Makalah Filsafat Islam Al Farabi

BAB I
PENADAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Ia dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara. Setelah mendapat pendidikan awal, Al-farabi belajar logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna ibn Hailan. Pada masa kekhalifahan Al-Muta'did tahun 892-902M, Al-farabi dan Yuhanna ibn Hailan pergi ke Baghdad dan Al-farabi unggul dalam ilmu logika. Al-Farabi selanjutnya banyak memberi sumbangsihnya dalam penempaan filsafat baru dalam bahasa Arab. Pada kekahlifahan Al-Muktafi tahun 902-908M dan awal kekhalifahan Al-Muqtadir pada tahun 908-932M Al-farabi dan Ibn Hailan meninggalkan Baghdad menuju Harran. Dari Baghdad Al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama delapan tahun serta mempelajari seluruh silabus filsafat.
Al-Farabi dikenal sebagai "guru kedua" setelah Aristoteles. Dia adalah filosof islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam

B.     RUMUSAN MASALAH
Penulisan makalah ini mempunyai sebuah rumusan masalah, dan rumusan masalah itu diantaranya :
1.      Bagaiman riwayat hidup Al-Farabi ?
2.      Apa saja karya-karya Al-Farabi ?
3.      Bagaimana filsafat dari Al-Farabi ?
4.      Bagaimana filsafat ketuhanan menurut Al-Farabi ?
5.      Bagaiman filsafat kenabian menurut Al-Farabi ?
6.      Bagaimana tasawuf Al-Farabi ?
7.      Bagaimana filsafat politik dan kenegaraan Al-Farabi ?
8.      Bagaimana filsafat praktis ?
9.      Bagaimana logika dan filsafat bahasa Al-Farabi ?
10.  Bagaimana pengaruh pemikiran Al-Farabi terhadap filosof sesudahnya ?

C.    TUJUAN PENULISAN
penulisan makalah ini mempunya tujuan, dan tujuan itu diantaranya:
1.         Mengetahui riwayat hidup Al-Farabi
2.         Mengetahui  karya-karya Al-Farabi
3.         Mengetahui filsafat dari Al-Farabi
4.         Mengetahui filsafat ketuhanan menurut Al-Farabi
5.         Mengetahui filsafat kenabian menurut Al-Farabi
6.         Mengetahui tasawuf Al-Farabi
7.         mengetahui filsafat politik dan kenegaraan Al-Farabi
8.         mengetahui filsafat praktis
9.         mengetahui logika dan filsafat bahasa Al-Farabi
10.     mengetahui pengaruh pemikiran Al-Farabi terhadap filosog sesuadahnya.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    RIWAYAT HIDUP AL-FARABI
Al-Farabi mempunyai  nama lain yaitu Abi Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorban Al-Farabi, ia dilahirkan di desa wasij, Kota Farab ( Transoxania) pada tahun 257 H (870 M). Beliau adalah seorang muslim keturunan Persia, ayahnya Muhammad Auzlaghadalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudian menetap di Damsyik dan Ibunya berasal dari Turki (Sidik, 1984:89). Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah, disinalah Al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. sejak kecil Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan yang luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya, anatara lain bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Munawir Sjadzli mengatakan bahwa Al-Farabi dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; tetapi yang dia kuasai dengan aktif, hanya empat bahasa: Arab, Persia, Turki dan Kurdi[1]. Pada masa awal pendidikannya ini, Al-Farabibelajar Al-Qur’an, Tata-bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama ( fiqih, Tasir dan Ilmu Hadits) dan Aritmatika dasar.
Pada masa inilah Al-Farabi pindah ke  Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqhdan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada masa inilah Al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat persia. Juga di Bukhara inilah Al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran Al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kita al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad Ibn al-Qasim, Wazir Khalifah Al-Rhadi tahun 936 M [2].
Sebelum dia tenggelam serius dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu dia menjadi seorang qhadi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, Al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama Al-Farabi adalah Yuhanna Ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, Al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajarai seorang muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Pada waktu mudanya, Al-Farabi pernah belajar bahasa dan sastra Arab di Bagdad kepada Abu Bakar As-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus seorang filosof Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, memiliki reputasi tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian.
Setelah itu ia pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil, dan berguru kepada Yuhana Ibn Jilad.  tetapi tidak lama kemudian ia meninngalkan kota itu dan kembali ke Bagdad untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika), dan di Bagdad ia menetap selama 20 tahun. Selama waktu itu ia memakai waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku silsafat. Muridnya yang terkenal pada masa ini antara lain ialah Yahya bin Adi, filsuf Kristen [3].
Pada tahun 330 H (941 M) ia pindah ke Damaskus, dan berkenalan dengan Saif Ad-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan do Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang besar sekali, dan Al-Farabi mendapat perlindungan. Tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik pada kemewahan dan kekayaan. Ia hanya menerluka empat dirham saja sehari untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya, sisa tunjangan jabatan yang diterimanya, dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di Allepo dan Damaskus.
Hal yang menggembirakan dari ditempatkannya Al-Farabi di Damaskus adalah Al-Farabi bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqh, dan kaum cendikiawan lainnya. Lebih kurang 10 tahun, Al-Faribi tinggal di Allepo dan Damaskus secara berpindah-pindah akibat hubungan penguasa ini semakin memburuk, sehingga Saif Ad-Daulah menyerbu kota Damaskus yang kemudian berhasil menguasainya. Dalam penyerbuan ini Al-Farabi diikutsertakan. Pada bulan Desember 950 M (339 H) , Al-farabi meninggal dnia di damaskus dalam Usia 80 tahun [4].
Al-Farabi, hampir sepanjang hidupnya terbenam dalam dunia ilmu, sehngga tidak dekat denga penguasa-penguasa Abbasiyah pada waktu itu. Saking gemarnya Al-Farabi dengan dunia ilmu dan kegemarannya dalam membaca dan menulis, ia sering membaca dan menulis di bawah sinar lampu penjaga malam.
Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya denga  sempurna. Sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina (370 H/980 M – 428 H/1037 M) dan Ibnu Rusyd (520 H/1126 M – 595 H /1198 M) banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Pandangannya yang demikian mengenai filsafat, terbukiti dengan usahanya untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles lewat risalahnya Al-Jam’u baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun Wa Aristhu.
Pada abad pertengahan, Al-Farabi sangat dikenal sehingga orang-orang Yahudi banyak yang mempelajari karangan-karangan/risalah-risalahnya yang disalin ke dalam bahasa Ibrani. Sampai sekarang, salinan tersebut masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa.
Al-Farabi hidup pada zaman ketika situasi politik dan kekuasaan Abbasiyah di guncang oleh berbagai gejolak, pertetangan, dan pemberontakan. Al-Farabi lahir pada masa pemerintahan Al-Mu’taaddid (870-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Muti. Suatu periode paling kacau dan tidak ada stabilitas politik sama sekali. Pada waktu itu, timbul banyak macam tantangan, bahkan pemberontakan terhadap kekuasaan Abbasiyah dengan berbagai motiv : Agama, kesukuan, dan kebendaan.
Diperkirakan erat kaitannya dengan situasi politik yang demikian kusruh, Al-Farabi menjadi gemar berkhalwat , menyendiri dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal [5]
B.     KARYA AL-FARABI
Al-Farabi yang dikenal sebagai filosof Islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqh, dan manthiq. Oleh karena itu, banyak karya yang ditinggalakan Al-Farabi, namun karya tersebut tidak banyak diketahui seperti karya Ibnu Sina. Hal ini karena karya-karya Al-Farabi hanya berupa risalah-risalah (Karangan Pendek) dan sedik sekali yang berupa buku besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karyanya telah hilang, dan yang  masih dapat dibaca dan dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita maupun yang tidak, kurung lebih 30 judul saja.

Diantara judul karyanya yang terpenting adalah sebagai berikut :
1.                  Al-Jam’uBainaRa’yay Al-HakimainiAflathun Al-IlahiWaAristhu
2.                  SyarahRisalahZainun Al-Kabir Al-Yunani
3.                  Al-Ta’liqat
4.                  RisalahFimaYajibuMa’rifatQablaTa’allumi Al-Falsafah
5.                  KitabTahsil Al-Sa’adah
6.                  Risalah Fi Isbat Al-Mufaraqah
7.                  ‘Uyun Al-Masa’il
8.                  Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah
9.                  Ihsha Al-‘UlumWaTa’rif Bi Aghradhiha
10.              Maqalah Fi Ma’ani Al-‘Aql
11.              Fushul Al-Hukm
12.              Risalah Al-‘Aql
13.              Al-Siyasah Al-Madaniyah
14.              Al-Masa ‘il Al-FalsafiyahWa Al-Ajwibah ‘Anha
15.              Al-Ibanah ‘An Ghardhi Aristo Fi Kitabi Ma Ba’da Al-Thabi’ah
16.              Al-Tanbih ‘AlaSabil Al-Sa’adah


Dari kitab-kitab di atas dengan berbagai macam objek kajian yang ditulis Al-Farabi, terlihat dengan jelas bahwa AL-Farabi adalah sosok filosof, ilmuan, dan cendikiawan, kaliber dunia yang ilmunya sangat luas dan mendalam. Massignon, ahli ketimuran Prancis mengatakan bahwa Al-Farabi adalah seorang filsof Islam yang pertama. Sebelum dia, Al-Kindi telah membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam. Akan tetapi, Al-Kindi tidak menciptakan sistem filsafat tertentu dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang memuaskan. Sebaliknya, Al-Faribi telah menciptakan suatu sistem filsafat yang lengkap seperti peranan yang dimiliki Plotinus bagi dunia barat.

C.    FILSAFAT AL-FARABI
Al-Farabi dalam karyanya Tahshil As-Sa’adad menyebutkan, “Untuk menjadi filsuf yang betul-betul sempurna, seseorang harus memiliki ilmu-ilmu teoritis dan daya untuk menggali ilmu-ilmu itu demi kemanfaatan orang lain sesuai dengan kapasitas mereka” (Al-Farabi [1981b]: 89; [1969a]:43). Al-Farabi mengikuti pluto, berpendirian bahwa seorang filsuf sejatinya dibebani tugas untuk mengkomunikasikan filsafat mereka kepada orang lain, dan bahwa tugas ini sangat penting untuk memenuhi cita ideal filsafat[6]. Dari sini dapat disimpulkan bahwa seni retorika, puisi dan dialetiktika, sepanjang mereka menjadi sarana penting untuk berkomunikasi dengan masyarakat manusia, merupakan bagian integral filsafat dan pelengkap yang diperlukan bagi ilmu demonstratif.
Atas dasar itu, Al-Farabi mendefinisikan filsafat sebagai Al Ilmu bilmaujadaat bima Hiya Al Maujadaat, yang berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Berdasarkan lapangannya Al-Farabi membagi filsafat menjadi dua bagian.
1.             Al-falsafahan-nadoriyah (filsafat teori), yaitu mengetahui sesuatu yang ada, dimana seseorang tidak bisa (tidak perlu) mewujudkannya dalam perbuatan. Bagian ini meliputi matematika, ilmu fisika dan metafisika. Masing-masing dari ilmu tersebut mempunyai bagian-bagian lagi yang hanya perlu diketahui saja.
2.             Al-falsafah al-‘amaliyah (filsafat amalan), yaitu mengetahui sesuatu yang seharusnya diwujudkan dalam perbuatan dan menimbulkan kekuatan untuk mengerjakan bagian-bagian yang baik. Bagian amalan ini ada kalanya berhubungan dengan perbuatan-perbuatan baik yang seharusnya dikerjakan oleh tiap-tiap orang, yaitu yang yang dinamakan ilmu akhlak (etika), adakalanya berhubungan dengan perbuatan-perbuatan baik yang seharusnya dikerjakan oleh penduduk negeri, yaitu yang disebut al-falsafah al-madaniyah (filsafat politik).
Tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat, menurut Al-Farabi, ialah mengerahui Tuhan bahwa ia Esa dan tidak bergerak, bahwa ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan dan keadilannya. Wujud selain Tuhan yaitu makhluk adalah wujud yang tidak sempurna. Oleh karena itu, pengetahuan tentang banyak makhluk adalah pengetahuan yang tidak sempurna. Al-Farabi mengatakan bahwa filsafat hanya bisa tercapai dengan kepandaian membedakan yakni antara benar dan salah, dan kepandaian ini hanya bisa tercapai dengan kekuatan pikiran dalam mengetahui kebenran.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam pada hakikatnya hanya satu, yaitu sama-sama memikirkan kebenaran, sedangkan kebenaran itu hanya satu macam dan serupa pada hakikatnya. Al-Farabi berhasil meletakan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Menurutnya, para filosof muslim meyakini Al-Quran dan hadits adalah hak dan benar dan filsafat juga adalah benar. Ia menegaskan bahwa antara keduanya tidaklah bertentangan, bahkan mesti cocok dan serasi karena sumber keduanya sama-sama dari akal aktif, hanya berbeada cara memperolehnya. Bagi filosof perantaranya melalui akal, sedangkan dalam agama perantaranya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi-Nabi[7].
Memahami atas pemikiran Al-Farabi di atas, seolah-olah filsafatnya adalah perpaduan dari filsafat Aristoteles dan Plato. Dalam ilmu logika dan fisika, ia sependapat atau dipengaruhi oleh Aristoteles, dalam ilmu akhlak dan politik ia sependapat atau dipengaruhi oleh Plato sedangkan dalam persoalan metafisika, ia dipengaruhi oleh Plotinus[8].
Melalui pikirannya Al-Farabi, pada kenyataannya mencoba memperkuat inti ajaran islam, yaitu tauhid. Teori emanasi yang dikembangkan oleh Al-Farabi, meskipun dianggap tidak sesuai dengan teori cosmology, adalah upaya untuk menyatukan agama dan filsafat. Mengenai akal itu esa, Al-Farabi berpendapat bahwa akal berisi hanya satu pikiran yang memikirkan akan dirinya sendiri. Jadi akal Tuhan adalah aqil (berpikir) dan ma’qul (dipikirkan), melalui Ta’qul, Tuhan dapat mulai ciptaan-Nya. Proses emanasi itu adalah Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbullah suatu wujud baru atau akal baru yang disebut oleh Al-Farabi dengan sebutan Al-Aqlul Awwal (akal yang pertama).
Dengan demikian, akal dalam pandangan Al-Farabi ada tiga jenis.
1.      Allah sebagai akal.
2.      Akal-akal dalam filsafat emanasi : satu samapai sepuluh.
3.      Akal yang terdapat pada diri manusia.

1.      FILSAFAT KETUHANAN AL-FARABI
a.       Pemikiran Tentang Tuhan
Al-Farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengkompromikan anatara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal (wujud pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Bentuk filsafat neo-Platonisme sendiri praktis telah melaksanakan penyatuan filsafat plato dan Aristoteles dalam dirinya. Konsep Al-Farabi ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran Islam. Dalam membuktikan adanya Allah Al-Farabi mengemukakan dalilWajibul al-Wujud dan Mumkin al-Wujud ( De Boar, 1954:162).
Dengan demikian Al-Farabi membagi wujud kepada dua bagian, yaitu:
v  Wujud yang nyata dalam sendirinya (Wajibul-wujud li dzatihi).
Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya. Esensinya adalah wujud yang sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya. Ia ada selamanya, wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemuslihatan sama sekali. Ia adalah sebab pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).
v  Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya
 (wajibul-wujud lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Atau dengan perkataan lain cahaya adalah wujud yang mumkin, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata (wajib)karena matahari.
                               Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebabyang pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyatadan yang pertama kali ada. Bagaimanapun juga panjangnyarangkaian wujud yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena sesuatu yang mumkin tidak bisa memberi wujud kepada dirinya sendiri[9].
Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa sesuatu sebab, kalu ada sebab bagi-Nya, maka adanya Tuhan tidak sempurna tidak lagi, berarti adanya Tuhan bergantung pada sebab yang lain. Ia wujud yang paling dahulu dan paling mulia, yang tidak berawal dan tidak berakhir, sebagai sebab pertama berarti Tuhan tidak ada yang mengawali dan tidak memerlukan yang lain. Wujud-Tuhan adalah Zat yang paling azali dan yang selalu ada. Wujud-Nya tidak terdiri dar Matter (benda) dan from (bentuk/surah), yaitu dua bagian pada makhluk. Karena kesempurnaan itu, maka tidak ada sesuatu yang sempurna yang terdapat pada selain-Nya.
Tuhan itu Maha Esa, tidak terbatas dalam segala sesuatunya, bila ada hal-hal yang membatasi berarti Tuhan tidak Esa lagi. Maka Tuhan tidak dapat dirumuskan sama sekali denagn batasan yang akan memberikan pengertian pada manusia, sebab suatu batasan berarti suatu  penyusunan yang akan menggunakan golongan dan pembedaan atau digunakan pengertian zat dan bentuk, seperti memberi definisi kepada sesuatu benda atau barang.
b.      Sifat Tuhan
Dalam metafisikanya tentang ketuhanan Al-Farabi hendak menunjukkan keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya. Juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan zat (substansi) Tuhan. Sifat Tuhan tidak berbeda dari zat-Nya. Karena Tuhan adalah tunggal. Juga zat Tuhan menjadi obyek pemikiran sendri (ma’qul), karena yang mengahalang-halangi sesuatu untuk menjadi obyek pemikiran ialah benda itu pula. Jadi ia adalah obyek pemikiran, karena ia adalah akal pikiran. Ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain untuk memikirkan Zat-Nya sendiri tetapi cukup dengan Zat-Nya itu sendiri pula untuk menjadi obyek pikiran[10].
Tuhan juga adalah Zat yang MahaMengetahui (‘alim) tanpa memerlukansesuatu yang lain untuk dapat mengetahui. Jadi Tuhan cukup dengan zat-Nya sendiri untuk mengetahui dan diketahui. Ilmu (pengetahuan) Tuhan terhadap diri-Nya tidak lain hanyalah zatnya sendiri juga. Dengan demikian, maka ilmu dan zat yang mempunyai ilmu adalah satu juga.
Jadi menurut Al-farabi tidak ada perbedaan antara sifat Tuhan dengan zat (substansi) Tuhan, sifat Tuhan yang berarti juga substansi Tuhan. Tuhan sendiri sebenarnya akal, sebab segala sesuatu yang tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Begitu pula denga wujud yang pertama (Tuhan). Zat (substansi) Tuhan yang satu itu adalah akal (pikiran). Akal adalah zat (substansi) yang berfikir, tetapi sekaligus juga menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri.
c.       Pembuktian Adanya Tuhan
Dalam membuktikan adanya Tuhan ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dalil ontologi, dalil teologi dan kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut(ontologi, teologi dan kosmologi) untuk samapai kepada kesimpulan adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh para pemikir Islam. Diantar dalil yang banyak dipakai adalah dalil ciptaan atau dalil kosmologi menurut istilah metofisika.
Dalil kosmologi melihat alam sebagai makhluk suatu akibat yang terakhir dalam rangkaian sebab akibat. Pada akhirnya hubungan sebab akibat akan berhenti pada satu sebab pertama, karena pada dasarnya kita tidak dapat memikirkan adanya rentetan sebab akibat yang tidak berkesudahan (berkeputusan). Al-Farabi dalam membuktikan adanya Tuhan menggunakan dalil penciptaan ini.
Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan, pertama asda sebagai kemungkinan disebut wujud yang mungkin, kedua ada sebagai keharusan disebut dengan wujud yang wajib. Dalam keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh ada yang lain, dan keadaan yang kedua adanya tanpa sesuatu yang lain ada dengan sendirinya dan sebagai keharusan.
Pembuktian dengan dalil kosmologi seperti yang dilakukan oleh Al-Farabi termasuk dalil yang sederhana mudah dimengerti, tetapi kelemahan dalil ini berpangkal dari suatu keyakianan yang mengharuskan adanya Tuhan[11].

2.      FILSAFAT KENABIAN AL-FARABI
Pada awal kedatangan Islam, kaum muslimin mempercayai penuh apa yang datang dari Tuhan, tanpa membahas atau mencari-cari alasannya. Keadaan ini tidak lama kemudian dikeruhkan oleh berbagai keraguan, akibatnya golongan-golongan luar Islam dapat memasukan pikirannya dikalangan kaum muslimin, seperti golongan Mazdak dan Manu dari Iran, golongan Summiyyah. Sejak saat itu setiap dasar-dasar Agama Islamdibahas dan dikritik. Ibn Ar-Rawandi dan Abubakar Ar Razi tokoh Yahudi mengkritik dan mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad saw khususnya.
Kritiknya dapat dideskripsikan sebagai berikut :
a.    Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia, karena Tuhan telah mengaruniakan akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nyadan dapat pula mengetahui perbuatan baikm dan buruk.
b.    Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya thawaf di Ka’bah, dan sa’i di Bukit Shafa dan Marwah dengan tempat-tempat lain.
c.    Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia.
d.   Al-Qur’an bukanlah Mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (Al-khawariqal-adat). Orang yang non Arab jelas saja heran dengan balaghah Al-Quran, karena mereka tidak kenal dan memgerti Bahsa Arab dan Muhammad adalah kabilah yang paling fasahah dikalangan orang Arab.
Dalam suasana yang demikian, Al-Farabi merasa terpanggil untuk menjawab tantangan tersebut. Karena kenabian adalah asa sentral dalam agama, apabila ia telah batal, maka akibatnya membawa kebatalan pada agama itu sendiri.
Nabi adalah pilihan Allah dan komunikasinya denga Allah bukan melalui akal mustafad (perolehan), tetapi melalui akal dalam derajat materiil. Seorang nabi dianugrahi Allah akal yang mempunyai daya tangkap yang luar biasa sehingga tanpa latihan dapat mengadakan komunikasi langsung dengan akal kesepuluh (jibril). Akal ini mempunyai kekuatan suci (qudsiyyat) dan diberi nama hads. Tidak ada akal yang lebih kuat dari pada itu dan hanya nabi-nabi yang memperoleh akal seperti itu.
Dari sisi pengetahuan dan sumbernya, anatara filosof dan nabi terdapat kesamaan. Oleh karena itu, Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan denga pengetahuan filsafat sebab anatara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni akal fa’al (jibril). Demikian pula tentang Mukjizat sebagai bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam dan Mukjizat sama-sama berasal dari akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.
Al-Farabi berhasil dalam mejelaskan kenabian secara filosofis dan menafsirkannya secara ilmiah yang dapat dikatakan tiada duanya, terutama di “pentas” filsafat Islam. Selain itu, Al-Farabi adalah filosof muslim pertama yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak ada penambahan oleh filosof-filosof sesudahnya. Filsafatnya ini didasarkan pada psikologi dan metafisika yang erat hubungannya denga ilmu politik dan etika.

3.      TASAWUF AL-FARABI
Tasawuf merupakan bagian dari pandangan filosofis Al-Farabi bukan sebagai fenomena aksidental sebagaimana tuduhan Carra de Vaux. Tidak ada yang lebih bisa membuktikan anggapan ini selain korelasi kuat yang menghubungkan tasawuf dengan teori-teori Al-Farabi yang lain, baik psikologis, moral maupun teori politik. Tasawuf benar-benar mempengaruhi para filosof Islam yang datang sesudahnya secara mendalam. Ciri khas teori tasawuf paling khusus yang dikatakan oleh Al-Farabi ialah karena berlandaskan pada asas rasional.
Tasawuf Al-Farabi adalah teoritis yang berdasarkan pada studi dan analisa. Sementara kesucian jiwa menurut Al-Farabi tidak akan sempurna hanya melalui jalur tubuh dan amal-amal badaniah biasa. Tetapi secara primer dan esensial, secara esensial juga harus melalui akal dan tindakan pemikiran.
Al-Farabi adalah seorang sufi di dalam relung hatinya. Ia hidup zuhud sederhana, serta cenderung kepada kesatuan dan kehampaan. Al-Farabi hidup sejaman dengan tokoh-tokoh besar sufi yang menyatakan al-hulul, sebagai pentolannya adalah al-junaid (wafat 911 M).
Teori tasawuf Al-Farabi berbeda dengan merendahkan al-Hallaj dari beberapa segi :
Pertama, tasawuf Al-Farabi sejak awal bersifat teoritis dan berlandaskan pada studi dan analisis, karena dengan ilmu, dan hanya dengan ilmu sematalah kira-kira, kita akan mencapai kebahagiaan. Sedangkan amal (tindakan praktis) berada pada tahap kedua dan kepentingannya terbatas bagi suatu tujuan. Sebaliknya, orang-orang sufi menetapkan bahwa kesederhanaan dan berpaling dari kelezatan jasmani dan menyiksa tubuh, adalah sarana untuk bersatu dengan Allah.
Kedua,sebagai perbedaan esensial dalam berhubungan dengan Allah yang dikatakan oleh Al-Farabi, ssemata-mata meningkatkan ke alam atas dan berhubungan manusia dengan akal fa’al tanpa dapat dicampur-adukan satu sama lain. Sedangkan menurut tasawuf, hamba dan Tuhan menyusun kesatuan yang tidak terpisah.
Ketiga, Ittihad (bersatu) dan Ittishol (berhubungan denagn Allah) membawa perbedaan jelas antar teori al-Hulul versi al-Hallaj dengan teoi Al-Faribi. Karena kata yang pertama biasanya diarahkan kepada teori tasawuf yang menunjukkan pada pelarutan yang sempurna antara makhluk dengan al-kholiq. Sementara kata yang kedua yang dipergunakan pada teori para filosof hanya memberi kesan kesemataan antara hubungan manusia dengan ruh.


4.      FILSAFAT POLITIK DAN KENEGARAAN AL-FARABI
Manusia menurut Al-Farabi seperti halnya Plato, Aristoteles dan ibn Abi Rabi’, bersifat sosial yang tidak mugkin hidup sendiri-sendiri. Makhluk yang berkecenderungan alami untuk hidup bermasyarakat dan bantu-membantu untuk kepentingan bersama dalam mencapai  tujuan hidup, yakni kebahagiaan. Hal ini karena manusia tidak mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerja sama denagn pihak lain.
Pendapat Al-Farabi tentang tujuan hidup bermasyarakat memperlihatkan pengaruh keyakinan agamanya sebagai seorang muslim, di samping pengaruh tradisi Plato dan Aristoteles yang mengaitkan politik dengan moralitas dan etika.




Al-Farabi membagi masyarakat ke dalam dua macam, yakni
·      Masyarakat sempurna, masyarakat sempurna diklasifikasikan menjadi:
1.    Masyarakat sempurna besar, adalah gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama (perserikatan bangsa-bangsa).
2.    Masyarakat sempurna sedang, adalah masyarakat yang terdiri atas satu bangsa yang menghuni disatu wilayah dari bumi ini (negara nasional).
3.    Masyarakat sempurna kecil, adalah masyarakat yang terdiri atas para penghunisatu kota (negara kota).
·      masyarakat tidak sempurna atau belum sempurna, adalah penghidupan sosial di tingkat desa, kampung, lorong dan keluarga. Selanjutnya, di antara tuga bentuk penghuni sosial itu, keluarga merupakan yang paling tidak sempurna.
Perkembangan dari tidak/kurang sempurna menjadi sempurna menurut Al-Farabi bertingkat-tingkat. Mula-mula, masyarakat manusia berupa masyarakat yang terbesar, lalu menjadi masyarakat desa dan kampung, kemudian menuju ke masyarakat kota yang sempurna dan berpemerintahan. Al-Farabi berpandangan bahwa masyarakat sempuna itu ialah masyarakat yang mengandung keseimbangan diantara unsur-unsrunya. Perbedaannya hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar maka dalam diri manusia unsur-unsur itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatnya.
Pandangan ini didasari oleh pemikiran filsafatnya bahwa manusia tidak sama satu sama lainnnya, disebabkan bnayak faktor, antara lain: faktor iklim dan lingkungan tempat mereka hidup, dan faktor makanan. Faktor-faktor tersebut banyak berpengaruh dalam pembentukan watak, pola pikir dan perilaku, orientasi atau kecendurangan serta adat kebiasaan.
Berbeda dengan Al-Farabi, Ibu Sina (370-425H/980-1033M) mempumyai pandangan berbeda-bedanya manusia dengan sesamanya adalah “anugrah Tuhan” yang dijadikannya untuk memelihara keselamatan hidup dan perkembangan kemajuan hidupnya.jika semua manusia bersamaan dalam segala hal, pasyilah membawa kemusnahan mereka.
Dalam hal filsafat kenegaraan, Al-Farabi membedakan negara menjadi liama macam:
1.      Negara utama (al-Madinah al-Fadhilah ) yaitu negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Menurutnya negara terbaik adalah negara yang dipimpin oleh rosul dan kemudian oleh para filosof.
2.      Negara orang-orang bodoh  ( al-Madinah al-Jahilah ), yaitu negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
3.      Negara orang-orang fasiq ( al-Madinah al-Fasiqah ) yakni negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan dan akal  ( fa’alal-Madinah al-Fadilah )  tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negeri yang bodoh.
4.      Negara yang berubah-ubah( al-Madinah al-Mutabaddilah ) ialah yang penduduknya semula mempunyai fikiran dan pendapat seperti yang dimiliki negara utama tetapi kemudain mengalami kerusakan.
5.      Negara sesat ( al-Madinah al-Dallah ), yaitu negara yang penduduknya mempunyai konsepsi pemikiran yang salah tentang Tuhan dan akal fa’al, tetpi kepala negaranya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan kemudian menipu orang banyak denagn ucapan dan perbuatan.
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur negaranya. Disini nyata teori kenegaraan iti paralel dengan filsafat mettafisikanya tentang kejadian alam ( emanasi yang bersumber pada yang satu ). Al-Farabi menegaskan bahwa negeri yang utama adalah negeri yang memperjuangkan kemakmuran dan kebhagiaan warga negaranya.
Al-Farabi berpendapat, ilmu polotik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Kebahagiaan manusia diperoleh karena perbuatan atau tindakan dan cara hidup yang dijalankannya. Al-Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan yang hakiki (sebenanya) tidak mungkin dapat diperoleh sekarang (di dunia ini), tetapi sesudah kehidupan sekarang yaitu kehidupan akhirat. Namun sekarang ini juga ada kebahagiaan yang nisbi seperti halnya kehormatan, kekayaan, dan kesenangan yang dapat nampak dan dijadikan pedoman hidup.
Ada dua macam prolem politik yaitu:
1.        Pemerintah atas dasar penegakkan terhadap tindakan-tindakan yang sadar, cara hidup, disposisi positif dasar ini dapat djadikan upaya untuk mendapat kebahagiaan. Pemerintah atas dasar demikian disebut pemerintah utama, dimana sebagai ciri kota-kota dan bangsa-bangsanya tunduk terhadap pemerintah.
2.        Pmerintah atas dasar penegakkan terhadap tndakan-tindakan dan watak-watak dalam rangka mencapai sesuatu yang diperkirakan mendapat suatu kebahagiaan, maka muncul beraneka ragam bentuk pemerintah, apabila yang dikejar kejayaan semata dapat dianggap sebagai pemerintah yang rendah, jiak mengejar kehormatan, disebut pemerintah kehormatan, dan pemerintahan bergantung kepada apa yang menjadi tujuannya.
Tujuan lain dari filsafat politik Al-Farabi adalahpembentukan pemimpin-pemimpin politik yang handalpemimin politik memiliki fungsi sebagai dokter yang menyembuhkan jiwa sehingga dengan kepemimpinannya jiwa masyarakat akan selalu sehat terutama dalam meraih sesuatu yang baikdan menghindar dari yang jahat. Kemampuan politisnya harus digunakan untuk menjaga nilai-nilai yang mampu mengembangkan masyarakat.

5.      FILSAFAT PRAKTIS
Kesatuan antara ilmu-ilmuteoritis metafisika dan psikologi yang telah dibangun oleh Al-Farabi juga tercermin dalam filsafat politiknya yang bersama logika, merupakan fokus utama karya-karya filsafatnya. Sementara bagian lain dari filsafat Al-Farabi berkarakter Aristotelian, yang dilengkapi dengan unsur-unsur Neoplatonik. Filsafat politik Al-Farabi sangat platonik dan mencerminkan citra ideal filsafat politik Plato yang didasarkan pada landasan-landasan metafisika.
Dalam karyanya, Tahshil Al-Sa’ddah, Al-Farabimemperlihatkan keidentikan real dan konseptual dari gagasan para filsuf, ahli hukum, dan imam, dan mengklaim bahwa keragaman label religius dan filosofis hanyalah mencerminkan penekanan yang berbeda atas aspek-aspek tertentu dari realitas yang sama. Ini berarti, dengan gaya Platonik yang bagus bahwa orang yang tidak berupaya menerapkan kesempurnaan teoretisnya untuk pencarian praktis dan politik tidak dapat mengklaim dirinya filsuf.
Pemahaman filsafat praktis Al-Farabi dapat terlihat ketika ia membandingkan anatarkota fasik, kota jahat, dan kota sesat. Negara fasik dan kota sesat adalah kota-kota yang warganya sekarang atau dahulu mempunyai beberapa pengetahuan mengenai tujuan kemanusiaan yang benar, tetapi gagal mengikuti pengetahuan tersebut. Kota jahat adalah kota yang warganya secara sengaja meninggalkan tujuan yang baik demi tujuan yang lain, sedangkan kota sesat adalah kota yang pimpinannya secara pribadi mempunyai pengetahuan yang benar tentang tujuan yang semestinya yang harus diikuti oleh kota ini, tetapi pimpinan itu menipu warganya dengan mengemukakan citra-citra dan gambaran-gambaran menyesatkan dari tujuan tersebut (Al-Farabi [1964]; 74-108; Mahdo dan Lerner [1963]; 35-56; [1985]; 228-59).

6.      LOGIKA DAN FILSAFAT BAHASA
Salah satu pokok perhatian dalam karya-karya logika Al-Farabi adalah menguraikan sejelas-jelasnya hubungan antara logika filsafat dan tata bahasa. Umum. Misalnya, Kitab Al-Huruf  [Al-Farabi, 1969b] dan Kitab Al-Alfazh Al-Musta’malah fi Al-Manthiq [Al-Farabi, 1968a], dengan topik-topik logika dan kebahasaan, yang menekankan perlunya memahami hubungan terminologi filsafat dengan bahasa dan tata bahasa yang lazim.
Realitas historis masuknya filsafat kedalam bahasa Arab dari suatu bahasa dan budaya asing, masuknya bahasa Yunani kuno dan munculnya kesulitan akibat kebutuhan untuk mencitakan kosa kata filsafat dalam bahasa Arab, menjadi isu yang penting sekalibagi para filsuf Arab awal, termasuk para guru dan murid Al-Farabi sendiri.
Disamping karya-kaya linguistiknya, Al-Farabi mengankat suatu konsepsi tentang logika sebagai sejenis tata bahasa universal yang memberikan kaidah-kaidah yang harus diikuti guna berfikir sevara guna dalam bahasa apapun. Tata bahasa, di sisi lain, senantiasa wajib memberikan kaidah yang dibangun atas dasar konvensi dalam pemakaian bahasa tertentu dari budaya tertentu.
Al-Farabi menegaskan bahwa logika dan tata bahasa merupakan dua ilmu berlandaskan kaidah  (rule-based sciences) yang terpisah, masing-masing dengan lingkup dan pokok permasalahannya sendiri, Al-Farabi berusaha keras membangun logika sebagai kajian otonom filsafat bahasa yang saling melengkapi, bukan bertentangan, dengan ilmu tata bahasa tradisional. Akan tetapi, meskipun logika dan tata bahasa masing-masing tetap merupakan ilmu yang terpisah dan otonom. Oleh karena itu, “seni tata bahasa seyogyanya sangat diperlukan untuk menjadikan kita tahu dan paham terhadap prnsip-prinsip seni (logika)” (Al-farabi [1987]: 83; Black [1992]: 48-56)[12].

7.      PENGARUH PEMIKIRAN AL-FARABI TERHADAP FILOSOF SESUDAHNYA.
Penilaian terhadap pengaruh pemikiran Al-Farabi datang dari para ahli. Diantaranya Massignon (ahli masalah ketimuran dari Prancis), bahwa Al-Farabi merupakan filosof Islam yang pertama, dan Al-Kindi adalah orang yamng membuka filsafat Yunani bagi dunia Islam. Al-Farabi dapat memainkan peran penting dalam dunia Islamdalam mengembangkan keilmuannya sehingga meluas.
Pemikiran Al-Farabi sangat berpengaruh terhadap filosof Islam setelahnya, terutama mengenai metafisika dan emanasi. Tetapi, pemikiran-pemikiran Al-Farabi tidak berpengaruh pada seluruh filosof sesudahnya, melainkan hanya sebagian filosof saja,  diantaranya Ibnu Miskawaih, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd.
a.       Ibnu Muskawaih
Pengaruh pemikiran Al-Farabi terhadap Ibnu Miskawaih dapat terlihat dar pemikiran Muskawaih tentang Tuhan. Hal ini tampak bahwa Tuhan menurut Ibnu Muskawaih adalah zat yang esa dalam segala aspek. Sebagaimana pemikiran Al-Farabi tentang Tuhan. Tuhan tidak berbagi karena tidak mengandung kejamakan. Dan tidak satupun yang setara dengannya.
Pemikiran kenabian menurut Ibnu Miskawaih mendapat pengaruh dari Al-Farabi, yaitu mengenai perbedaan Nabi dan filosof. Menurut Miskawaih Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kenenaran karena pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya.
b.      Ibnu Bjjah
Pemikiran Ibnu bajjah yang terpengaruh oleh pemikiran Al-Farabi ,, yang Pertama adalah mengenai teori al-ittishal yaitu manusia mampu berhubungan dan meleburkan dirinya dengan akal. Kedua pemikirannya mengenai metafisika. Menurutnya semua maujud terbagi menjadi du; bergerak dan ang tidak bisa bergerakkeduanya merupakan pengaruh dari metafisika dari Al-Faribi. Ketiga, pemikirannya mengenai politik. Al-Farabi membagi negara menjadi dua negara utama atau negara sempurna dan tidak sempurna.
c.       Ibnu Thufail
Pemikiran Al-Farabi mempengaruhi pemikiran Ibnu Thufail khususnya dalam pemikirannya mengenai jiwa. Thufail membedakan jiwa menjadi tiga kategoti, yaitu: jiwa fhadilah, jiwa fhasiqah, dan jiwa jahiliyyah.
d.      Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd sangat terpengaruh oleh teori pemikiranAl-Farabi. Dimana Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertaa (muharrik al-awwal).sifat positif yang dapat diberikan kepada Allahialah “akal”. Mensifati Tuhan dengan “Esa” merupakan ajaran islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai Penggerak pertama tidak pernah dijumpai dalam pemahaman islam sebelumnya, hanya dijumpai dalam filsafat Al-Farabi[13]


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Al-Farabi mempunyai  nama lain yaitu Abi Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorban Al-Farabi, ia dilahirkan di desa wasij, Kota Farab ( Transoxania) pada tahun 257 H (870 M). Beliau adalah seorang muslim keturunan Persia, ayahnya Muhammad Auzlaghadalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudian menetap di Damsyik dan Ibunya berasal dari Turki (Sidik, 1984:89). Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab.
 Al-Farabi yang dikenal sebagai filosof Islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqh, dan manthiq.Kebanyakan karyanya telah hilang, dan yang  masih dapat dibaca dan dipublikasikan, baik yang sampai kepada kita maupun yang tidak, kurung lebih 30 judul saja.
Diantara judul karyanya yang terpenting adalah sebagai berikut :
1.      Al-Jam’u Baina Ra’yay Al-Hakimaini Aflathun Al-Ilahi Wa Aristhu
2.      Syarah Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani
3.      Al-Ta’liqat
4.      Risalah Fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi Al-Falsafah
5.      Kitab Tahsil Al-Sa’adah
6.      Risalah Fi Isbat Al-Mufaraqah
7.      Uyun Al-Masa’il
8.      Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah
9.      Ihsha Al-‘Ulum Wa Ta’rif Bi Aghradhiha
10.  Maqalah Fi Ma’ani Al-‘Aql
11.  Fushul Al-Hukm
12.  Risalah Al-‘Aql
13.  Al-Siyasah Al-Madaniyah
14.  Al-Masa ‘il Al-Falsafiyah Wa Al-Ajwibah ‘Anha
DAFTAR PUSTAKA

Hermawan Heris, Sunarya Yayan (2011), Filsafat Islam. Bandung: CV.Insan Mandiri
Suryadi Dedi, (2009) Penagntar Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Sudarsono, Filsafat Islam. (2010), Jakarta: Rineka Cipta.
http://ruruls4y.wordpress.com/2012/03/14/riwayat-hidup-al-farabi/
http://alhakelantan.tripod.com/tokoh/id9.html
hasan basri. M.Ag, zenal mufti M.Ag, cv insan mandiri, 2009
http://sultan-education.blogspot.com/2010/11/makalah-filsafat-ilmu-al-farabi.html
http://salamsemangat.wordpress.com/2012/11/09/al-farabi-makalah-filsafat-islam/






[1]. Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), Cet. Ke-1, hlm. 80.
[2]. Hermawan Heris, Filsafat Islam, (Bandung; CV Insan Mandiri,  2011), Cet. Ke-1, hlm. 29.
[3]. Sudarsono, Filsafat Ilsam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) Cet. Ke-3, hlm. 31.
[4]. Suryadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) Cet. Ke-1, hlm 82
[5]Suryadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) Cet. Ke-1, hlm 83.
[6] . Suryadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009), Cet. Ke-1, hlm. 84.
[7] . Heris Hermawan, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Insan Mandiri, 2011), Cet. Ke-1, hlm. 32
[8]. Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, CV.Pustaka Setia, 2009), Cet. Ke-1, halm 86.
[9] . Sudarsono, Filsaft Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), Cet. Ke-3, hlm,33
[10] . BasriHasan& Mufti ZaenalFilsafat Islam,  (Bnadung, CV. Insan Mandiri, 2009).
[11]. Sudarsono, Filsafat Islam, (jakarta: Rineka Cipta, 2010), Cet. Ke-3, hlm. 37-38.
[12] . Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2009) Cet. Ke 1, hlm. 96-98
[13] . Heris Hermawan, Filsaft Islam, (Bandung, CV. Insan Mandiri, 2011), Cet. Ke-1. Hlm. 43-44

0 Response to "Makalah Filsafat Islam Al Farabi"