Makalah Filsafat Islam Ibnu Sina

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ibnu Sina merupakan ilmuwan yang memiliki kemampuan yang setara dalam bidang ilmu, khususnya filsafat dan kedokteran. Kegigihannya dalam menimba ilmu telah terlihat dari kecil, sehingga Al-Qur’an dapat dihafal saat ia berusia 10 tahu. Selain itu ia juga mempelajari ilmu agama seperti tafsir, fikih dan tasawuf. Disebabkan kecerdasannya yang luar biasa ia berhasil menguasai semua ilmu tersebut. Ibnu Sina dikenal sebagai seorang yang otodidak yang sangat tekun dan cerdas. Ia menguasai ilmu kedokteran dalam waktu satu setengah tahun tanpa bimbingan seorang guru.
Pada masa remaja ia mulai tertarik dengan cara mengobati atau menyembuhkan orang, sehingga ia senang mempelajari ilmu kedokteran. Pada usia 16 tahun ia membuka tempat praktik kedokteran sendiri. Tidak puas dengan kedokteran, pada masa remajanya ia juga menguasai bidang-bidang yang menjadi dasar ilmu filsafat. 

B.     Rumusan Masalah
Penulisan makalah ini mempunyai sebuah rumusan masalah, dan rumusan masalah itu diantaranya :
1.      Bagaiman riwayat hidup Ibnu Sina?
2.      Apa saja karya-karya Ibnu Sina ?
3.      Bagaimana filsafat dari Ibnu Sina ?
4.      Bagaimana rekonsilisasi antara Fisafat dan Agama  menurut Ibnu Sina?
5.      Bagaimana filsafat ketuhanan menurut Ibnu Sina?
6.      Bagaiman filsafat kenabian menurut Ibnu Sina?
7.      Bagaimana filsafat emanasi Ibnu Sina?
8.      Bagaimana filsafat jiwa Ibnu Sina?
9.      Bagaimana pengaruh filsafat Ibnu Sina?
C.    Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini mempunya tujuan, dan tujuan itu diantaranya:
1.         Mengetahui riwayat hidup Ibnu Sina
2.         Mengetahui  karya-karya Ibnu Sina
3.         Mengetahui filsafat dari Ibnu Sina
4.         Mengetahui rekonsilisasi antara Filsafat dan Agama menurut Ibnu Sina
5.         Mengetahui filsafat ketuhanan menurut Ibnu Sina
6.         Mengetahui filsafat kenabian menurut Ibnu Sina
7.         Mengetahui filsafat emanasi menurut Ibnu Sina
8.         Mengetahui filsafat jiwa menurut Ibnu Sina
9.         Mengetahui pengaruh filsafat Ibnu Sina


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    RIWAYAT IBNU SINA
Nama asli Ibnu Sina adalah Abu Ali al-Husain bin Abdillah Ibnu Sina merupakan dokter dan filosof Islam termasyhur. Di Barat dikenal dengan nama Avicenna, akibat terjadi metamorphose Yahudi-Spanyol. Dengan lidah spanyol kata Ibnu diucapkan Aben atau Even.  Assy-Syaikh Ar-Rais Abu Ali al-Husain bin Abdillah bin Sina (Avicenna) dilahirkan di Afsyanah di Bukhara pada bulan Safar tahun 370 H atau 980 M. Ibunya berkebangsaan Turki dan bapaknya adalah peranakan Arab-Persia. Ayahnya berasal dari kota Balakh, kemudian pindah ke Bukhara pada masa raja Nuh ibn Mansur.[1]
Ibnu Sina dibesarkan dalam lingkungan keluarga Syi’ah Isma’iliyah pada kurun kekacauan dan kemunduran Dinasti Abbasyiah; kurun menyaksikan Banu Buwaih menduduki Baghdad setelah melengserkan dinasti Abbasiyah.[2]
Ibnu Sina mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles yang telah dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun beliau telah banyak mengetahui ilmu pengetahuan, sastra Arab, Fiqih, Ilmu hitung, filsafat bahkan ilmu kedokteran beliau pelajari sendiri. Profesinya dibidang kedokteran dimulai usia 17 tahun. Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997 M), salah seorang penguasa Dinasti Samaniah. Banyak tabib dan para ahli tidak berhasil menyembuhkan penyakit itu. Sebagai penghargaan Ibnu Sina disuruh menetap di istana selama sang raja dalam proses penyembuhan. Tetapi, ia menolaknya dengan halus, dan hanya meminta izin untuk mengunjungi sebuah perpustakaan kerajaan yang kuno dan antik untuk mempelajari buku-buku yang ada di sana.[3]
Ibnu Sina meninggal dunia pada tahun 1037 M,/428 H dalam usia 58 tahun, dan dimakamkan di Hamazdan Iran. Beliau wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah. Pada waktu itu beliau sedang sakit parah tetapi ia bersikeras untuk tetap mengajar.[4]

B.     KARYA-KARYA IBNU SINA
Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan dalam hidupnya, dan usianya pun tidak panjang. Meskipun banyak kesibukan dalam urusan politik, ia berhasil mengarang beberapa buku. Kesuburan hasil karya ini disebabkan karena beberapa faktor diantarana :
a.       Ia pandai mengatur waktu, waktu siang digunakan untuk pekerjaan pemerintah, sedangkan waktu malam nya untuk mengajar dan mengarang, bahkan lapangan kesenian tidak ditinggalkannya. Jika  hendak berpergian maka, buku dan alat-alat tulis yang pertama diperhatikan. Apabila ia sudah payah dalam perjalanan maka ia duduk dan menulis.
b.      kecerdasan otak dan kekuatan ingatan yang tidak sedikit artinya bagi kepadatan karyanya. Ia sering menulis tanpa buku referensi dan pada saat kegiatannya tidak kurang dari 50 lembar yang ditulis sehari-hari.
c.       Sebelum Ibnu Sina hidup Al Farabi yang mengarang dan mengulas buku-buku filsafat. Ini berarti bahwa Al-Farabi telah meratakan jalan baginyasehingga tidak banyak kesulitan-kesulitan yang ia hadapi.[5]
Karya tulis yang ditulis oleh Ibnu Sina semuanya kurang lebih 250 buku, termasuk buku saku dan kumpulan suratnya. Kebanyakan karyanya berbahasa Arab dan bahasa Persia. Karya-karya Ibnu Sina mencakup bidang Matematika, Mantik, Akhlak, Fisika, Kedokteran dan Filsafat. [6]
Adapun karya-karya Ibnu Sina yang paling popular diantaranya :
1.      Al-Syifa; dalam bahasa Latinnya Sanatio
2.      Al-Najah; dalam bahasa Latinnya Salus
3.      Al-Isyarah; pembahasan soal Logika dan Hikmah
4.      Al-Qanun Fi Al-Thabibb; Ensiklopedia Kedokteran
5.      Hidayah Al-Rais Li Al-Amir; karya pertama dalam Psikologi
6.      Al-Hikmah Al-‘Arudhiyyah
7.      Risalah Fi-Al Kalam ‘Ala Al-Nafs Al-Nathiqiyah
8.      Al-Manthiq Al-Musyriqiyyin
9.      Mabhas ‘An Al-Quwat Al-Nafsiah
10.  Ahwal Al-Nafs
11.  ‘Uyun Al-Hikmah
12.  Kitab Al-Syiasah
13.  Tahsil Al-Sa’adah
14.  Kitab Al-Mubahatsat
15.  Risalah Al-Thair
16.  Risalah Fi Sirr Al-Qadar
17.  Risalah Fi Al-Isyq
18.  Al-Qashidah Al-‘Ainiyah
19.  Al-Qoshidah Al-Muzdawiyyah
20.  Al-Urjuzah Fi Al-Thabibb[7]

C.     FILSAFAT IBNU SINA
Al-Isyarah Wa Al-Ibanah merupakan karya komprehensif yang sering dirujuk banyak kalangan untuk memahami pemikiran Filsafat Ibnu Sina. Berdasarkan pengakuan Al-Jurjani buku ini adalah karya yang terakhir yang terbaik yang diselesaikan Ibnu Sina. Dengan pembacaan ulang atas karya ini, fondasi pemikiran Ibnu Sina dapat dilihat jelas.
Menurut Ibnu Sina tujuan filsafat adalah penetapan relitas segala sesuatu sepanjang hal itu mungkin bagi manusia. Persoalan filsafat bagi Ibnu Sina dibagi dua wilayah besar yaitu teoritis dan praktis. Pada tataran teoritis filsafat mencari pengetahuan tentang kebenaran. Tujuannya adalah hanyalah upaya penyempurnaan jiwa. Sedangkan pada tataran praktis filsafat mencari pengetahuan tentang kebaikan. Tujuannya adalah penyempurnaan jiwa melalui pengetahuan tentang segala hal yang seharusnya dilakukan sampai jiwa bertindak berdasarkan pengetahuan teoritis.
Dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Sham Inati memaparkan bahawa Ibnu Sina merumuskan subjek pengetahuan teori dua jenis yaitu subjek yang diatributi dengan gerak dan subjek yang tidak diatributi dengan gerak. Berdasarkan klasifikasi subjek pengetahuan tersebut Ibnu Sina membagi cabang teoritis menjadi tiga yaitu, filsafat yang membahas soal gerak dalam realitas dan fikiran, filsafat yang membahas soal gerak yang hubungannya dengan realitas, dan filsafat membahas perihal gerak yang otonom dari realitas dan pikiran.
Ibnu Sina memandang bahwa segala sesuatu yang dikenai gerak selalu didahului oleh sebab tertentu yang menggerakannya. Sebab gerak bisa saja terdapat dalam benda tersebut, dan mungkin berada di luar benda yang bergerak. Pada dasarnya persoalan gerak dalam filsafat teoritis yang dikemukakan Ibnu Sina merupakan bagian dari tema dasar kajian Fisika. Menurut Ibnu Sina semua yang mendasari fisik ini dapat dijadikan syarat pengetahuan Metafisika. Dengan demikian yang hendak menyelami pengetahuan ketuhan dituntut untuk menguasai disiplin Fisika.
Filsafat praktis Ibnu Sina menuntut pembelajaran seluruh kajian yang berkaitan dengan salah satu hal berikut yaitu, prinsip-prinsip yang melandasi keseluruhan publik antar anggota masyarakat, prinsip-prinsip yang melandasi seluruh urusan personal di dalam kehidupan masyarakat, dan prinsip-prinsip yang melandasi keseluruhan ueusan individu.
Filsafat yang membahas prinsip-prinsip bagi landasan keseluruhan urusan publik antar anggota msyarakat, diakumulasi dalam disiplin Manajemen Negara yang selanjutnya tertuang dalam ilmu politik. Filsafat yang menuangkan gagasan prinsip-prinsip yang melandasi seluruh personal di dalam kehidupan masyarakat, dimasukan dalam kajian Ilmu Rumah Tangga. Filsafat yang berkonsentrasi pada prinsip-prinsip yang melandasi urusan individu dijelmakan dalam kajian etika.[8]

1.      REKONSILISASI ANTARA FILSAFAT DENGAN AGAMA
Ibnu Sina memiliki pengetahuan agama yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Sina adalah seorang dokter jasmani dan jiwa, tetapi ia mengkhususkan bab-bab yang paling penting mngenai jiwa dalam karangan-karangannya yang bersifat falsafah.
Sebagaimana Al Farabi, Ibnu Sina juga mengusahakan pemaduan antara agama dan filsafat. Menurutnya bahwa nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni malaikat Jibril yang juga disebut akal sepuluh atau akal aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memprolehnya. Bagi nabi terjadi hubungan dengan malaikat Jibril melalui akal materil yang disebut hads (kekuatan suci, qudsiyah). Sedangkang filosof melalui akal mustafad. Pengetahuan yang diperoleh nabi disebut wahyu sedangkan pengetahuan yang diperoleh filosof disebut ilham.[9]

2.      FILSAFAT KETUHANAN IBNU SINA
Di dalam masalah metafisika, Ibnu Sina sebagai salah seorang filosof eksistensialis sefaham dengan Aristoteles yang mendefinisikan bahwa metafisika adalah pengetahuan tentang segala yang ada sebagai adanya dan sejauh yang dapat diketahui oleh manusia. Ia mengklasifikasikan  mengklasifikasikan yang ada (wujud) menjadi tiga tingkatan yaitu :
a.       Wajib al-wujud, esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Disini esensi tidak dapat dipisahkan dari wujud. Esensi disini tidak dimulai dari tidak ada kemudian berwujud, tetapi wajib dan mesti berwujud selama-lamanya. Ibnu Sina membagi wajib al-wujud menjdi dua yaitu wajib al-wujud bi dzatihi dan wajib wujud min ghairihi. Wajib al-wujud bi dzatihi adalah yang wujudnya dengan sebab zatnya semata, mustahil jika diandaikan tidak ada. Sedangkan wujud min ghairihi adalah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain diluar zatnya.
b.      Mumkin al-wujud, esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh tidak berwujud. Jika diandaikan ada dan tidak ada maka tidak mustahil.
c.       Mumtani al-wujud, esensi yang tidak mempunyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain disamping kosmos yang ada. Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Allah tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tidak cukup dengan dalil yang pertama yakni wajib al-wujud. Jagat raya ini mumkin al-wujud yang memerlukan suatu sebab yang mengeluarkan menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri.[10]
Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud tunggal, secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua.dari sudut pandang metafisik, teori itu berupaya melengkapi analisis Aristoteles tentang suatu maujud menjadi dua elemen yang diperlukan itu bentuk dan materi. Menurut Aristoteles, bentuk sesuatu adalah jumlah total dasar dan kualitas-kualitasnya yang dapat diuniversalkan yang membentuk sesuatu. Materi pada sesuatu memiliki kemampuan untuk menerima kualitas-kualitas tersebut. Dengan bentuk itu terjadilah eksistensi individu.
Ibnu Sina menyimpulkan bahwa bentuk dan materi itu bergantung pada Tuhan dan lebih jauh lagi bahwa eksistensi yang tersusun juga tidak hanya bisa disebabkan oleh bentuk dan materi. Tetapi harus terdapat sesuatu yang lain.[11]
Tentang sifat-sifat Allah sebagaimana Al Farabi, Ibnu Sina juga menyucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan eksistensinya, karena Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Allah adalah tunggal, tidak terbagi dari bagian-bagian.  Ibnu Sina  berusaha mengesakan Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah. Jika tidak demikian tentu ilmu Allah yang Maha Sempurna akan sama dengan sifat ilmu manusia, bertambahnya ilmu membawa perubahan pada eksistensi manusia.[12]

3.      FILSAFAT KENABIAN IBNU SINA
Menurut Ibnu Sina para nabi yang akal teoritisnya mengaktual dengan sempurna secara langsung lebih utama dari filosof, yang akal teoritisnya mengaktualsempurna secara tidak langsung, yakni dengan perantaraan seperti latihan dan bekerja keras. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa nabi dan rosul lebih tinggi daripada filosof.
Nabi lebih identik dengan akal aktif yang disebut ‘aql mustafad (akal yang telah dicapai). Namun nabi, manusia yang tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian pemberian wahyu dalam satu internal dengan nabi. Wawasan intelektual dan spiritual ini merupakan karunia tertinggi yang dimiliki nabi. Sifat pembawaan kedudukan yang dimilikinya agar nabi menghadap umat manusia berbekal risalah, mempengaruhinya, dan benar-benar berhasil dalam misinya. Nabi harus memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup bahwa kekuatan fisiknya harus kuat sehingga harus mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan seluruh materi pada umumnya, dan harus mampu melontarkan  suatu sistem politik.[13]
4.      FILSAFAT EMANASI IBNU SINA
Sebagaimana Al Farabi Ibnu Sina juga menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak yang bersifat materi (alam) yang Esa, jauh dari arti banyak, jauh dari materi, Maha Sempurna, dan tidak berkehendak apapun (Allah). Untuk memecahkan masalah ini, ia juga mengemukakan penciptaan secara emansi. Filsafat emansi ini bukan hasil renungan Ibnu Sina juga Al Farabi, tetapi berasal dari “ramuan Plotinus” yang menyatakan bahwa ala mini terjadi karena pancaran dari yang Maha Esa (The One).filsafat Plotinus berprinsip bahwa dari yang satu hanya satu yang melimpah. Ini diislamkan oleh Ibnu Sina juga Al Farabi bahwa Allah menciptakan alam dengan jalan emansi yaitu memeancarkan dari Tuhan. Hal ini memungkinkan karena dalam Al-Qur’an tidak ditemukan informasi tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau atau dari tiadanya. Dengan demikian prinsip Ibnu Sina memiliki prinsip yang sama dengan Plotinus, tetapi tujuanna berbeda. Oleh karena, dapat dikatakan, yang Esa Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta (Shani, Agen) yang aktif. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada pancarannya.[14]
Proses terjadi pancaran tersebut ialah ketika Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dari-Nya lah  memancarkan segala yang ada. Tuhan sebagai al-wujud al-awwal berpikir tentang diri-Nya, lalu dari pikiran itu timbul  wujud kedua yang disebut akal pertama. Akal pertama ini memiliki mempunyai tiga objek pemikiran yaitu Tuhan, dirinya sebagai waajib al-wujuud, dan dirinya sebagai mumkin al-wujuud. Pemikiran akal pertama tentang Tuhan melahirkan akal-akal berikutnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar keempat unsure pokok yaitu air,udara, api dan tanah.
Menurut Ibnu Sina akal pertama mempunyai dua sifat yaitu sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mumkin wujudnya wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ibnu Sina membagi objek pembagian akal-akal menjadi tiga yaitu Allah (wajib al-wujud li dzati), dirinya akl-akal (wajib al-wujud lighairihi) sebagai pancaran dari Allah, dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujud) ditinjau dari hakikat dirinya. Jadi emanasi dari wajibul wujud kepada maujudat yang di bawahnya, pada mulanya tunggal karena ia memancar dari yang tunggal. Akal pertama yang memancar wajibul wujud adalah tunggal, kemudian baru memancar dari padanya tiga-tiga dalam tiga bentuk yakni akal itu sendiri, materi alam (falaq-falaq) dan jiwa dari falaq-falaq tersebut. Terpancarnya tiga bentuk dari hasil emanasi tersebut disebabkan oleh :
Ø  Ta’aqqul akal terhadap penciptanya.
Ø  Ta’aqqul akal terhadap zatnya sendiri dalam hubungan kewaibannya dengan yang awal.
Ø  Ta’aqqul akal terhadap kemungkinan yang ada pada zatnya sendiri terjadilah substansi materi.
Teori emanasi Al Farabi mengalirkan bentuk ganda, sedangkan teori emanasi Ibnu Sina mengalirkan bentuk tiga-tiga. Menurut Ibnu Sina posisi Tuhan sebagai wajibul wujud dan akal murni adalah sebagai penggerak pertama, bukan pencipta ia menggerakan dunia sebagai motif total dari segala yang bekerja. Ibnu Sina memajukan emanasi ini untuk mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya. Oleh karena itu, Allah tidak bisa menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya ini secara langsung. Jika Allah berhubungan langsung dengan alam yang plural ini ntentu dalam pemikiran Allah terdapat hal yang plural.
Banyak perbedaan yang mendasar antara emanasi Plotinus dan emanasi Ibnu Sina. Bagi Plotinus alam ini hanya terpancar dari yang satu (Tuhan), yang mengesankan Allah tidak menciptakan dan tidak aktif. Sementara dalam Islam emanasi ini menjelaskan  cara Allah menciptakan alam, karena alam adalah ciptaan Allah. Dalam agama Islam, hal ini merupakan ajaran pokok atau qath’i al-dilalah.  Kekhalikan Allah ini mesti diimani seutuhnya.
Sejalan dengan sifat emanasi, alam ini kadim karena diciptakan Allah sejak zaman azali. Ibnu Sina membedakan antara kadim dengan alam. Perbedaan yang mendasar terletak pada sebab alam terwujud. Keberadaan alam tidak didahului oleh zaman, maka alam kadim dari segi zaman (taqaddum zamayi). Adapun dari segi esensi, sebagai hasil dari ciptaan Allah secara pancaran, alam iini baharu (hudus zally). Allah taqaddum zally, sebab dia yang ada dan pencipta alam.[15]

5.      FILSAFAT JIWA IBNU SINA
Kata jiwa dalam Al-Qur’an dan al Hadis diistilahkan dengan al-nafs atau al-ruh surat Shad 71-72, al-Isra 85 dan al Fajr 27-30. Jiwa manusia sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah rembulan, memancarkan dari akal sepuluh. Secara garis besar pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi pada dua bagian yaitu :
1)      Fisika, membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.
a.       Jiwa-jiwa tumbuhan mempunyai tiga daya yaitu makan, tumbuh dan berkembangbiak. Jadi jiwa-jiwa pada tumbuhan hanya berfungsi untuk makan, tumbuh dan berkembangbiak.
b.      Jiwa-jiwa binatang mempunyai dua daya yaitu gerak (al-mutaharrikat) dan menangkap (al-mudrikat) daya menangkap terbagi dua yaitu :
Ø  Menangkap dari luar (al-mudrikat min al-khairi) daengan panca indera.
Ø  Menangkap dari dalam (al-mudrikat min al-dakhil) dengan indera-indera batin (al-hawasal-bathinat) yang terdiri dari indera berikut :
-          Indera bersama (al-hiss al-musytarak) yaitu menerima segala apa yang ditangkap oleh oleh indera luar.
-          Indera khayyal, yang menyimpan segala apa yang diterima dismpan dalam khayyal.
-          Imajinasi (al-mutakhayyilat) yang menyusun apa yang disimpan di dalam khayyal.
-          Indera wahmiyah (etimasi) yang menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari materinya, misalnya keharusan kambing berlari ketika melihat serigala.
-          Indera pemeliharaan (rekoleksi) yang menyimpan hal-hal yang abstrak yang diterima oleh indera etimasi.
Dengan demikian jiwa binatang lebih tinggi fungsinya dari jiwa tumbuh-tumbuhan. Jiwa binatang bukan hanya sekedar makan, minum, dan berkembangbiak, tetapi dapat bekerja dan bertindak serta dapat merasakan sakit dan senang seperti manusia.
c.       Jiwa manusia, yang disebut al-nafs al-nathiqah, mempunyai dua daya yaitu daya praktis hubungannya dengan jasad dan daya teoritis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis mempunyai empat tingkatan yaitu :
Ø  Akal materiil (al-‘aql al-hayulany), semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walau sedikit.
Ø  Akal al-malakat (al-‘aql bi al-malakat), telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal yang abstrak.
Ø  Akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l) , telah dapat berfikir hal-hal yang abstrak.
Ø  Akal mustafad (al-‘aql al-mustafad), yaitu akal yang telah sanggup berfikir hal-hal yang abstrak tanpa perlu daya upaya. Akal inilah yang yang dapt berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.[16]
2)      Metafisik, membicarakan tentang hal-hal berikut :
a.       Wujud jiwa
Dalam membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat dalil yaitu :
1.      Dalil alam kejiwaan
Dalil ini didasarkankan pada fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak terbagi menjadi dua yaitu :
Ø  Gerak paksaan, yaitu gerak yang timbul pada suatu benda disebabkan adanya dorongan dari luar .
Ø  Gerak tidak paksaan, yaitu gerakan yang terjadi baik yang sesuai dengan hukum alam maupun yang berlawanan. Gerakan yang sesuai dengan hukum alam seperti batu  jatuh dari atas ke bawah. Yang berlawanan dengan hukum alam yaitu manusia berjalan dan burung terbang. Padahal menurut beratnya manusia mesti dian sedangkan burung jatuh ke bumui. Hal ini dapat terjadi karena ada penggerak khusus yang berbeda dengan unsur jisim. Penggerak ini disebut dengan jiwa.
2.      Konsep “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
Dalil ini oleh Ibnu Sina didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya atau mengajak orang lain berbicara, yang dimaksudkan pada hakikatnya adalah jiwanya, bukan jisimnya. Ketika anda berkata, saya akan keluar atau saya akan tidur, maka ketika itu yang dimaksud bukanlah gerak kaki atau memejamkan mata, tetapi hakikatnya adalah jiwa.
Begitu juga dalam masalah psikologi, terdapat  keserasian dan koordinasi yang mengesankan yang menunjukan adanya suatu kekuatan yang menguasai dan mengaturnya. Masalah itu berbeda-beda, kadang-kadang saling bertentangan namun, semuanya berada dalam satu fokus yang tetap dan berhubungan dengan suatu dasar yang tidak berubah-ubah, kekuatan yang menguasai tersebut adalah jiwa.
3.      Dalil kontiunitas (al-istimrar)
Dalil ini disasarkan pada perbandingan jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian. Kulit kita sekarang tidak sama dengan kulit kita yang sepuluh tahun telah lewat. Sementara jiwa bersifat kontinu, tidak mengalami perubahan dan pergantian. Jiwa kita sekarang adalah jiwa sejak lahir dan akan berlangsung selama umur tanpa mengalami perubahan.
4.      Dalil manusia terbang atau manusia melayang di udara
Dalil ini menunjukan daya kreasi Ibnu Sina yang sangat mengagumkan. Meskipun dsarnya bersifat asumsi atau khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya dalam memberikan keyakinan.
Misalnya ada seseorang yang tercipta sekali jadi dan mempunyai wujud yang sempurna. Kemudian diletakan di udara dengan mata tertutup, ia tidak melihat apapun. Anggota jasadnya dipisah-pisahkan sehingga tidak merasakan apa-apa. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada. Disaat itu ia mengkhayalkan adanya tangan, kaki, dan organ jasad lainnya, tetapi organ jasad tersebut di dalam khayalannya saja. Dengan demikian penempatan wujud dirinya bukan dari hal indera dan jasmaninya, melaainkan dari sumber lain bebeda dengan jasad yakni jiwa.
b.      Hakikat jiwa
Ibnu Sina mendefinisikan jiwa dengan jumhur rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa adalah substansi rohani, tidak tersusun dari materi-materi sebagaimana jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa hancurnya jiwa (roh). Pendapat ini lebih dekat pada Plato yang mengatakan jiwa adalah subtansi yang berdiri sendiri. Untuk mendukung pendapatnya Ibnu Sina mengemukakan beberapa argument berikut yaitu :
Ø  Jiwa dapat mengetahui objek pemikiran (ma’qulat) dan ini tidak dapat dilakukan oleh jasad. Persoalannya bentu-bentuk yang merupakan objek pemikiran hanya terdapat dalam akal dan tidak mempunyai tempat.
Ø  Jiwa dapat mengetahui hal-hal yang abstarak dan juga zatnya tanpa alat. Sementara itu indera dan hayal hanya mengetahui hal yang konkrit dengan alat. Jadi jiwa memiliki hakikat yang berbeda dengan hakikat indera dan khayal.
Ø  Jasad atau organnya jika melakukan kerja yang berat atau berulang kali akan menjadi letih, bahkan menjadi rusak. Sebaliknya jiwa jika dipergunakan terus menerus berfikir tentang masalah besar tidak dapat membuatnya lemah atau rusak.
Ø  Jasad dan perangkatnya akan mengalami kelemahan pada waktu usia tua. Misalnya pada usia 40 tahun. Sebaliknya jiwa atau daya jiwa akan semakin kuat kecuali jika ia sakit. Karenanya jiwa bukan bagian dari jasad dan keduanya merupakan substansi yang berbeda
c.       Hubungan jiwa dengan jasad
Sebelum Ibnu Sina, Aristoteles dan Plato telah membicarakan hubungan antara jiwa dan jasad, Aristoteles menggambarkan hubungan keduanya bersifat esensial. Sebaliknya Plato yang telah dikemukakan sebelumnya, hubungan keduanya bersifat accident karena jiwa dan jasad adalah dua subtansi yang berdiri sendiri.
Ibnu Sina kelihatannya menerima penekanan Aristoteles tentang erat hubungannya antara jiwa dan jasad. Namun hubungan yang bersifat esensial ia tolak karena jiwa akan fana dengan binasanya jasad. Dalam hal ini ia cenderung sependapat dengan Plato bahwa keduanya bersifat accident, binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa.
Menurut Ibnu Sina selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasa, keduanya saling mempengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Jiwa tidak akan tercipta tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya. Jika tidak demikian tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau danya jasad ditempati beberapa jiwa.
d.      Kekekalan jiwa
Ibnu Sina berkesimpulan sesuai dengan Al-qur’an. menurutnya jiwa manusia berbeda dengan jiwa tumbuhan dan hewan yang hancur dengan hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual yang akan menerima pembalasan di akhirat. Kekalnya ini dikekalkan Allah. Jiwa dalah baharu karena diciptakan (punya awal) dan kekal (tidak punya akhir). Dalam menetapkan kekalnya jiwa Ibnu Sina mengemukakan beberapa dalil diantaranya :
Ø  Dalil al-infisal, yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad bersifat aksiden, masing-masing unsur mempunyai substansi tersendiri, yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Karenanya jiwa kekal walaupun jasad binasa. Sementara itu jasad tidak dapat hidup tanpa adanya jiwa.
Ø  Dalil al-basathat, yaitu jiwa dalah jauhar rohani yang hidup selalu tidak mengenal mati. Hidup merupakan sifat bagi jiwa, dan mustahil bersifat dengan lawannya, yakni fana dan mati. Karenanya jiwa dinamakan dengan juhur basith (hidup selalu).
Ø  Dalil al-musyabahat, dalil ini bersifat metafisik. Jiwa manusia bersifat dengan filsafat emanasi, bersumber dari akal fa’al (akal sepuluh) sebagai pemberi segala bentuk. Karena akal sepuluh ini merupakan esensi berfikir, azali, dan kekal, maka jiwa sebagai ma’lul (akibat) nya akan kekal sebagaimana sebabnya.[17]


6.      PENGARUH FILSAFAT IBNU SINA
Banyak sekali pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh pemikiran Ibnu Sina diantaranya :
Ø  Beliau menentang pemikiran kaum sufi ortodok, dengan tidak meninggalkan keduniaan sehingga melahirkan kaum sufi modern
Ø  Hasil karya beliau dijadiakan standar kurikulum oleh universitas di Eropa
Ø  Mahmud Yunus mengatakan bahwa Ibnu Sina mengajukan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru diantaranya :
a.       Tenang
b.      Tidak bermuka masam
c.        Tidak berolok-olok dihadapan murid
d.      Sopan santun
Berkat telaah dan studi filsfat yang dilakukan para filosof sebelumnya Ibnu Sina berhasil menyusun sistem filsfat Islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina adalah menjawab berbagai persoalan filsafat yang tak terjawab sebelumnya. Pengaruh pemikiran Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya dibidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. [18]
Pemikiran Ibnu Sina dalam bidang sastra, sains, dan filsafat mempunyai pengaruh yang nyata dan kuat di Timur maupun di Barat. Tidak semua orang yang merasakan dampak pemikiran Ibnu Sina menanggapinya secara positif. Ibnu Sina mendapat kritik keras dari Al-Ghazali dan Asy-Syahrastani di Timur dan William Auvergne dan Thomas Aquines di Barat. Kritik-kritik ini menolak gagasannya tentang sifat dasar Tuhan, Pengetahuan-Nya, tentang hal-hal particular dan hubungannya dengan dunia dan kekekalan jiwa. [19]


BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN

Nama asli Ibnu Sina adalah Abu Ali al-Husain bin Abdillah Ibnu Sina merupakan dokter dan filosof Islam termasyhur. Di Barat dikenal dengan nama Avicenna, akibat terjadi metamorphose Yahudi-Spanyol. Dengan lidah spanyol kata Ibnu diucapkan Aben atau Even.  Assy-Syaikh Ar-Rais Abu Ali al-Husain bin Abdillah bin Sina (Avicenna) dilahirkan di Afsyanah di Bukhara pada bulan Safar tahun 370 H atau 980 M. Ibunya berkebangsaan Turki dan bapaknya adalah peranakan Arab-Persia. Ayahnya berasal dari kota Balakh, kemudian pindah ke Bukhara pada masa raja Nuh ibn Mansur.
Karya tulis yang ditulis oleh Ibnu Sina semuanya kurang lebih 250 buku, termasuk buku saku dan kumpulan suratnya. Kebanyakan karyanya berbahasa Arab dan bahasa Persia. Karya-karya Ibnu Sina mencakup bidang Matematika, Mantik, Akhlak, Fisika, Kedokteran dan Filsafat.
Adapun karya-karya Ibnu Sina yang paling popular diantaranya :
21.  Al-Syifa; dalam bahasa Latinnya Sanatio
22.  Al-Najah; dalam bahasa Latinnya Salus
23.  Al-Isyarah; pembahasan soal Logika dan Hikmah
24.  Al-Qanun Fi Al-Thabibb; Ensiklopedia Kedokteran
25.  Hidayah Al-Rais Li Al-Amir; karya pertama dalam Psikologi
26.  Al-Hikmah Al-‘Arudhiyyah
27.  Risalah Fi-Al Kalam ‘Ala Al-Nafs Al-Nathiqiyah
28.  Al-Manthiq Al-Musyriqiyyin
29.  Mabhas ‘An Al-Quwat Al-Nafsiah
30.  Ahwal Al-Nafs
31.  ‘Uyun Al-Hikmah
32.  Kitab Al-Syiasah
33.  Tahsil Al-Sa’adah
34.  Kitab Al-Mubahatsat
35.  Risalah Al-Thair
36.  Risalah Fi Sirr Al-Qadar
37.  Risalah Fi Al-Isyq
38.  Al-Qashidah Al-‘Ainiyah
39.  Al-Qoshidah Al-Muzdawiyyah
Al-Urjuzah Fi Al-Thabibb





















DAFTAR PUSTAKA

Basri Hasan, Zaenal Mufti , 2012, Filsafat Islam. Bandung: CV.Insan Mandiri
Hermawan Heris, Sunarya Yayan, 2011, Filsafat Islam. Bandung: CV.Insan Mandiri
Razi, Muhamaad, 2005, 50 Ilmuwan Muslim. Depok: Qultum Media
Supriyadi, Dedi, 2009, Penagntar Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Sudarsono, Filsafat Islam, 2010, Jakarta: Rineka Cipta.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam, 2007, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada





[1]Heris Hermawan, Yaya Sunarya ,Filsafat Islam, (Bandung, CV.Insan Mandiri, 2011), Cet. Ke-1, hlm 45
[2] Hasan Basri, Zaenal Mufti, Filsafat Islam,(Bandung, CV Insan Mandiri, 2012), Cet. Ke-4 ,hlm 80
[3] Heris Hermawan, Yaya Sunarya, op. cit, hlm 45
[4] Ibid, hlm 46
[5] Sudarsono, Filsafat Islam,(Jakarta, Rineka Cipta 2010), Cet ke-3, hlm 45
[6] Hasan Basri, Zaenal Mufti, op. cit, hlm 46
[7] Ibid, hlm 83
[8] Ibid, hlm 83
[9] Heris Hermawan, Yaya Sunarya, op. cit, hlm 48
[10] Ibid, hlm 49
[11] Dedi Supriyadi Pengantar Filsafat Islam,(Bandung, CV Pustaka Setia, 2010), Cet ke-2,hlm 130
[12] Heris Hermawan, Yaya Sunarya, op. cit, hlm 50
[13] Dedi Supiyadi, op.cit, hlm 140
[14] Sirojuddin Zar,Filsafat Islam,(Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2007), hlm 99
[15] Heris Hermawan, Yaya Sunarya, op. cit, hlm 52
[16] Sirojudin Zar, op. cit, hlm 104
[17] Ibid, hlm 106-111
[18] Heris Hermawan, Yaya Sunarya, op. cit, hlm 56
[19] Dedi Supiyadi, op.cit, hlm 142

0 Response to "Makalah Filsafat Islam Ibnu Sina"