kasih sayang kepada para pelajar
Dalam kaitan ini Al-Ghazali menilai bahwa seorang guru
dibandingkan dengan orang tua anak, maka guru lebih utama dari orang tua
tersebut. Menurutnya orang tua berperan sebagai penyebab adanya si anak di
dunia yang sementara ini, sedangkan guru menjadi penyebab bagi keberadaan
kehidupan yang kekal di akhirat. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
“sesungguhnya saya bagimu adalah seperti orang tua kepada
anaknya”
(Muahammad Zuhri, 1990:171)
b. Guru bertugas untuk mengikuti
nabi sebagai pemilik syara
Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang guru tidak meminta
imbalannya atas tugas mengajarnya. Hal yang demikian karena mengikuti apa
yang dilakukan Allah dan Rasul-Nya yang mengajar manusia tanpa meminta imbalan,
tanpa meminta ucapan terima kasih semata-mata karena Allah. Oleh sebab itu,
seorang guru harus melaksanakan tugas mengajarnya sebagaimana anugerah dan
kasih sayang kepad orang yang membutuhkan atau memintanya, tanpa disertai keinginan
tanpa disertai keinginan untuk mendapatkan upah.sebagai mana dikutip dalam buku
Said Hawwa “Wahai kaumku aku tiada
meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah
dari Allah. (Q.S Hud; 29)
c. Jangan meninggalkan nasehat-nasehat
guru
Guru diharapkan memperingatkan murid-muridnya bahwa tujuan
mencari ilmu adalah mendekatkan diri kepada allah, bukan kepemimpinan,
kemegahan dan perlombaan. Ia juga harus sungguh-sungguh tampil sebagai
penasihat, pembimbing para pelajar ketika para pelajar itu
membutuhkannya. Untuk itu di upayakan dan diberikan kesadaran kepada seluruh
murid agar jangan sampai mereka meninggalkan apa-apa yang pernah diberikan dan
di ajarkan oleh guru kepada muridnya.
d. Menanamkan hal-hal yang halus
Dalam hal ini guru berkewajiban mencegah muridnya dari
akhlak yang buruk dengan cara menghindarinya sedapat mungkin. Seorang guru
ketika memberikan pengajaran hendaknya memakai cara-cara yang lembut dan halus
agar apa-apa yang disampaikannya dapat diserap dan diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Untuk itu Al-Ghazali menyerukan agar menempuh cara m,engajar
yang benar, seperti cara mengulang bukan menjelaskan, kasih sayang bukan
merendahkan, karena menjelaskan akan menyebabkan tersumbatnya potensi anak dan
menyebabkan timbulnya rasa bosan dan mendorong hapalannya. Dengan demikian
mengajar memerlukan keahlian yang khusus.
e. Supaya diperhatikan tingkat akal fikiran
anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya.
Dalam hal ini Al-Ghazali melihat kebiasaan dari sebagian
guru fiqih yang menjelekan guru bahasa dan sebaliknya, sebagian ulama kalam
memusuhi ulama fiqih demikian seterusnya sehingga sikap saling menghina dan
mencela guru lain di depan anak-anak merupakan bagian yang harus dihindari dan
di jauhi oleh seorang guru. Selain itu guru juga dalam melaksanakan proses
belajar mengajar hendaknya menyesuaikan dengan perkembangan dan pentahapan
psikologi dan jiwanya. Hal ini agar ketika menyampaikan materi pelajaran, anak
tidak merasa tidak terlalu berat dan terbebani. Ibnu masud sebagai mana
diriwayatkan Muslim dalam bukunya said hawwa “tidaklah seseorang bicara dalam
suatu kaum dengan suatu pembicaraan yang tidak mampu dijangkau oleh akal mereka
melainkan akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka”.
f. Jangan ditimbulkan rasa benci pada diri
murid
Tugas ini memberikan pemahaman kepada murid agar tidak
membenci cabang ilmu yang lain, tetapi seyogyanya dibukakan jalan bagi mereka
untuk belajar cabang ilmu tersebut artinya simurid jangan terlalu fanatik. Hal
ini juga bisa ditanamkan dan diberikan kesadaran bahwa semua ilmu itu berasal
dari allah, dan ketika kita mempelajari satu cabang ilmu apapun itu, berarti
kita sudah mempelajari hakikat kebenaran dari Allah.
g. Guru harus kerja sama dengan murid dalam membahas
dan menjelaskan
Dalam menyampaikan suatu ilmu pengetahuan, guru tidah usah
menyebutkan dibalik semua ini sesuatu yang detail karena hal itu menghilangkan
kesenangannya, mengacaukan hatinya dan menduga guru bersikap kikir. Hal ini
didasarkan pada pemikiran bahwa belajar sendiri memiliki pemahaman dan
kecerdasannya lebih sempurna dan mampu untuk mengungkapkan apa yang disanpaikan
atau datang kepadanya. Al-Ghazali mengatakan, bahwa mungkin saja terjadi
seorang pelajar diberikan kecerdasan dann kesempurnaan akal oleh allah SWT
sehingga ia amat cerdas dan brilian, sehingga keadaanya lebih beruntung.
h. Guru harus mengamalkan ilmunya
Dalam hal ini guru dilarang mendustakan perkataanya karna
ilmu itu diperoleh dengan pandangan hati, sedangkan pengalaman diperoleh dengan
pandangan mata. Allah befirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 44 yang artinya “apakah
kamu suruh orang berbuat baik dan sedangkan kamu melupakan dirimu” (Depag
RI, 992:16)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Etika adalah aturan-aturan yang disepakati bersama oleh
ahli-ahli yang mengamalkan kerjanya seperti keguruan, pengobatan dan
sebagainya. Guru dalam pendidikan merupakan faktor yang paling penting, seorang
guru harus mempunyai etika dan sifat-sifat, diantaranya tingkah laku dan
pemikirannya mendapat bimbingan dari tuhan, memiliki persiapan ilmiah, ikhlas
dalam bekerja, memiliki sahsiah yang kuat dan sebagainya.
Sementara itu menurut para ahli agama seperti Ibn Jama’ah
etika seorang guru dibagi kedalam tiga bagian pertama, etika guru pada dirinya
sendiri seperti sifat mawwadah, zuhud,dan sebagainya. Kedua, etika guru pada muridnya seperti niat baik
pada murid, menghargai individu siswa yang lupa atau salah dan sebagainya.
Ketiga, etika guru dalam mengajar
seperti persiapan mengajar dan mengetahui atauran mengajar.
Selain Ibn Jama’ah Etika guru menurut Al-Gazali adalah
seperti, kasih saying kepada peserta didik, meneladani Rasulullah, tidak
menjelek-jelekan ilmu lain, menyajikan pelajaran sesuai dengan taraf kemampuan
murid, mengamalkan ilmunya dan sebagainya. Selain itu seorang guru harus
menghias dirinya dengan akhlak yang diharuskan sebagai seorang yang beragama
atau sebagai mukmin juga harus memiliki sifat zuhud dan Qanaah.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Al-Qur’an dan Terjemahnya oleh Depag R.I. 1994. Semarang:
Kumudasmoro Grafindo
·
Az-Zamuji, Syaikh. 1995. Terjemah Ta’lim Muta’alim. Surabaya:
Mutiara ilmu.
·
hawwa, Said. 2004.Intisari
Ihya Ulumudin Al-Gazali, Mensucikan Jiwa. Jakarta; Rabbani Press.
·
http://deryjamaluddin.page.tl/Etika-Guru-Menurut-Para-Ahli.html
·
Ruswandi, Uus. 2010. Pengembangan Kepribadian Guru.
Bandung: CV. Insan Mandiri
0 Response to "Makalah Etika Guru"
Post a Comment